Kelas Magang Tenun Ikat di Desa Lambanapu, Sumba Timur

You are here

Home / Kelas Magang Tenun Ikat di Desa Lambanapu, Sumba Timur

Kelas Magang Tenun Ikat di Desa Lambanapu, Sumba Timur

Delapan orang gadis remaja nampak asyik bercanda di dekat saung milik kelompok tenun Paluanda Lama Hamu  di Praikundu Desa Lambanapu, Sumba Timur. Sore itu angin bertiup cukup kencang namun tidak menyurutkan niat mereka untuk berkumpul.

“Jadi mulai hari ini sampai akhir program kami buka kelas magang,untuk belajar membuat tenun ikat dalam tahapan yang lengkap atau sekitar 27 langkah, dengan durasi waktu 1 jam setiap sore hari dari Senin sampe Jumat.  selama ini orang tua hanya  melibatkan anak-anak ketika membuat tenun ikat dalam tahap tertentu saja,misalnya saat harus mengikat atau mewarnai saja. Sementara kita rindu sekali kekayaan intelektual mereka ini bisa diwariskan sehingga martabat orang Sumba yang tercermin lewat tenun ikat pewarna alam ini bisa terjaga. Singkatnya biar ilmu dari generasi tua itu bisa diturunkan pada yang muda” demikian penjelasan Ibu Anisa Yuniar  selaku Programme  Manager dari Yayasan Sekar Kawung, anggota Konsorsium Samdhana NTT .

Ada sekitar 15 orang remaja putri dan 3 orang remaja putra yang akan terlibat dalam kelas ini. Namun karena sedang musim tanam padi di sawah, hanya 8 orang yang sempat hadir saat itu.  Ada  4 orang pengajar yang akan terlibat dalam kelas ini yakni Ibu Ika, Bapak Kornelis Ndapa Kamang, Bapak James dan Bapak Titus dari kelompok tenun Paluanda Lama Hamu. Selain itu, semua anggota kelompok akan terlibat membantu karena kegiatan yang sama akan segera direplikasi ke Desa Mauliru yang juga menjadi wilayah program.

Kelompok Tenun Paluanda Lama Hamu berkonsorsium dengan Samdhana Institute dan Yayasan Sekar Kawung untuk mengerjakan sebuah proyek berjudul” Menguatkan Budaya-Ekologi dan Ekonomi Tenun Pewarna Alam Dalam Rangka Pembangunan Rendah Emisi di Sumba Timur” dengan dukungan dari Millenium Challenge Account Indonesia (MCAI) lewat Hibah Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat (Jendela 2).

Mereka yang hadir itu ada yang masih bersekolah di tingkat SMA (Sekolah Menengah Atas) tetapi ada yang sudah putus sekolah. Adalah seorang gadis bertubuh mungil bernama Lita yang terlihat sangat bersemangat. Lita sudah pandai menenun, sehari-hari dia membantu ibunya. Sore itu ia bertugas mencontohkan proses “Pameningu” (mengatur lungsin) dengan memanfaatkan alat yang bernama “Wanggi”. Wanggi adalah alat yang dibuat dari bambu atau kayu yang berukuran panjang kurang lebih 2 meter dan lebar kurang lebih 1 meter. Proses ini terlihat mudah namun sesungguhnya dibutuhkan kehati-hatian saat membidang benang karena jika salah membidang maka hasilnya nanti kain yang ditenun bisa renggang atau kurang rapat dan motifnya bisa jadi tidak sejajar lagi.

 

 
Pada dasarnya bukan hal mudah untuk mengajak kaum muda terlibat dalam kegiatan seperti ini karena kegiatan menenun menggunakan pewarna alam ini sudah menjadi sesuatu yang biasa  mereka lihat setiap hari. Tetapi berangkat dari niat untuk berbagi pengetahuan maka berbagai cara ditempuh oleh Ibu Anissa dengan timnya juga Pak Kornelis dan kelompoknya.

“Kami coba tantang mereka dengan belajar membuat produk-produk tenun dengan model dan motif yang sesuai untuk gaya anak muda, misalnya syal dengan motif kuda dan gambar bukit-bukit atau capung dengan daun-daun. Dan ternyata mereka menanggapinya secara positif. Setelah sudah ada minat mereka untuk belajar barulah nantinya kita arahkan untuk membuat motif-motif asli Sumba Timur untuk tenun ikat ini, perlahan namun pasti mereka memulai dari yang sederhana” jelas Ibu Anissa bersemangat.

“Yang hendak kita wariskan ini bukan sekadar pengetahuan tentang tenun yang 27 langkah itu tetapi filosofi dan nilai dibalik proses maupun produk yang dihasilkan menjadi satu paket yang tidak terpisah dari kegiatan ini. Dan yang paling penting adalah tentang mengapa harus menggunakan perwarna alam, karena kita boleh berpikir tentang kesejahteraan secara ekonomi tetapi jika itu merusak lingkungan maka apa lagi yang mau diwariskan” tegas Pak Kornelis ketika ditanya apa sebenarnya yang dia harapkan dari semua upaya berbagi pengetahuan ini.

Rata-rata anak-anak di desa ini setelah SMA tidak bisa melanjutkan studi karena kendala biaya lalu akhirnya mereka memilih untuk mencari kerja di luar Pulau Sumba misalnya di Bali (merantau). Oleh sebab itu program ini juga didesain agar kaum muda mengenali dan bisa memanfaatkan kekayaan sumber daya di sekitarnya serta dapat memiliki ketrampilannya sendiri sehingga bisa membuka peluang kerja bagi diri sendiri maupun orang lain tetapi dengan tetap berorientasi pada keberlanjutan lingkungan.

Menurut Ningsih dan Linda, peserta kelas magang tenun ikat yang masih bersekolah di kelas 3 SMA Kambera, mereka mendapat pelajaran Muatan Lokal (Mulok) tentang mengatur benang lungsin atau Pameningu namun tidak sampai ke proses tenunnya. Dengan adanya kegiatan ini, mereka tidak keberatan jika harus menyiapkan waktu selama 1 jam setiap sorenya untu belajar menenun karena ini menjadi kebutuhan untuk mengenal budaya sendiri, meningkatkan ekonomi maupun pendidikan sampai membagi pengetahuan dengan adik-adiknya yang lain.

 

 
Bapak Kornelis Ndapakamang, Ketua Kelompok Tenun Paluanda Lama Hamu telah begelut dalam dunia tenun ikat pewarna alam ini sejak tahun 1993. Beberapa waktu yang lalu bersama Yayasan Sekar Kawung dan Samdhana Institute, ia telah membagi pengetahuannya pada anak-anak sekolah dasar lewat penyusunan buku pelajaran Mulok tentang tenun ikat pewarna alam. Bahkan beliau juga aktif menggunakan media sosial facebook untuk berbagi tentang kegiatan kelompoknya.

“Sekian lama saya berproses, saya juga lakukan penelitian sederhana untuk mendapatkan  warna yang pas dari masing-masing pewarna alam yang saya gunakan atau jika harus mencampur 2 warna untuk hasilkan warna baru. Semua proses dan ukuran-ukran ini saya catat dengan baik sehinggga bisa saya gunakan sebagai standar pewarnaan saya sendiri dan dengan begitu warna-warna yang dihasilkan tetap konsisten untuk sekian banyak kain” ungkap Pak Kornelis di sela-sela mengajari anak-anak.

 

 

Alam telah menyediakan dan manusia secara bijak harus dapat mengelolanya untuk kesejahteraannya saat ini maupun kesejahteraan generasi yang akan datang. Mencintai budaya dengan tetap menjaga alam menjadi langkah sederhana yang juga bisa dilakukan banyak orang. Terus berbagi pengetahuan lewat berbagai kegiatan, jaringan maupun media menjadi cara untuk mewariskan kekayaan masa lalu bagi generasi masa depan. Selamat menenun masa depan anak-anakku. *

Contact
Share This: