Menjelajah dan Mengenal Potensi Pesisir Sumba Barat Daya (Part-2)

You are here

Home / Menjelajah dan Mengenal Potensi Pesisir Sumba Barat Daya (Part-2)

Menjelajah dan Mengenal Potensi Pesisir Sumba Barat Daya (Part-2)

Ketiklah ‘sumba barat daya’ di kolom pencarian google, maka yang akan muncul lebih dulu segala hal tentang pesona wisatanya. Pantai dan kampung-kampung adat, pasola dan berbagai ritual marapu, tarian dan tenunan, adalah paket wisata yang bisa dinikmati di kabupaten Sumba Barat Daya – NTT.

Blue Carbon Consortium (BCC) yang merupakan kolaborasi antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB), Perkumpulan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) dan  Training and Facilitation for Natural Resources Management (TRANSFORM) telah bekerja sejak bulan September 2015 di Sumba dengan dukungan program Kemakmuran Hijau – Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia untuk Proyek Pengelolaan Pengetahuan Pembangunan Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi. BCC telah melakukan pendampingan untuk dua desa di Sumba Barat Daya yakni Desa Pero Konda dan Desa Wainyapu. Sebagai wilayah pesisir yang memiliki potensi hasil laut dan wisata, Desa Pero Konda dan Wainyapu adalah sasaran yang cocok untuk pengembangkan ekowisata. Ekowisata berdasarkan definisi dari TIES (The International Ecotourism Society) adalah perjalanan wisata ke area alami, menerapkan  konservasi dan meningkatkan pedapatan masyarakat sekitar.  Kedua desa itu akan menjadi sasaran kunjungan peserta media trip yang diadakan oleh BCC.

Media trip merupakan sebuah perjalanan menyusuri pulau sumba yang dimulai tanggal 19-24 maret 2017 dan melibatkan fotograger dan jurnalis dari berbagai media nasional antaranya koran harian Kompas, Majalah Tempo, koran harian The Jakarta Post, Majalah National Geograpic, juga Instragrammer. Para insan media  ini diajak berkeliling dengan tujuan untuk menyebarkan informasi mengenai tantangan dan peluang pengelolaan pesisir yang tengah dihadapi di Sumba, menyebarkan informasi mengenai SPRE, khususnya ekowisata yang dilaksanakan BCC melalui demo plot di desa-desa pesisir di Sumba, serta mendapatkan umpan balik dari kalangan insan media mengenai kegiatan demo plot yang dilaksanakan. Khusus wilayah sumba barat daya, kunjungan dilakukan pada hari kedua.

Selasa 21 Maret 2017, tim media trip menuju ke desa Pero Konda. Sebuah desa yang terletak di kecamatan Kodi kabupetan Sumba Barat Daya. Tidak ada medan yang terlalu sulit untuk ditempuh menuju desa ini, jalanannya mulus tanpa hambatan yang berarti. Kami langsung menuju sebuah rumah permanen dengan bunga-bunga yang sedang mekar di halaman rumahnya. Itulah rumah kepala desa Pero Konda.

 

 

Cumi merupakan salah satu potensi andalan di Pero Konda. BCC melalui dana hibah MCA Indonesia pun melakukan pendampingan yang berkonsentrasi pada pengembangan cumi dan sedang dibuat demplot untuk pengolahan cumi. Di Pero Konda terdapat para nelayan cumi yang selalu melaut menggunakan perahu untuk menangkap cumi. Dan para nelayan ini selalu pandai ‘membaca’ alam untuk melihat apakah ombak sedang bersahabat atau tidak. Ketika ombak bersahabat, mereka akan bertolak ke lautan dengan menggunakan perahu yang mereka tambatkan di tepi-tepi laut.

Menurut penjelasan Kepala Desa Pero Konda Bapak Ali Pua Stury, penangkapan cumi di wilayah Pero Konda diawali dengan kedatangan nelayan Lombok bertahun-tahun yang lalu. Ketika persediaan makanan nelayan lombok tersebut habis, mereka lalu berkunjung ke Pero Konda, saat itulah terjadi pertukaran ilmu dan keterampilan antara nelayan Lombok dan masyarakat Pero Konda. Melihat peluang usaha dan potensi cumi tersebut, masyarakat Pero Konda lalu mencoba melakukan usaha penangkapan cumi.

Kades Pero Konda mengaku kehidupan ekonomi masyarakat menjadi lebih baik dengan usaha cumi yang mereka lakukan. Dulunya hanya terdapat beberapa rumah permanen, sekarang banyak rumah permanen di desa Pero Konda. Selain itu, dulunya hanya terdapat sedikit sarjana di desa itu, namun seiring waktu berjalan saat ini Pero Konda telah memiliki banyak sarjana. Dua hal ini dapat menjadi indikator peningkatan taraf hidup masyarakat di desa Pero Konda.

 

 

Meski demikian, Kades berharap, adanya proses lebih lanjut untuk meningkatkan keterampilan nelayan cumi di Pero Konda khususnya dalam hal pengolahan cumi. Selama ini, pengolahan cumi hanya sebatas direbus, dikeringkan lalu di kirim ke luar Sumba. Hal ini disebabkan karena sumber daya manusia yang ada di Pero Konda belum memahami cara pengolahan cumi. Melalui pendampingan BCC, beliau berharap, nelayan mendapatkan pelatihan atau pengembangan keterampilan yang bisa mendukung pengolahan cumi menjadi beragam produk yang dibutuhkan pasar indonesia maupun luar negeri.

Selain cumi, Desa Pero Konda juga memiliki pantai yang istimewa yakni pantai Pero. Untuk sampai ke pantai ini kami harus melintasi sehamparan padang yang menghijau, beberapa ternak merumput di sana. Ombak di pantai Pero ini sangat kencang dan ketika menghantam dinding-dinding karang yang berjejer di sepanjang tepian pantai, ombak itu akan pecah dan menimbulkan suara yag bergemuruh dan riuh. Warna buih ombak yang putih bersih ketika melayang di udara nampak kontraks dengan warna biru langit dan pekatnya karang. Kombinasi alam yang menggiurkan dan memanjakan mata.

Dari Pero Konda, tim Media Trip BCC lalu menuju Desa Wainyapu di Kecamatan Kodi Balaghar. Di Desa Wainyapu, ada sebuah kampung adat yang terletak di pesisir pantai. Sehari sebelum kedatangan tim ini, ada kegiatan pasola di Wainyapu. Sekilas Kampung adat Wainyapu terlihat mirip dengan kampung adat Waru Wora di Desa Patiala Bawa, karena di kampung itu terdapat rumah-rumah dengan atap alang yang menjulang dan juga terdapat kuburan-kuburan tua di dalam lokasi tersebut. Seperti kebanyakan kuburan khas Sumba, dahulu untuk membuat kuburan di Wainyapu pun harus melalui ritual tarik batu kubur.

 

Rumah-rumah yang berada di Wainyapu semuanya beratapkan alang dan terbuat dari bambu sebagai bahan dasar pembuatan rumah. Beberapa tiang rumah yang besar-besar berbentuk bulat terlihat berserakan di halaman salah satu rumah. Itu adalah tiang-tiang yang sudah tidak dipakai lagi dan telah berusia puluhan tahun. Salah satu ujungnya nampak telah lapuk termakan usia.
Di dalam lokasi kampung tersebut, masih terdapat sisa-sisa ritual untuk pasola kemarin. Masih terlihat sisa-sisa darah dan potongan daging yang terbuang di tempat di adakan ritual Marapu. Begitulah kehidupan masyarakat Wainyapu, mereka masih sangat memegang adat istiadat warusan leluhur. Inilah yang menjadi salah satu titik menarik dari desa Wainyapu.

 

 

 

Beberapa anak dan aktifitas masyarakat serta ternak yang merumput menjadi sasaran kamera fotografer yang menjadi peserta Media Trip ini. Selain mendengarkan cerita dari kepala desa dan beberapa tokoh masyarakat lainnya, semua peserta juga tidak lupa mengabadikan rumah-rumah adat serta kuburan megalitik yang ada di kampung Wainyapu. Selain rombongan Media Trip, nampak pula seorang wisatawan asing juga ikut mengambil foto bersama para fotografer dan sesekali berbincang-bincang dengan peserta Media Trip BCC.
Sebelum melanjutkan perjalanan, beberapa peserta menyempatkan diri menuju pantai yang berada di sisi kampung Wainyapu dan memotret beberapa objek. Dari kejauhan nampak atap-atap rumah kampung adat Rotenggaro. Ya, Wainyapu dan Ratenggaro tidak terlalu berjauhan, hanya di pisahkan oleh sebuah muara yang tenang. Dari pantai ini juga nampak kuburan-kuburan yang berada di pantai tidak jauh dari desa adat Ratenggaro.

Hari sudah sore ketika tim berpamitan pulang karena harus melanjutkan perjalanan ke Sumba Barat hari itu juga. Perjalanan menjelajah Sumba memang belum selesai. Masih ada yang harus dilewati, masih ada yang harus dikunjungi. Tapi Pero Konda dan Wainyapu telah memberikan sedikit gambaran bahwa di pesisir pantai di kabupaten ini terdapat aktivitas yang baik adanya. Aktivitas yang tidak merusak, aktivitas yang mampu identitas masyarakat, aktivitas yang dapat menghasilkan pendapatan ekonomi dan meningkatkan taraf hidup tanpa perlu melakukan kecurangan-kecurangan terhadap sesama manusia, terhadap budaya maupun terhadap alam.

Alangkah bijaknya jika kita pun mampu bersikap adil dengan kehidupan lainnya di semesta ini. Menjaga alam, mempertahankan budaya, dan menghargai kehidupan sesama adalah hal paling hakiki yang harus ada dalam diri kita. Kita bukan satu-satunya yang ingin menikmati kehidupan ini, sudah ada yang lebih dahulu. Berterima kasihlah pada mereka dan akan ada generasi yang juga ingin menikmatinya, jagalah untuk mereka. Selamat menikmati semesta di Sumba Barat Daya. **

Contact
Share This: