Mengelola Sumberdaya Alam di Kawasan Rinjani, Menuju Masyarakat Sejahtera dan Hutan Lestari

You are here

Home / Mengelola Sumberdaya Alam di Kawasan Rinjani, Menuju Masyarakat Sejahtera dan Hutan Lestari

Mengelola Sumberdaya Alam di Kawasan Rinjani, Menuju Masyarakat Sejahtera dan Hutan Lestari

Nusa Tenggara Barat (NTB) memiliki potensi berupa kawasan hutan yang mencapai 53,18 % dari luas wilayah daratannya. Posisi strategis sumberdaya hutan tersebut dalam konteks pembangunan daerah memiliki dua fungsi utama, yaitu peran hutan dalam pembangunan ekonomi dan peran hutan dalam pelestarian lingkungan hidup. Kedua peran tersebut harus mempertimbangkan kontribusi sektor kehutanan terhadap pembangunan ekonomi daerah dan masyarakat serta kontribusinya dalam menjaga keseimbangan sistem tata air, tanah dan udara sebagai unsur utama daya dukung lingkungan.

Mempertimbangkan kebutuhan akan fungsi hutan, pengelolaan dan pemanfaatan hutan yang lestari menjadi kebutuhan mendesak untuk diwujudkan. Hutan yang lestari diwujudkan melalui kegiatan rehabilitasi dan perlindungan serta pengamanan kawasan hutan. Dalam mekanisme pengelolaannya, untuk hutan yang lestari dititikberatkan pada penanganan lahan kritis baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Berdasarkan penafsiran citra lansat tahun 2010 diketahui bahwa luas lahan kritis di Provinsi NTB adalah seluas 444.409,19 Ha dengan komposisi lahan kritis di dalam kawasan hutan seluas 181.188,66 Ha (40,77 % dari luas lahan kritis) dan lahan kritis di luar kawasan hutan seluas 263.220,53 Ha (59,23 % dari luas lahan kritis). Penanganan lahan kritis dilakukan dengan pola partisipatif bekerjasama dengan stakeholder terkait dan diperkuat dengan dukungan kebijakan pemerintah.

Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat telah menuangkan dalam Prioritas Program – RPJMD NTB 2013 – 2018 dalam misi ke lima yaitu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempercepat penurunan kemiskinan dan mengembangkan keunggulan daerah yang pro job, pro growth, pro poor dan pro environment. Kawasan hutan NTB berbatasan langsung dengan 461 desa dari total 1.117 desa se-NTB. Pemberian hak kelola kawasan hutan kepada masyarakat tersebut dilakukan melalui program Hutan Tanaman Rakyat, Hutan Kemasyarakatan serta pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Untuk Kawasan Rinjani sendiri terdapat sumberdaya hutan yang mencapai 125.000 ha, sangat potensial dan strategis dalam menggerakkan ekonomi daerah; berkontribusi terhadap pendapatan daerah, penyediaan lapangan kerja serta pengembangan wilayah dan pertumbuhan ekonomi daerah. Hasil penelitian dari WWF Indonesia, nilai sumber daya alam Rinjani mencapai Rp. 5,178,159 Trilliun dan Hulu dari hampir 146 DAS (Daerah Aliran Sungai).

Sedikitnya terdapat 108 jenis HHBK yang bersumber dari dalam kawasan hutan, dan 61 jenis yang tersebar di luar kawasan hutan. Kontribusinya sebesar 7% - 95% pendapatan keluarga per tahun atau Rp. 1 – 2 juta/bulan/ha (25% - 35% dari total pendapatan rumah tangga) dari pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan seperti madu, bambu, gaharu, gula aren dan kemiri. Potensi ini juga masih belum tergarap dengan baik, terbukti dari 600.000 jiwa yang menggantungkan hidup dari sumber daya hutan Rinjani, 45% diantaranya masi tergolong miskin.

Untuk itu, Konsorsium WWF Indonesia – KSU Maju Bersama Santong melalui hibah Kemakmuran HIjau menginisiasi program peningkatan ekonomi masyarakat pengelola hutan, yang bertujuan untuk melestarikan kawasan Gunung Rinjani dan secara bersamaan meningkatkan ekonomi masyarakat sekitar hutan. Konsorsium WWF Indonesia bekerja di 12 desa dan 3 kabupaten di Pulau Lombok yaitu:

  1. Kabupaten Lombok Utara di desa : Santong, Selengan, Salut dan Mumbul Sari
  2. Kabupaten Lombok Tengah: Desa Lantan, Karang Sidemen, Aik Berik dan Setiling
  3. Kabupaten Lombok Timur: Tete Batu dan Tetebatu Selatan, Pesanggarahan dan Perian.

Program yang berdurasi pendek (18 bulan ini) sengaja menggandeng Koperasi Serba Usaha (KSU) Maju Bersama untuk lebih memperkuat lembaga yang sudah ada di masyarakat sekaligus menjadikan KSU sebagai subject dari program ini, bersama-sama menyusun dan terlibat mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan sampai dengan pengawasan.

Beberapa isu yang diangkat dalam program ini adalah Sistem pengelolaan HHBK yang belum efektif serta masih lemahnya partisipasi masyarakat (termasuk peran perempuan), data potensi HHBK belum lengkap, permasalahan yang terkait dengan pemanfaatan secara lestari, permasalahan dalam peningkatan nilai ekonomi, penjualan di tingkat petani masih bersifat lokal. Isu kelembagaan kelompok tani dan kelompok perempuan, kelompok yang ada umumnya merupakan kelompok pengelola HKm, belum terbentuk atau belum ada kelompok khusus yang bergerak dalam pengelolaan produk HHBK, serta belum terbangun kemitraan dengan berbagai pihak. Isu kebijakan, sampai saat ini tidak adanya Rencana Pengelolaan HHBK, alokasi program, penganggaran minim. Terakhir isu penguasaan modal, selama ini petani tergantung pemodal/tengkulak, ijon, yang diakibatkan akses pasar dan permodalan yang terbatas, menyebabkan posisi tawar petani lemah.  

Untuk menjawab isu ini, beberapa strategi intervensi pun dilakukan dengan mengefektifkan sistem perencanaan dalam pengelolaan dan pemanfaatan HHBK secara berkelanjutan, menguatkan kapasitas masyarakat dan kelembagaan lokal serta memfasilitasi untuk menghasilkan kebijakan lokal yang mendukung pengelolaan HHBK secara terintegrasi pada aspek kelola usaha, kelola kawasan dan kelola kelembagaan terakhir mendorong penerapan (replikasi dan adopsi) praktik-praktik terbaik pengelolaan HHBK.

Lebih rinci dijelaskan Bapak Muhammad Ridha Hakim (Manager Program Small Island – WWF Indonesia) dalam Diskusi Hijau yang dilaksanakan oleh Yayasan BaKTI, 9 Februari lalu di Kantor Bappeda NTB. Beliau menjelaskan intervensi dalam konsep Kelola Kawasan akan dilakukan dengan mengembangkan database keanekaragaman hayati dan karbon, pemetaan partisipatif wilayah kelola kawasan/ lahan garapan (spatial), penyusunan Rencana Pengelolaan HHBK di tingkat desa, integrasi proses produksi – pengolahan – pemasaran kedalam system perencanaan dan penganggaran (desa – kabupaten – provinsi – nasional), pengembangan kapasitas dan sekolah lapang, pengembangan budidaya jenis-jenis HHBK unggulan lokal, serta penguatan kebijakan

Konsep Kelola Usaha melalui penelitian dan pengkajian model bisnis, sentra HHBK dan pemasaran hasil serta rumah produksi, branding dan standarisasi produk komoditas HHBK serta harga serta diversifikasi produk. Semua proses ini didiskusikan dengan tokoh masyarakat, praktisi bisnis, pelaku bisnis, untuk membicarakan seperti apa bentuk pengelolaan bisnis dan usaha mulai dari produksi sampai pemasaran yang bisa memberikan jaminan produk tersebut standarisasinya jelas. Terakhir harus melihat penilaian pasar tentang kemasan, pemasaran produk, dan keunggulan serta diversifikasi pangan.

Konsep Kelola Kelembagaan dengan membangun kerjasama dan kemitraan dengan pasar juga dengan perusahaan-perusahaan swasta. Penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat (Koperasi, BUMDes, KWT, KUBE, Asosiasi Usaha HHBK) serta penguatan kapasitas pemerintah serta memperkuat kerjasama antar desa, antar sector, antar wilayah.

Di Pulau Lombok sendiri, saat ini terdapat beberapa program baik dari pemerintah maupun lembaga masyarakat lokal, LSM yang bekerja dalam sector HHBK ini. Seperti yang dilakukan oleh Lombok Research Center (LRC) sebuah LSM di Lombok Timur. LRC dan beberapa petani dampingan di daerah Jeringo dan sudah dipasarkan sampai ke luar negeri. Selain itu, ada juga coklat dan kopi di desa Sembalun, bahkan sudah dikembangkan/dipadukan menuju Desa Agro Wisata.

LRC memiliki program Green Belt Rinjani bekerjasama dengan masyarakat di Lombok Timur, dengan menanam gaharu seluas 44 Ha. Green Belt ini bertujuan agar kerusakan hutan tidak bertambah luas, mengapa gaharu? gaharu merupakan tanaman tahunan tropis dengan nilai ekonomi yang tinggi. Untuk tanaman musiman, dipilih buah Pepaya. Di Pringgasela, juga ada budidaya tanaman agroforestry yaitu jeruk yang diselingi dengan tanaman papaya dan jahe dengan kualitas ekspor.

Tawaran kerjasama menarik datang dari Dinas Peridustrian NTB. Dinas  Perindustrian yang telah terpisah dari Dinas Perdagangan, lebih fokus pada industri kecil dan menengah, dimana salah satu bagiannya adalah industri kreatif yang menangani HHBK, tupoksinya adalah selain pembinaan juga peningkatan kapasitas sumber daya manusia. Menjawab tantangan diversifikasi produk, Dinas Perindustrian bisa memberikan pelatihan kepada anggota kelompok tani untuk peningkatan standarisasi mutu maupun hasil produk termasuk didalamnya diversifikasi produk. Selain itu juga dapat membantu dalam proses standarisasi dan hak paten.  

Terakhir, intervensi program ini diharapkan berdampak pada 3.590 petani pengelola HKm (setidaknya 35% dari jumlah keseluruhan petani pengelola HKm di 29 desa di Pulau Lombok yang berjumlah 11.005 petani) serta 1.507 yang berada di 4 desa yang berbatasan langsung dengan Wilayah Taman Nasional Rinjani.

Contact
Share This: