LOkakarya KLHS - SPRE Terhadap Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir di Pulau Sumba
“Dalam perspektif pembangunan terdahulu yang cenderung parsial, bicara soal pembangunan pesisir maka yang dilihat memang hanya pesisir. Hari ini saya mengajak bapak dan ibu untuk melihat pembangunan wilayah pesisir rendah emisi di Pulau Sumba dalam kaitannya dengan kondisi wilayah tutupan baik di dalam maupun di luar kawasan hutan, yang relatif memang cukup parah” Demikian arahan Bapak Wayan Darmawa, Kepala Bappeda Propinsi NTT ketika membuka kegiatan Lokakarya III KLHS- SPRE Terhadap Perencanaan Wilayah Pesisir di Pulau Sumba- Propinsi NTT tanggal 14-15 September 2016 di Hotel Swissbell Segara Nusa Dua, Bali.
Kepala BAPPEDA NTT selain itu menegaskan penyusunan kebijakan untuk KLHS-SPRE Pulau Sumba ini harus terintegrasi dengan melihat 3 aspek kunci yakni 1) pemahaman yang benar terhadap karakteristik wilayah secara sosial, budaya maupun geografis; 2) komitmen seperti apa yang harus dilakukan dalam setiap peletakkan kebijakan yang disiapkan dan 3) konsistensi implementasinya, dimana perlu ada transformasi kebijakan sehingga tidak ada gap informasi antara pengambil kebijakan dan impelementor. misalnya KLHS SPRE yang disusun nanti bisa jadi sangat dipahami oleh Pokja tetapi belum tentu dipahami oleh pengambil kebijakan.
Sementara Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi NTT selaku Ketua Pokja KLHS SPRE Pulau Sumba dalam sambutannya yang diwakili oleh Kabid Konservasi Bapak Jani D, mengapresiasi tim Blue Carbon Consortium (BCC) atas dukungan MCA-Indonesia yang telah ikut serta memberikan kontribusi positif terhadap pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dalam penyusunan KLHS- SPRE untuk Pulau Sumba.
Kegiatan diawali dengan penyampaian materi oleh Ibu Laksmi Wiratini dari Pusat Pengendalian Pembangunan Ekoregion Bali- Nusra (P3E- Denpasar) dengan judul “Kondisi Ekosistem Pesisir dan Laut di Wilayah Ekoregion Bali dan Nusa Tenggara”. Dalam paparannya, berdasarkan survey yang dilaksanakan oleh Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) Provinsi Bali bekerjasama dengan Coral Triangle Center (CTC) pada bulan Juli 2015, kondisi pesisir dan laut Bali relatif membaik dibandingkan tiga tahun lalu. Data kondisi terumbu karang pada kedalaman 3 meter, presentasi tutupan karang hidup rata-rata 60,7 persen. Presentasi tutupan yang sama juga terjadi di kedalam 10 meter yang berkisar antara 14-90,3 persen dengan rata-rata 60 persen. Sementara itu data lain menunjukkan bahwa kepadatan ikan sebesar 2.395 ind/ha, biomassa ikan 286,7kg/ha.
Untuk NTT, potensi luas wilayah perikanan budidaya ikan 51.879 ha, luas wilayah budidaya rumput laut 51.870 ha, presentasi penutupan karang keras (di teluk Kupang) 33,33 persen dan presentasi penutupan karang keras (di Perairan Lembata) 41,86 persen. Kondisi terumbu karang di Kabupaten Kupang bervariasi dari karang hidup tertinggi 80 persen sampai tidak ada, substrat dasar perairan didominasi oleh pasir dan batu dengan presentasi tutupan masing-masing dalam kisaran 30-100 persen dan 5-40 persen sehingga kondisi terumbu karang termasuk kategori buruk sekali. Kondisi terumbu karang yang buruk kemungkinan akibat sedimentasi dari daratan yang ditandai oleh kekeruhan perairan dan munculnya penyakit karang (coral disease) juga aktivitas penangkapan ikan menggunakan bom.
Materi lain dipaparkan oleh Bapak Alberi dari BCC mengenai Kerangka Kerja Acuan KLHS Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) Pulau Sumba-NTT. Hasil yang diharapkan dari penyusunan kerangka acuan kerja KLHS RZWP3K adalah terpotretnya pengaruh kebijakan penataan ruang dalam Ranperda RZWPK3 Provinsi NTT (Pulau Sumba) 2016-2036 terhadap kondisi lingkungan hidup setempat, adanya rumusan penyempurnaan rencana penataan ruang dalam Ranperda RZWP3K Provinsi NTT (Pulau Sumba) dan adanya rekomendasi perbaikan kebijakan RZWP3K ruang dan peta jalan (road map) pengintegrasian KLHS. Secara konseptual, pendekatan yang digunakan adalah kombinasi antara proses pengambilan keputusan dan pengkajian dampak terhadap pembangunan berkelanjutan akibat implementasi KRP (impact based SEA approach). Pendekatan ini secara metodologi memanfaatkan kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan sebagai ukuran kepentingan lingkungan hidup atau kaidah-kaidah keberlanjutan yang harus dipertimbangkan dalam perumusan KRP.
Setelah istirahat, sesi dilanjutkan dengan penyampaian materi oleh Bapak Adtya dari BCC tentang Analisis Isu Strategis – NTT. pada Lokakarya II telah dihasilkan 19 isu strategis pembangunan berkelanjutan yang dikelompokkan dalam bidang ekonomi, sosial dan lingkungan. Dari ini kemudian dilakukan pelingkupan (scooping) untuk mendapatkan daftar pendek isu dengan indikator menguasai hidup orang banyak, lintas sektor dan lintas wilayah, sedang berlangsung dan diperkirakan akan terjadi, dampak kumulatif dan berdampak jangka panjang. isu-isu strategis tersebut adalah : Kebakaran lahan, Bencana Alam, Pertambangan ilegal, illegal fishing/destructive fishing, kerusakan mangrove, kepunahan KEHATI, pencemaran air laut, sampah dan limbah, kerusakan terumbu karang, konflik lahan, Pengakuan pemerintah terhadap hak ulayat, Alih fungsi dan kepemilikan lahan yang tidak terkontrol, Pencurian hasil laut, Kemiskinan dan pengembangan pariwisata.
Materi terakhir pada hari-1 dengan topik Pendekatan Kerangka Kerja Telaah KLHS SPRE dalam Tata Ruang Pesisir yang disampaikan oleh Bapak Muhammad Komarudin dari BCC. Secara umum model kerangka kerja KLHS SPRE terhadap tata ruang pesisir terdiri dari tahap penetapan tujuan, pelingkupan, telaah dan analisis, pengambilan keputusan dan tindak lanjut. Dari sesi ini teridentifikasi kebutuhan data tim BCC serta sumber data yang akan diambil, yaitu Dokumen RTRWP (Bappeda Provinsi), Peta RTRWP (Bappeda Provinsi), Dokumen RZWP3K (DKP Provinsi), Peta RZWP3K (DKP Provinsi), Buku dan Data SLHD (BLHD Provinsi), Kabupaten Dalam Angka (Bappeda Kab), Buku Putih Sanitasi (Bappeda Provinsi dan Kab), Daftar Kecmatan dan Desa Pesisir (DKP Kab) dan Kecamatan dalam Angka (Pokja Kab).
Pada hari kedua, 15 September 2016 kegiatan diawali dengan penyampaian materi berjudul Konsep, Metodologi dan Implementasi Daya Tampung Beban Pencemar oleh Bapak Budi Kurniawan (Kasubdit Inventarisasi dan Alokasi Beban Pencemar) dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ditjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Hidup – Direktorat Pengendalian Pencemaran Air. Ada beberapa informasi yang dipaparkan dalam sesi ini antara lain menurut UU No 32 tahun 2009 tentang pengelolaan dan perlindungan hidup, daya tampung lingkungan hidup adalah kemampuan lingkungan hidup untuk menyerap zat, energi dan atau komponen lain yang masuk atau dimasukkan ke dalamnya. Sedangkan pengertian data tampung beban pencemar (DTBP) air atau assimilative capacity adalah kemampuan air pada suatu sumber air, untuk menerima masukan beban pencemaran tanpa mengakibatkan air tersebut menjadi cemar. Secara umum pengendalian pencemaran air di Indonesia dengan cara penerapan teknologi (technologi based approach) dalam bentuk instalasi pengeolahan air limbah/IPAL; penggunaan tindakan tepat guna (best management practices), misalnya pengolahan limbah ternak, manajemen pestisida dan pupuk; serta pendekatan kualitas air (water quality based approach).
Kegiatan lokakarya ditutup oleh Bapak Prianto Wibowo selaku Project Manager tim BCC yang menyampaikan beberapa catatan hasil review proses selama dua hari kegiatan antara lain bahwa Kerangka Acuan Kerja KLHS menitikberatkan pada penyusunan KLHS wilayah pesisir di Pulau Sumba dan sebagai bagian serta lessons learned untuk penyusunan KLHS RZWP3K, perlunya SK pokja sebagai “pengikat” pokja dalam menyelesaikan kegiatan penyusunan KLHS dalam konteks kegiatan proyek MCA-Indonesia, Perumusan muatan KRP yang akan dianalisis dalam KLHS menitikberatkan pada KRP RZWP3Kdan RTRWK di Sumba, dengan tambahan KRP terkait jalan/transportasi darat, dan Metodologi KLHS yang digunakan adalah GAP Analysis GIS dan model hidrodinamika transport pollutan.