Menuai Vannamei

You are here

Home / Menuai Vannamei

Menuai Vannamei

Lithopenaeus vannamei atau lebih sering disebut Udang Vaname memang sudah sangat akrab dengan penambak di pesisir Indonesia sejak tahun 90an. Begitu juga dengan penambak di Desa Kidang Kabuaten Lombok Tengah, jenis udang introduksi asal Amerika Selatan ini telah menjadi idola baru menggantikan Udang Windu yang semakin sulit dibudidayakan karena serangan Virus White Spot. Beberapa keunggulan Udang Vanamei ini adalah, responsif terhadap pakan dengan  kadar protein 25-30% (lebih rendah dari udang windu), kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan suhu rendah, adaptasi terhadap perubahan salinitas (Khususnya pada salinitas tinggi), laju pertumbuhan yang relatif cepat, angka kehidupan (survival rate/SR) hidup tinggi serta dapat ditebar dengan kepadatan tinggi karena hidupnya mengisi kolom air bukan didasar saja.


Kidang dan beberapa desa di sekitar pesisir selatan Kabupaten Lombok Tengah memang menjadi sentra budidaya tambak serta garam. Dari total potensi tambak yang dimiliki Lombok Tengah seluas 800 hektar, baru 51 hakter atau sekitar 6,38% yang sudah dikelola. Sementara pada tahun sebelumnya (2016) Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB meningkatkan target produksi udang vanamei hingga 46.334 Ton, target tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan dengan target di tahun 2015 yang berkisar 39.715 ton. Peningkatan produksi tersebut menyusul meningkatnya permintaan udang dipasar internasional dan dengannya telah menempatkan NTB pada posisi ketiga setelah Lampung dan Sulawesi Selatan sebagai provinsi yang berkontribusi pada ekspor udang Indonesia.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Dinas Kelautan Dan Perikanan baik Provinsi NTB juga Kabupaten Lombok Tengah. Salah satunya dengan mencetak tambak baru serta membangun serta memperbaiki saluran air disekitar tambak. Namun demikian, peningkatan infrastruktur tidaklah cukup, teknik budidaya juga harus diperbaiki. Selama ini yang menjadi kendala penambak khususnya di kabupaten Lombok Tengah adalah udang seringkali mengalami penyakit berak putih (White Feces Desease). Berdasarkan indentifikasi bakteri yang pernah dilakukan oleh laboratorium Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara, menyebutkan tanda udang yang terjangkit WFD terlihat pada organ hepatopankreas, usus dan hemolimp udang vannamei. Kandungan bakteri Vibrio algynoliticus dan Vibrio parahaemolyticus pada organ hepatopankreas, usus dan hemolimp udang terjangkit akan lebih tinggi dibandingkan udang yang sehat. Bakteri vibro masuk melalui makanan yang dikonsumsi udang. Bakteri ini menyerang saluran pencernaan udang, dan berdampak pada bakteri ini berdampak pada menurunkan nafsu makan udang, perubahan warna memucat atau keputihan. Seringkali ditemukan terhambatnya pertumbuhan udang dan berakhir dengan kematian.


Berangkat dari kondisi tersebut, Blue Carbon Consortium (BCC) melalui melalui proyek Pengelolaan Pengetahuan Tata Kelola Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang didanai oleh Millenium Challenges Account (MCA) Indonesia mengembangkan berbagai model pembelajaran, salah satunya adalah dengan membangun demplot budidaya udang vannamei berbasis probiotik di sentra pengembangan budidaya air payau, tepatnya Dusun Peras Desa Kidang Kab. Lombok Tengah. Setelah melalui berbagai persiapan lahan tambak serta penguatan kelompok budidaya udang sejak bulan Mei lalu benur atau bibit udang  sebanyak 130.000 ekor telah disebar, dan pada hari ke 104, tepatnya tanggal 14 Agustus 2017 telah dilakukan panen bersama. Kegiatan tersebut dihadiri oleh Tim BCC, perwakilan Dinas Kelautan dan Perikanan Lombok Tengah, Badan Penyuluhan Pertanian (BPP) Praya Timur, PRM MCAI NTB, Direktur Transform dan perwakilan pemerintah Desa Kidang.
Dalam sambutannya, Manager Proyek BCC, Prianto Wibowo, menyampaikan bahwa melalui panen perdana pada demplot yang dibangun BCC dapat menjadi sumber pembelajaran bagi penambak lain disekitar demplot terlebih lagi bagi kelompok dampingan. Pembelajaran yang dimaksud tentunya bukan hanya keberhasilan dan hal-hal baik saja tetapi juga segala bentuk hambatan dan kegagalan juga dapat dijadikan pembelajaran. Selanjutnya dijelaskan juga perbedaan demplot yang dibangun oleh BCC dengan tambak lainnya. Dimana pada tambak yang dibangun oleh BCC ini menggunakan probiotik tertentu sebagai peningkat imunitas pada udang. Berdasarkan beberapa hasil riset/ kajian budidaya udang, penggunaan probiotik terbukti mampu memperbaiki lingkungan budidaya dan menekan penyakit pada budidaya udang vannamei. Probiotik yang digunakan tersebut merupakan fermentasi organik yang terbuat dari bahan bacto, bacto, dedak padi, mulase, ragi dan air. Tentunya, dengan penggunaan probiotik berbahan fermentasi organik akn lebih ramah lingkungan.


Selain berbasis probiotik, demplot tersebut juga menerapkan standar operasional prosedur budidaya udang vaname untuk menekan pertumbuhan bakteri vibro berlebih pada tambak. Dengan mengatur sirkulasi air yang masuk pada tambak. Dimana air yang akan masuk ke dalam tambak harus melalui tahapan treatment terlebih dahulu. Tujuannya untuk menjernihkan serta menghilangkan kemungkinan adanya penyakit atau bakteri berbahaya yang terkandung dalam air atau tercampurnya air dengan pembuangan dari tambak lainnya. setelah ditreatment air tersebut melalui pintu masuk (inlet). Sementara untuk pembuangan air melalui outlet (pintu keluar) dilakukan di petak tandon barier agar limbah budidaya bisa dilakukan biofilter secara alami. Inilah hal prinsip yang menjadi pembeda tambak demplot yang dibangun BCC dengan tambak milik masyarakat. Dimana tidak dibedakan antara inlet dan outlet, dengan kata lain sumber masuk air dan pembuangan menjadi satu pintu. Tentu dengan cara ini berdampak pada kondisi air dalam tambak yang kurang baik dan menjadi media perkembangan penyakit berak putih.
“budidaya udang ini (Vaname) sempat mengalami banyak kendala, selain kualitas benur yang kurang baik ditandai dengan ukuran udang yang beragam, perubahan suhu ekstrim yang terjadi beberapa pekan lalu juga sangat berpengaruh pada penurunan nafsu makan udang. Sehingga pertumbuhannya pun terhambat. Hingga saat panen perdana ini dengan masa budidaya 104 hari diperkirakan 80% dari jumlah benur yang ditebar dapat dipanen. Tentunya dengan asumsi margin error sebesar 20% akan diperoleh udang sebanyak 600-800 kg. Namun yang diperoleh sebanyak 359 Kg. Tentu akan dilakukan penelitian lebih lanjut terkait dengan penurunan hasil panen tersebut”, jelas Agus Mulyadi Ashari, koordinator BCC untuk Kabupaten Lombok Tengah diakhir kegiatan.

 
 

 

 

Contact
Share This: