Menjelajah dan Mengenal Potensi Pesisir Sumba Barat Daya (Part-1)
Beberapa orang yang pernah berkunjung ke Sumba selalu memiliki niat untuk kembali lagi. Sebuah niat untuk kembali menjelajah negeri yang dikenal dengan negeri Marapu ini. Seakan waktu yang mereka miliki tak pernah cukup untuk memuaskan rasa penasaran dan kagum mereka pada Pulau Sumba, pulau seribu kuda.
Sebagai salah satu dari tiga pulau besar di provinsi NTT, mudah mendeteksi keberadaan pulau ini. Apalagi dengan perkembangan teknologi yang makin mempermudah kita untuk mengetahui apa yang ada dalam satu daerah, termasuk di Sumba. Akhir-akhir ini, potensi wisata budaya dan alam yang ada di Sumba mudah ditemukan dalam berbagai media online bahkan beberapa kali potensi-potensi wisata yang ada di Sumba menjadi tontonan menarik di layar televisi.
Godaan-godaan wisata itu tentu saja menggiurkan untuk dinikmati baik oleh masyarakat Sumba sendiri maupun oleh masyarakat luar. Bahkan kerap bukan saja dinikmati tapi (ingin) dimiliki. Beberapa wilayah pantai telah terjual dan menjelma bangunan-bangunan hotel dan area privasi yang sudah tidak lagi dapat di masuki oleh bebas oleh masyarakat. Miris memang, namun inilah kenyaataannya. Resiko buruk dari sebuah keindahan yang dipamerkan saat kita sebagai masyarakat tidak siap menjaga apa yang menjadi milik kita.
Daerah pesisir sumba yang dimiliki masyarakat kian sedikit. Terancam kalah saing dengan milik orang luar yang membeli daerah pesisir. Karena itulah, pengembangan potensi wilayah pesisir perlu dilakukan sabagai bagian dari menjaga warisan leluhur dan harta milik masyarakat sekaligus meningkatkan peluang ekonomi masyakat lokal sebagai tuan atau pemilik tanah tersebut.
Blue Carbon Consortium (BCC) merupakan kolaborasi antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB), Perkumpulan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) dan Training and Facilitation for Natural Resources Management (TRANSFORM) telah bekerja sejak bulan September 2015 di Sumba dengan dukungan program Kemakmuran Hijau – Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia untuk Proyek Pengelolaan Pengetahuan Pembangunan Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi. Melalui program inilah BCC melakukan pendampingan di beberapa daerah pesisir di empat kabupaten di pulau Sumba dengan sasaran pengembangan wisata daerah pesisir dan peningkatan ekonomi masyarakat melalui sumber daya alam daerah pesisir seperti garam, ikan dan cumi-cumi.
Dengan tujuan salah satunya menyebarkan informasi mengenai tantangan dan peluang pengelolaan pesisir yang tengah dihadapi di Sumba melalui demo plot di desa-desa pesisir di Sumba serta untuk mendapatkan umpan balik dari kalangan insan media mengenai kegiatan demo plot yang dilaksanakan, tanggal 19-24 Maret 2017 BCC melakukan sebuah kegiatan Media Trip di pulau sumba. Media trip ini diikuti oleh enam jurnalis dan fotografer media nasional yakni koran harian Kompas, Majalah Tempo, koran harian The Jakarta Post, Majalah National Geograpic, dan blogger.
Para jurnalis yang tergabung dalam tim Media Trip tiba di Sumba tanggal 19 Maret 2017 dan langsung menuju ke Wanokaka, kabupaten Sumba Barat – NTT. Di tempat ini, atraksi Pasola akan diadakan pada esok hari 20 Maret 2017. Keberangkatan lebih awal tersebut agar dapat melihat langsung proses ritual menjelang pelaksanaan Pasola. Antara lain wawancara dengan tokoh masyarakat dan salah sorang yang ikut melakukan atraksi lempar tombak dalam pasola serta melihat langsung bagaimana persiapan peserta dan masyarakat dalam melakukan pasola.
Peserta Media trip lebih dahulu menyaksikan ritual pembuka dan memotret pasola yang dilakukan di tepi pantai sebelum memotret pasola yang berlangsung di lapangan. Puas menyaksikan atraksi Pasola di Wanokaka, tim lalu melanjutkan perjalanan menuju Kampung Waru Wora di desa Patiala Bawa kecamatan Lamboya, kabupaten Sumba Barat. Kampung ini merupakan salah satu dampingan Blue Carbon Concortium yang fokus pada pengembangan desa ekowisata di wilayah pesisir. Potensi menarik yang ada dikampung ini adalah nuansa tradisional yang hadir melalui rumah-rumah beratap alang dengan atap yang menjulang tinggi khas rumah-rumah adat di Sumba, kuburan-kuburan tua yang terbuat dari batu yang konon dulu ditarik dari luar kampung bahkan dari kabupaten Sumba Timur yakni daerah Tarimbang, serta kehidupan masyarakat yang belum sepenuhya tersentuh modernitas. Pesona kampung Waru Wora memang sangat menarik. Meskipun hujan gerimis, para jurnalis tetap antusias mengamati kehidupan di kampung ini dan mengabadikan banyak hal melalui kamera mereka.
Kampung Waru Wora merupakan salah satu kampung yang masih menjaga ‘pesan’ yang dititikan oleh leluhur. Ini terlihat dari rumah-rumahnya yang tidak satu pun beratapkan seng layaknya rumah di kota atau rumah-rumah lain yang dijumpai ketika keluar dari kampung ini. Bahkan salah satu rumah yang sedang dibangun pun tidak dibuatkan atap seng. Menurut ketua Pokdarwis (kelompok sadar wisata) kampung Waru Wora, rumah yang ada dikampung ini memang harus menggunakan alang sebagai atapnya seperti yang dilakukan nenek moyang dulu. Pada salah satu rumah yang kami kunjungi, terdapat tanduk kerbau yang masih menempel di kepalanya, berjejer di dinding rumah. Memanjang dari atas ke bawah. Pada bagian rumah lainnya terdapat kepala kerbau bertanduk yang disimpan bersisian. Selain tanduk kerbau, terdapat juga rahang-rahang babi bertaring yang dijejerkan pada kayu-kayu rumah, jumlahnya sekitar puluhan atau mungkin hingga ratusan buah.
“Memang harus kerbau yang tanduknya sudah panjang dan babi yang sudah memiliki taring yang harus disimpan di sini. Itu adalah budaya” Kata ketua Pokdarwis yang bercerita sambil memamah sirih pinang.
Tim Media Trip lalu diajak berkeliling kampung. Diawali dengan beberapa kubur yang berada di pingggir kampung, menghadap kearah laut yang suara ombaknya bisa terdengar sampai ke tempat kami bercerita. Hampir semua batu kubur itu dahulu melalui proses tarik batu kubur yang dulu sering dilakukan dengan ritual khusus. Ritual tarik batu kubur itu tidak lagi dilakukan sekarang karena sudah terbantu dengan adanya truk yang bisa disewakan untuk menganggkut batu. Biasanya ritual batu kubur itu melibatkan seluruh warga kampung dan memakan waktu yang lama serta biaya yang besar. Beberapa batu kubur bahkan ditarik dari pantai selatan Sumba yakni Tarimbang yang berada di wilayah Sumba Timur. Beberapa jenis batu kubur tertentu memiliki ukuran yang besar, menurut ketua pokdarwis hal tersebut dipengaruhi oleh sistem strata sosial yang berlaku di sumba pada jaman dahulu. Namun hal tersebut sudah tidak nampak lagi pada masa sekarang, setidaknya di wilayah tersebut.
Selain dapat melihat langsung ke laut, melalui perkampungan Waru Wora juga kita dapat melihat persawahan yang membentang di kejauhan. Ya, seperti layaknya kampung adat lainnya di Sumba, kampung Waru Wora juga berada di ketinggian sehingga memungkinkan kita untuk melihat ke arah hamparan sawah yang membentang. Sesekali terlihat juga perempuan kampung Waru Wora yang asik menenun di kolong-kolong rumah dan kehidupan masyarakat yang berjalan tenang dan harmonis. Beberapa ternak peliharaan masyarakat seperti kuda dan kambing dibiarkan merumput di dalam kampung. Saat ini musim hujan, rumput sedang tumbuh dan menghijau di halaman-halaman rumah dan disela-sela kuburan, ternak tentu tidak kesulitan mencari makan.
Dari kampung Waru Wora perjalanan dilanjutkan ke pantai Watumbela dengan melintasi padang yang menghijau. Karena kondisi jalan yang licin dan rusak karena hujan akhirnya diputuskan untuk tidak melanjutkan perjalanan. Seluruh rombongan lalu pulang kembali ke Waitabula. Kunjungan ke kampung Waru Wora masih dilakukan tanggal 22 Maret 2017 untuk menyaksikan acara membangun atap salah satu rumah adat di kampung ini, sebelum Tim menuju ke kabupaten Sumba Timur.
Sayangnya, tim tiba agak terlambat karena ketika tiba di sana, masyarakat telah hampir selesai memuat atapnya. Atap yang digunakan adalah alang-alang. Masyarakat yang terlibat dalam proses ini adalah semua anggota yang berada di kampung Waru Wora. Dengan budaya gotong royong seperti itulah beban biaya dan tenaga yang besar untuk membuat sebuah rumah adat bisa diatasi karena semua berusaha mengambil bagian dalam proses pembangunan itu.
Seiring berjalannya waktu, ada banyak praktek kebudayaan tradisional yang mulai terancam hilang bahkan sudah tidak dilakukan lagi. Kehidupan masyarakat mulai berubah dan mengabaikan nilai-nilai luhur kebudayaan yang diwariskan trun-temurun oleh leluhur. Hanya sedikit dari kita yang mampu mempertahankan dan menjaga amanat itu. Karena itu, salut dan bangga untuk mereka yang hingga hari ini memilih untuk tetap menjaga nilai kebudayaan, tetap setia menjalankan semua ritual, tetap menghargai setiap pelajaran hidup yang mereka dapatkan dan tidak tergoda dengan segala perkembangan zaman yang kadang menyesatkan banyak orang. Mereka telah memilih untuk menjaga dan menjadi tuan atas tanah yang diwariskan pada mereka, bagaimana dengan kita? **