Penentuan Zona Inti DPL di Kawasan Teluk Jor
Pagi hari di tanggal 2 Mei saya menerima pesan dari Lalu Kartawang atau yang akrab kami panggil Mamiq Awung, beliau adalah koordinator Blue Carbon Consortium Kabupaten Lombok Timur. Dalam pesan singkatnya Beliau menyampaikan bahwa hari itu Tim BCC akan melakukan penyelaman untuk melihat kondisi terumbu karang dan padang lamun di sekitar Teluk Jor, jika tertarik ikut tim akan menunggu kami di dermaga. Tentu saja tawaran semenarik ini tidak akan kami lewatkan. Pukul 12 siang kami berangkat menuju dermaga yang terletak di Dusun Telong-elong. Jam 13.00 kami tiba dan tidak lama kemudian perahu yang ditumpangi oleh Tim BCC bersandar di dermaga. Selain menjemput kami, mereka juga sekalian akan menukar tabung oksigen yang sudah kosong.Tanpa dikomando kami pun langsung naik ke atas perahu. Disana sudah ada Pak Fery, Pak Frans dan tentu saja ada Mamiq Awung dan Pak Jun.
Tidak lama, suara mesin terdengar menderu. Perahu pun meluncur ke titik sampel pengambilan data. Diperjalanan Pak Fery bercerita penelitian ini merupakan langkah awal dari penentuan zona inti Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang ada dikawasan Teluk Jor. Penetapan Zona inti ini dilakukan atas dasar permintaan langsung oleh masyarakat yang berada di sekitar Teluk Jor melalui LPATJ (Lembaga Pemangku Awig-awig Teluk Jor). permintaan tersebut didasarkan atas kekhawatiran masyarakat sekitar akan rusaknya ekosistem laut, terlebih lagi dengan adanya eksploitasi penangkapan ikan menggunakan bom. Sehingga mereka mengharapkan ada zona konservasi terutama disekitar Gili Kuri. Permintaan tersebut tentunya mandapatkan respon positif dari Tim BCC. Namun untuk dapat menentukan zona konservasi tentu harus dilakukan penelitian terlebih dahulu. Untuk dapat mewakili kawasan Teluk Jor yang mencapai 900ha maka ditentukan titik sampel, terumbu karang yang akan diteliti diwakili oleh 4 titik, padang lamun 3 titik serta mangrove 3 titik. Pengumpulan data di titik-titik sampel tersebut dilakukan selama lima hari sejak tanggal 29 April hingga tanggal 3 Mei lalu.
Hasil dari kegiatan ini selanjutnya akan dianalisis sebagai dasar untuk penetapan zona inti. Meski sebenarnya dari hukum adat Kawsan Teluk Jor ini telah dilindungi oleh awig-awig yang diakui secara lokal. Namun untuk memperkuat awig-awig tersebut perlu legalitas secara hukum yang berlaku di Indonesia sehingga awig-awig yang dimiliki dapat diakui baik secara lokal maupun nasional. Legalitas tersebut dapat berupa Peraturan bersama Desa Pare Mas dan Jerowaru, perda, atau bahkan Permen. Hasil kajian ini nantinya justeru akan memperkaya awig-awig yang telah ada saat ini.
Asyik mendengar penjelasan dari Pak Feri, tidak terasa ternyata kami sudah tiba pada titik yang kami tuju. Ini merupakan titik terakhir untuk terumbu karang dan padang lamun. Pak Feri dan Pak Frans segera bersiap untuk menyelam. Mereka membutuhkan waktu selama 1 Jam pada setiap titik. Dengan sigap Mamiq Awung dan Pak Jun membantu mereka bersiap dan pengumpulan data pun dimulai. Sedangkan kami? tentu saja menunggu di atas perahu. Menikmati sepenggal lukisan alam Indoensia, gugusan pulau-pulau kecil (Gili) serta sepoi hembusan angin laut. Beberapa kali terlihat perahu-perahu berpenumpang yang membawa pengunjung menuju Pantai Pink. Entah, apakah ada aturan tertulis ataukah tradisi, setiap perahu yang melintas baik pemilik perahu ataupun penumpangnya selalu saling melambaikan tangan, saling menyapa. Entah pengunjung domestik maupun macanegara. Padahal dari kejauhan kami tidak melihat siapa mereka, mereka pun demikin saya rasa. Tapi tetap saja saling membalas lambaian. Indonesia memang luar biasa!
Lalu lintas perahu dan kapal cepat dikawasan perairan Teluk Jor cukup ramai, baik wisatawan maupun penduduk dari gili berpenghuni seperti Gili Kuri dan Gili Beleq tentunya menjadi salah satu faktor pendukung pengembangan kawasan Teluk Jor. Dari sini obrolan tentang potensi wisata dan pengembangan ekonomi dimulai. Bak pemandu wisata Pak Jun yang notabene penduduk setempat menjelaskan kami tentang kondisi Teluk Jor. “yang itu”, katanya sambil menunjuk ke arah salah satu gili. “Namanya Gili Butak, disana tidak banyak ditemukan pohon. Karenanya dinamakan Gili Butak atau Gundul dalam bahasa Indonesia. Tidak banyak orang yang berkunjung ke gili tersebut, karena sangat identik dengan hal-hal mistik. Dahulu malah banyak orang yang melakukan ritual dengan memotong hewan sesembahan di gili itu, tapi beberapa tahun terakhir sudah tidak ada lagi yang melakukan ritual. Namun hingga kini tidak banyak orang yang berani datang. Namun demikian, sisi positifnya adalah terumbu karang disekitar Gili Butak jauh lebih baik dibandingkan dengan lokasi lainnya, jangankan untuk melepas bom, untuk mendaratkan perahunya saja penduduk masih berpikir dua kali”.
Obrolan kami terus mengalir, hingga sampai pada suka duka mereka sebagai nelayan yang menggantungkan hidup pada sumberdaya laut. Dari sini baru kami ketahui bahwa Pak Jun yang kini menjadi koordinator kecamatan ternyata dulunya adalah salah satu nelayan yang melakukan penangkapan dengan bom . Tidak heran jika Pak Jun faham betul dimana lokasi terumbu karang dan padang lamun, selain itu juga sangat mahir dalam meracik bom. Semua tahapannya peracikan diceritakanya dengan sangat detail. Kisah sedih dari pengalaman rekan-rekannya yang menggunakan bom tidak luput dari cerita Pak Jun. Ada yang kehilangan tangan, kaki bahkan ada juga yang sampai kehilangan penglihatannya karena kelalaian saat menggunakan Bom, yang sesekai diamini oleh pemilik perahu. Namun, alam dan kehidupan telah menyadarkannya. Pak Jun yang dulu kini telah bertransformasi menjadi pecinta lingkungan, dan bergabung dengan beberapa lembaga yang membutuhkan tenaga dan pikirannya melakukan pendampingan di desanya, membuat perubahan dan membangun desanya.
Dari kajauhan terlihat Pak Feri mengacungkan jempolnya, solah faham atas isyarat itu. Si Pemilik perahu langsung menyalakan mesin dan menghampiri Pak Feri. Benar saja, pengambilan data sudah selesai dan tim akan kembali ke daratan. “ mantap Bro, karangnya disini masih bagus. Paling bagus dibandingkan dengan titik-titik lainnya”, ucap Pak Feri begitu naik ke atas perahu. Jika dipersentasekan di titik terakhir kondisi karang diatas 70% bagus. Sayangnya hanya ada satu jenis karang saja. Ikan yang ada juga lumayan banyak tetapi jenisnya gak terlalu beragam. Namun demikian menurut Pak Feri dititik tersebut sangat cocok jika dibuat sebagai titik snorkling.
Sembari menunggu mobil jemputan yang akan membawa Tim BCC kembali ke Mataram, obrolan kami pun berlanjut di warung kopi sebelah dermaga. Menurut Pak Feri setelah melakukan penyelaman di 4 titik Terumbu karang yang ada di sekitar Teluk Jor, dapat dikatakan 80% kondisinya kurang sehat meski tidak bisa dikatakan rusak sehingga sangat perlu untuk direhabilitasi. Sedangkan untuk padang lamun sejauh ini masih cukup bagus. Pak Feri lanjut menjelaskan bahwa sasaran utama penetapan kawasan konservasi di pesisir dan laut adalah untuk mengkonservasi ekosistem dan sumberdaya alam, agar proses-proses ekologis di suatu ekosistem dapat terus berlangsung dan tetap dipertahankan produksi bahan makanan dan jasa-jasa lingkungan bagi kepentingan manusia secara berkelanjutan.
Penetapan kawasan konservasi di pesisir dan laut memiliki peran utama ,yaitu pertama, melindungi keanekaragaman hayati serta struktur, fungsi dan integritas ekosistem; kedua meningkatkan hasil perikanan; ketiga menyediakan tempat rekresi dan pariwisata; keempat, memperluas pengetahuan dan pemahaman tentang ekosistem; dan kelima, memberikan manfaat sosial-ekonomi bagi masyarakat pesisir. Secara umum zona-zona di suatu kawasan konservasi dapat dikelompokkan atas 3 (tiga) zona, yaitu : zona inti (zona perlindungan), zona penyangga dan zona pemanfaatan. Pembagian zonasi tersebut bertujuan untuk membatasi tipe-tipe habitat penting untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan konservasi sumberdaya ekonomi.
Jika kita melihat dari zona pemanfaatan, kawasan Teluk Jor memiliki potensi yang luar biasa. Selain dari letaknya sebagai jaur penyebrangan wisata bahari gili hingga ke Pantai Pink, dikawasan ini juga memiliki spot yang bagus untuk dijadikan wisata snorkling. Gili Butak pun bisa dijadikan sebagai salah satu destinasi wisata, terlepas dari kesan mistis yang melekat padanya, Gili Butak dapat dijadikan sebagai obyek wisata budaya. Bahkan, disekitar Perairan Gili Kuri juga bisa menjadi salah satu Spot menarik untuk diving, tepatnya crack diving. Karena disana, terdapat sebuah bangkai kapal yang karam milik negara Jepang yang sudah berusia ratusan tahun. “ Saya lho, pernah melihat Monyet ekor Panjang di salah satu gili” ungkap Pak Feri, ini juga bisa jadi salah satu objek wisata. Jika masyarakat dan pemerintah serius untuk mengelola kawasan Teluk Jor.
Tidak hanya melihat terumbu karang dan padang lamun, dalam pengumpulan data ini juga akan melihat kondisi mangrove yang ada disekitar perairan Teluk Jor. hal yang akan dilihat dari mangrove adalah kerapatan, jenis, potensi anakan, dan yang terpenting adalah dari sisi biomassa. Dengan penghitungan biomassa ini akan diketahui cadangan karbon dalam mangrove. Secara langsung kita bisa melihat bahwa di kawasan Teluk Jor ini cukup sedikit karena idealnya mangrove yang bagus kerapatannya minimal 1000 batang/ha. Namun di Kawasan ini tidak sampai sebanyak itu, potensi anakan pun sangat jarang. Mestinya, mangrove ini akan menjadi sangat penting menunjang perekonomian warga sekitar yang terkenal dengan Terasi Udang Rebonnya. Karena jika kita lihat dari fungsinya mangrove juga merupakan tempat pembesaran udang dan beberapa jenis ikan lainnya.
Tidak cukup sampai disitu, Pak Feri lanjut menjelaskan bahwa mangrove yang tumbuh disekitar Teluk Jor ini berjenis Sonneratia yang merupakan jenis pionir, berupa pohon berukuran sedang hingga besar. Sonneratia lebih dikenal dengan nama Pedada atau Pining dalam sebutan masyarakat disekitar Teluk Jor, adalah jenis mangrove yang buahnya bisa dimakan dan bisa juga dibuat menjadi minuman segar. Menurut Pak Jun, ibu-ibu di kampungnya pernah medapatkan pelatihan mengolah buah Pining menjadi berbagai macam pangan, mulai dari kue, lauk , kerupuk hingga minuman. Tapi sebatas pada pelatihan saja, hingga kini belum ada yang melihatnya sebagai peluang usaha. Buah-buah Pining dibiarkan begitu saja. “ tu kan Mbak, masyarakat kita sebenarnya sudah punya knowledge-nya, tapi kenapa tidak ada perubahan?”. suatu pertanyaan yang serasa menohok. Memang benar, ini menjadi satu hal yang menarik perhatian kita bahwa berbagai bentuk pendampingan dan bantuan yang telah diberikan kepada masyarakat pesisir baik dari pemerintah maupun non pemerintah yang ditujukan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun hingga kini belum terlihat perubahan yang signifikan. Tentu ini menjadi motivasi bagi kita, untuk terus mencri dan menggali model pendampingan yang tepat bagi masyarakat pesisir. Pertanyaan besar ini seolah menjadi bekal pemikiran kami sekembali dari Teluk Jor.