Bertani Kopi Arabica Selamatkan TNKS
Kerinci-Hari ini panasnya cukup bagus. Matahari dan langit biru tampil bersamaan. Puncak gunung Kerinci bahkan terlihat jelas di kejauhan sana. Kehijauan menyebar di sejauh mata memandang. Meski bukan hutan, tapi perkebunan teh menyambut kedatangan kami ke desa-desa di sekitar Kecamatan Kayo Aro dan Gunung Tujung, Kabupaten Kerinci.
Kebun teh yang dibangun Belanda pada 1920 itu kini dikuasai dan dikelola PTP Nusantara VI. Adalah gerbang memasuki desa-desa di pinggang lingkar gunung Kerinci. Ini adalah desa-desa yang berbatasan langsung dengan zona inti dari Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS).
Perjalanan masih harus ditempuh beberapa kilometer sebelum akhirnya kami tiba di Desa Sungai Tanduk, Kecamatan Kayo Aro, Kabupaten Kerinci. Beberapa warga menyambut kedatangan tim kami yang terdiri dari tim WWF Indonesia, Lembaga Advokasi Hak Rakyat (Lahar) dan ekspatriat dari Millenium Challenge Corporation (MCC) Millenium Challeng Account (MCA) Indonesia.
Begitu tiba, warga langsung menyambut hangat. Yayasan Lahar mengajak kami bertemu dengan masyarakat tani yang mereka dampingi. Perbincangan dengan masyarakatpun tak terelakkan. Tapi ada yang aneh. “Rasanya seperti tidak di Kerinci. Rasanya seperti di pulau Jawa, ya?” Kata Nazaruddin Permana, Communication Asisstant WWF Indonesia yang baru pertama kali berkunjung ke desa ini sembari tersenyum. “Ya, melayu tua rasa jawa,” kata saya nyengir.
Memang, kedatangan kami ke Desa Sungai Tanduk ini dalam kaitan melihat program pengembangan perkebunan kopi untuk mereduksi pembukaan lahan di TNKS. Setidaknya ada 13 kelompok tani dan 268 orang petani yang sudah tergabung. Rata-rata memiliki lahan antara 1 – 2 hektar.
Kelompok Tani Khasta misalnya. Kelompok ini tengah menyiapkan penanaman benih kopi arabika di lahan setiap anggota kelompok. “Kita akan tanam kurang lebih 3000 bibit arabika dari jenis P 88 dan Sigararutang,” ujar salah seorang anggota Poktan. Penanaman ini merupakan bagian dari program konversi lahan mereka yang selama ini bercocok tanam hortikultura ke tanaman kopi. Mereka didampingi oleh Yayasan Lahar dan WWF Indonesia.
Harapannya, setelah bercocok tanam kopi arabika pendapatan masyarakat lebih baik ke depannya. Setidaknya dalam kurun 2 tahun, kopi sudah bisa dipanen. Dengan harga arabika sekarang ini saja, bila di petik merah akan dihargai Rp 8.000 per kg. Harga akan jauh lebih tinggi bila para petani memberikan perlakuan tambahan pada buah cherry.
“Jadi kalau buah cherry tadi dijual dalam keadaan kering sebelum roasting, harga biji kopi bisa sampai Rp 28.000 per kg,” kata salah seorang petani anggota kelompok tani, Suryono.
Menurut Direktur Lahar, Musnardi Moenir, kopi Arabica memiliki tingkat kafein yang lebih tinggi. Sedangkan robusta memiliki rasa acid (asam) yang lebih keras. Di pasaran nasional dan internasional, harga arabika juga jauh lebih tinggi karena penikmatnya terus bertambah.
Sejauh ini, Lahar dengan dukungan dana dari WWF Indonesia dan MCA Indonesia telah mendorong terbentuknya 14 kelompok tani binaan. Tersebar di 10 desa. Dari seluruh kelompok tersebut, terdapat 4 kelompok perempuan. Total anggota kelompok sebanyak 278 petani.
Sementara itu, dari 4 kelompok tani perempuan, dua adalah kelompok petani dan 2 lagi kelompok pemetik buah kopi. “Jadi kami juga diajarkan cara menyemai bibit hingga bercocok tanam kopi. Serta bagaimana cara memetiknya,” kata Ketua Kelompok Tani Jaya Lestari, Kaliyem.
Kelompok Tani Jaya Lestari di Desa Jernih Jaya adalah kelompok tani wanita yang berada di desa jernih jaya , yang mana kelompok tani jaya lestari ini tidak hanya kelompok tani kopi tetapi juga kelompok tani yang juga mempunyai kegiatan dalam pengembangan keterampilan contohnya adalah karya tangan dari barang bekas (sampah) dan juga pelatihan menjahit. Kelompok tani ini mempunyai koperasi yang berada di salah satu rumah ketua kelompok , disini bisa dilihat hasil dari karya tangan anggota kelompok tani jaya lestari. Kelompok jaya lestari juga merupakan kelompok ibu-ibu pemetik kopi. (markus setyawan)