Meciptakan Mata Air Baru di Tengah Serbuan Mesin Galian C
Beberapa kali mengikuti kegiatan Konsorsium Hijau Lombok Tengah, khususnya di Desa Wajegeseng ada cerita yang selalu terselip di sesi presentasi, yakni cerita seorang petani bernama Hanafi yang memulihkan sumber mata air di lahannya setelah tidak mengalirkan air sebagai akibat dari aktivitas tambang galian tipe C. Saya tertarik dengan cerita itu, dan meluangkan waktu untuk dapat berkunjung kembali ke Desa Wajegeseng. Untuk bisa bertemu dengan Pak Hanafi, oleh Manager Area Konsosrsium Hijau Lombok Tengah saya dihubungkan dengan Pak Mansur, salah seorang Kepala Dusun di Desa tersebut sekaligus anggota Pandu Tanahair. Pak Mansur inilah yang selanjutnya menemani perjalanan saya menuju dusun Lendang Pengkores, lokasi rumah pak Hanafi.
Disepanjang perjalanan Pak Mansur menceritakan sejarah Desa Wajegeseng, dari cerita beliau disebutkan bahwa Wajegeseng berdiri pada Tahun 1969, yaitu sebagai salah satu desa hasil pemekaran dari Desa Bebuak Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok Tengah. Kata Wajageseng merupakan pengabadian julukan seorang pejuang yang membuka wilayah pemukiman dulu ketika merambah hutan belantara Beliau adalah LALU UMAR BIN RADEN SINGAREP, yang mana ketika merintis wilayah pemukiman selalu berhadapan dengan tantangan dan hambatan yang bahkan tidak terlepas dari bentrokan fisik dengan pihak lain yang tidak setuju untuk diadakan perluasan wilayah, tapi dengan jiwa dan keberanian beliau waktu itu, demi terjaminnya kebutuhan masyarakatnya untuk tempat tinggal waktu itu, sehingga beliau rela berjuang walaupun harus meneteskan darah sekalipun, sehingga karena keberanian dan perjuangannya itulah maka beliau dijuluki Wajageseng, adapun yang dimaksudkan dengan sebutan Wajageseng yaitu suatu perlambang keperkasaan karena besi baja atau waja (sebutan masa itu) bila dibakar atau dipanaskan dia akan semakin keras dan kuat.
Obrolan kami pun terus berlanjut tentang kondisi desa saat ini, dimana mata pencaharian penduduk desa sangat tergantung pada pertanian. hal itu tidak mengherankan karena Wajegeseng memiliki lahan pertanian sawah seluas 337 Ha dan perkebunan seluas 359 Ha. Dengan dominasi topografi datar berombak (hampir 90% dari luas wilayahnya). Begitu memasuki Desa Wajegeseng hingga dusun Lendang Telaga dikiri kanan kita disuguhkan pemandangan persawahan yang hijau terhampar luas diselingi dengan rumah penduduk yang terjejer dipinggir jalan. Akan tetapi pemandangan berbeda akan kita temui ketika memasuki Dusun Lendang Pengkores, di sisi kiri dan kanan jalan terlihat kolam-kolam raksasa, eks lokasi tambang penggalian Tipe C. Serta beberapa lokasi yang dalam proses pengerukan. Sesekali terlihat eskavator parkir di areal itu, serta satu perusahaan pemecah batu (crusher) berdiri di lokasi tidak jauh dari pemukiman warga. Pasir, kerikil, batu-batu yang sudah dipecah hingga batu berukuran besar berjejer di tepi jalan. Sayangnya, tidak satupun pekerja yang bisa saya temui karena saya melintasi jalan tersebut tepat tengah hari, saat pekerja sedang kembali kerumah untuk beristihat.
Jika dilihat dari luas lahan yang telah dikeruk dan mobilitas truk pengangkut yang cukup ramai pasti akan memberikan dampak positif bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat serta penambahan pendapatan desa dari retribusi. Akan tetapi kenyataannya hingga saat ini belum ada kajian terkait peningkatan kesejahteraan masyarakat sebagai kontribusi adanya tambang galian tersebut di Desa Wajegeseng dan pihak pemerintah desa pun belum pernah menetapkan aturan retribusi bagi truk pengangkut (dam) yang melintasi desa.
Kondisi yang lebih menonjol dari dampak aktifitas tambang tersebut adalah beberapa ruas jalan di desa rusak parah karena kapasitas jalan yang tidak memadai untuk dilintasi truk pengangkut, selain itu kerusakan lingkungan mulai terasa, polusi debu ketika musim kemarau berdampak pada menurunnya kualitas udara serta temperatur yang semakin tinggi. Dampak ini semakin diperparah karena ada beberapa sumber mata air (engger, istilah masyarakat setempat) di sekitar lokasi penambangan sudah tidak mengalirkan air lagi. Hal yang paling ironis adalah, pemilik lahan menjadi kuli di tanahnya sendiri.
Akhirnya kami sampai di kediaman Pak Hanafi. Setelah menempuh perjalanan sekitar 20 menit dari Kantor Desa Wajegeseng dan melewati jalanan terjal berbatu sisa lokasi penggalian, perlu ekstra hati-hati terlebih lagi jika menggunakan kendaraan roda empat. Karena jalan cukup labil setelah diguyur hujan sehari sebelumnya.
Kami disambut dengan hangat oleh Pak Hanafi dan dipersilakan untuk masuk namun kami lebih memilih duduk di berugak yang terletak di belakang rumah karena udara cukup segar yang dikelilingi oleh pohon bambu dan pohon mahoni. Setelah mengutarakan maksud kedatangan kami, Pak Hanafi pun langsung menceritakan pengalamannya di tahun 2009.
Menurut pengakuannya, pada awalnya Ia hanya ikut-ikutan saja karena lahan milik warga di sekitar lahannya sudah dikeruk dan menjadi lebih rendah. Selain itu, tuntutan kebutuhan rumah tangga yang dirasakannya semakin sulit untuk ia penuhi, sehingga Ia memutuskan untuk menggali lahan yang dia miliki kepada perusahaan yang juga membeli lahan lainya milik warga desa. Saat itu material seperti pasir dan kerikil dijualnya dengan harga Rp. 15.000/truk dan batu yang berukuran besar dia pecah menjadi batu kecil berdiameter 3-4 cm. Yang akan dia jual ke perusahaan itu dengan harga Rp. 80.000/dam. Jika kondisi badan sedang fit, Pak Hanafi bisa memecah batu hingga 1 dam sehari. Namun tidak dipungkiri, seringkali degub jantung terganggu akibat getaran palu saat memecah batu, namun karena dorongan kondisi ekonomi Pak Hanafi tetap bertahan.
Dalam kurun waktu dua bulan, lahan seluar 50 are habis dikeruk hingga menyisakan kolam berukuran besar, yang hanya terisi jika musim penghujan datang. Kondisi ekonomi keluarga tidak ada perubahan karena apa yang diproleh hanya cukup memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari. Jika melihat lahan miliknya, dia juga bingung apa yang bisa dialakukan. Sebelumnya dia membayangkan, jika tanah kebun miliknya dikeruk maka bisa beralih fungsi menjadi sawah karena akan mudah untuk diairi. Tetapi setelah proses pengerukan selesai,alih fungsi itu tidak bisa dilakukan karena struktur tanah berkarang yang tidak bisa menyimpan air dan sumber mata air (engger) di lahan yang diandalkan sebagai sumber irigasi untuk lahannya juga ternyata mati. Tidak ada setetes air pun yang keluar.
Bapak dua anak ini pun putus asa dan memilih membiarkan lahan tersebut begitu saja. Setelah beberapa bulan berlalu, Pemerintah Kabupaten Lombok Tengah memberikan sumbangan bibit beberapa jenis pohon seperti mahoni, sengon dan jati kepada masyarakat. Pak Hanafi pun tertarik dan mencoba menanam bibit tersebut dilahannya dengan tanaman selingan kacang tanah. Tanpa dia ketahui bahwa tanaman kacang sebenarnya adalah satu jenis tanaman yang sangat baik bagi tanah karena dapat mengikat unsur N dalam tanah. Lama kelamaan pohon sengon, mahoni dan jati yang ditanamnya tumbuh subur dan mulai meninggi. Seperti ada harapan baru tumbuh dalam dirinya saat melihat tanaman yang hijau dilahan yang sebelumnya tandus itu.
Lima tahun telah berjalan, ketika Pak Hanafi berkunjung ke lahan yang kini lebih pantas disebut kebun dengan maksud untuk mengambil daun dan rumput untuk pakan ternak sapinya. Dia melihat lokasi engger yang sebelumnya kering kini mulai basah, air keluar kembali. Semakin hari debitnya semakin besar, sehingga oleh Pak Hanafi dibuatkan bak penampung berdiameter 1 m2. Kini air tersebut menjadi sumber kehidupan bagi 15 KK di sekitar areal kebun dan sudah dilengkapi dengan pipa untuk mengalirkan air menuju rumah penduduk. “saya tidak mau lagi seperti dulu, lebih baik sekarang saya tanam lagi. Hitung-hitung jadi tabungan buat anak-anak sekolah nanti” ungkap Pak Hanafi mengakhiri ceritanya.
Penulis : Baiq Titis Yulianti
Field Officer Yayasan BaKTI
Add new comment