Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi untuk Pembangunan Pesisir Berkelanjutan

Anda di sini

Depan / Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi untuk Pembangunan Pesisir Berkelanjutan

Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi untuk Pembangunan Pesisir Berkelanjutan

Perjanjian  Paris  adalah  pemicu  strategis  bagi  Indonesia untuk   membuat   loncatan   guna   menjadi   bangsa  yang berkelanjutan. Indonesia sebagai negara Megabiodiversity, pada COP 21 di Paris Prancis Pemerintah Indonesia menargetkan penurunan emisi secara mandiri emisi karbon sebanyak 26% pada 2030, atau 41% dengan dukungan internasional. Keunggulan dari Perjanjian Paris adalah membuat semua negara sepakat pada pembatasan peningkatan suhu dunia pada angka 1.50 C, sebenarnya pembatasan ini justru mendukung Indonesia sebagai negara kepulauan dimana potensi peningkatan permukaan laut dapat saja menenggelamkan kepulauan yang ada.
Dalam   rangka   mencegah   peningkatan   suhu   global, Indonesia   akan   memasukkan   sejumlah   strategi   jangka pendek,   jangka   menengah,   dan   jangka   panjang   untuk mengurangi   emisi   karbon   sebagaimana   yang   telah dilakukan  oleh  negara-negara  lainnya.  Tindakan  realisasi pengurangan  karbon  tentu  saja  tidak  murah,  mengingat juga   tantangan   terbesar   Indonesia   adalah   pada   sektor hutan, energi, industri, dan pertanahan utamanya konversi lahan tetap menjadi masalah kritis di Indonesia. Diperkirakan 60% dari total emisi karbon Indonesia disebabkan oleh konversi lahan.
Provinsi Nusa Tenggara Barat sebagai salah satu provinsi kepulauan memiliki 278 pulau dengan luas wilayah laut mencapai 29.159 Km2 dan memiliki sebaran ekosistem mangrove, terumbu karang dan padang lamun.
Sebagai provinsi yang memiliki wilayah laut yang luas, pulau Lombok dihadapkan pada beberapa tantangan pembangunan wilayah pesisir diantaranya : menurunnya kualitas lingkungan ekosistem WP3K (Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil), overfishing dan potensi konflik pemanfaatan ruang, Sumber daya manusia, sistem data dan informasi WP3K yang masih lemah, belum lagi ancaman bencana WP3K tinggi serta lemahnya koordinasi antar sektor sehingga sering kali pemanfaatan kawasan konservasi tidak sesuai dengan peruntukannya. Dulu disepanjang pantai selatan pulau Lombok, masih banyak terdapat hutan mangrove yang tersebar di Gili Sulat dan Sekotong, sekarang sangat jarang ditemui lagi karena alih fungsi lahan menjadi lahan tambak, wilayah industry dan pariwisata. Data menunjukkan luas lahan mangrove di NTB menurun sampai dengan 0,8% (18.356 Ha) menurun 1.877 Ha dari jumlah hutan mangrove di Indonesia yang mencapai 2.236.984 Ha (sumber: Balai Pengelolaan Hutan Mangrove Wilayah I, 2011).


Manfaat mangrove utamanya dalam menekan perubahan iklim adalah sebagai sequestrasi Co2 (penyerap karbon) mulai dari akar dan lumpurnya, sekitar 30-40% sequestrasi dilakukan di akar dan disimpan dalam bentuk lumpur.  Mangrove juga berfungsi sebagai spouning dan nursery ikan berpindah ke lahan pesisir khususnya  mangrove untuk pemijahan. Valuasi hasil ekonomi mangrove, sekitar 63 juta per hektar, ini cukup kecil ini apabila dikaitkan dengan nilai tidak langsung seperti dari ekowisata.
Untuk mencegah ini terus terjadi, berbagai kebijakan dan upaya dilakukan oleh berbagai pihak dalam pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dari Pemerintah Provinsi NTB contohnya;  melindungi, konservasi, rehabilitasi, pengawasan pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan WP3K, meningkatkan daya tahan masyarakat pesisir terhadap ancaman bencana, koordinasi atas stakeholder, meningkatkan kualitas SDM & menumbuhkan jiwa kewirausahaan serta mengembangkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi.
Kegiatan harmonisasi pengelolaan kawasan konservasi prov. NTB dengan output adanya Surat Keputusan Gubernur untuk Pencadangan Kawasan Konservasi total kawasan 229.555.36 Ha. Untuk pelibatan masyarakat, pemerintah melakukan beberapa program pelatihan pengolahan sampah, pelatihan pengolahan hasil perikanan (2013 & 2014), Pesisir berseri, mengajak masyarakat untuk menjaga kebersihan pantai dan laut, Kab. Lombok Timur (2014), Sekolah Pantai Indonesa, mengedukasi siswa SMA untuk lebih mengenal dan cinta pesisir dan laut. Pembinaan dan pemberdayaan kelompok pokmaswas dengan tujuan meningkatkan kapasitas pokmaswas dalam menjaga SDKP (Sumberdaya Kelautan dan Perikanan).


Peran dan upaya pemerintah daerah dalam hal ini pemerintah Kabupaten/Kota juga diharapkan dapat menjadikan perubahan iklim dan lingkungan menjadi permasalahan dan issu strategis dalam dokumen perencanaan baik itu RPJMD, RPJMDES, RKPDES maupun Renstra SKPD serta RAD Suitainable Development Goal (SDG’S). Optimalisasi implementasi perbub RAD GRK dalam perencanaan dan penganggaran, implementasi Perda tata ruang dan AMDAL dalam setiap aktivitas pembangunan, integrasi perencanan dan penganggaran  dengan berbagai sektor dalam pengelolaan SDA Pesisir, serta penyediaan akses yang memadai bagi masarakat pesisr terhadap pelayanan public, pemberdayaan masyarakat dan lembaga usaha mikro khsusnya dalam sektor ekonomi dalam upaya peningkatan kesejahteraan, penguatan kearifan lokal degan pemanfaatan lembaga-lembaga adat yang sudah dibentuk dan terakhir penguatan dan pembentukan kelompok atau desa tangguh bencana.
Peran pemerintah daerah dalam pembangunan pesisir yang rendah emisi dan perkelanjutan lebih jauh dibahas dalam Diskusi Hijau NTB yang rutin dilaksanakan oleh Yayasan BaKTI. Kali ini mengangkat tema “Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi Untuk Pembangunan Pesisir Berkelanjutan” yang dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2016 bertempat di Aula Kantor Bappeda Kabupaten Lombok Timur. Pada diskusi ini, hadir pula beberapa perwakilan SKPD terkait dari Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, Pertanian, Dinas Perhubungan, Akademisi, LSM Lokal serta media baik dari tingkat provinsi maupun kabupaten (Lombok Timur, Lombok Tengah, Lombok Utara) yang merupakan wilayah kerja Aktifitas Pengetahuan Hijau – Hibah Kemakmuran Hijau MCA – Indonesia. Turut hadir pula dalam diskusi ini beberapa perwakilan dari mitra penerima hibah Aktifitas Pengetahuan Hijau. Sedangkan Narasumber pada diskusi ini terdiri dari : Bpk H. Rasmono (Kabid Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil) Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi NTB, Bpk. Lalu Satria Utama dari Bappeda Lombok Tengah dan Bpk. Alfian Puji Koordinator Program Blue Carbon Consortium (BCC) Wilayah Nusa Tenggara Barat.
Dalam presentasinya, Bpk. Alfian Puji menyampaikan beberapa program yang telah dan akan dilakukan oleh BCC yang mendukung pembangunan rendah emisi di wilayah pesisir pulau Lombok diantaranya melalui kegiatan Peningkatan Pengetahuan dan Kapasitas Pemerintah Daerah contohnya adalah pelatihan ToT GIS dan IDSD di tingkat Provinsi, Kabupaten, workshop Pembangunan Rendah Emisi di Wilayah Pesisir, pembuatan Demoplot Praktek Pengelolaan Pesisir Rendah Emisi serta penyusunan modul Pelatihan terkait Kajian Lingkungan Hidup Strategis – Strategi Pembangunan Rendah Emisi ( KLHS-SPRE), embuatan biogas dan bioslurry di Desa Rempek, Lombok Utara, memperkenalkan mode Wanamina (Silvofishery) kepada masyarakat pesisir yang terbukti mampu mencegah erosi pantai dan intrusi air laut sehingga permukiman dan sumber air tawar dapat dipertahankan dan terbangunnya sabuk hijau di pesisir (coastal green belt) serta ikut mendukung program mitgasi dan adaptasi perubahan iklim global.


Selain itu mendorong penerapan Teknologi Probiotik di Desa Kidang, Lombok Tengah. Probiotik yang digunakan Bacillus sp, Lactobacillus sp, Saccharomyces sp, Pseudoalteromonas, Alteromonas sp, Vibrio alginolyticus, Nitrosomonas sp, dan Nitrobacter sp. Penggunaan mikroba baik untuk biokontrol, probiotik maupun bioremediasi dapat meningkatkan produksi, yaitu kelangsungan hidup mencapai 50-80%, pertumbuhan yang lebih cepat dan peningkatan kekebalan tubuh, diindikasikan dengan tolerannya tehadap infeksi bakteri maupun virus serta memberikan kondisi lingkungan yang lebih baik
Di Kabupaten Lombok Timur telah menerapkan Inovasi teknologi untuk mengantisipasi penurunan produksi akuakultur yang diharapkan mampu mengurangi limbah dan meningkatkan produktifitas persatuan luas lahan budidaya. Salah satu inovasi teknologi yang dapat diterapkan yaitu budidaya ikan yang terintegrasi dengan tanaman melalui sistem IMTA. IMTA adalah salah satu bentuk dari budidaya Laut dengan memanfaatkan penyediaan pelayanan ekosistem oleh organisme trofik rendah (seperti kerang dan rumput laut) yang disesuaikan sebagai mitigasi terhadap limbah dari organisme tingkat trofik tinggi (seperti ikan)
Limbah budidaya ikan yang merupakan hasil aktivitas metabolisme banyak mengandung amonia. Ikan mengeluarkan 80- 90% amonia (N-anorganik). Akumulasi amonia pada media budidaya merupakan salah satu penyebab penurunan kualitas perairan yang dapat berakibat pada kegagalan produksi budidaya ikan.
Di akhir, semua pihak harus bekerja bersama  melawan   masalah   konversi   lahan,   kekurangan energi   bersih,   buruknya   kondisi   kesehatan,   dampak peningkatan permukaan laut di pulau-pulau kecil, dan isu-isu terkait  iklim  lainnya  yang  merupakan  prioritas  di  mata masyarakat.  
Pemerintah  juga  harus  secara  signifikan  lebih  efektif dalam  menyusun  peraturan  dan  koordinasi  sebagai  aksi yang  paling  penting  dan  strategis  dari  segala  solusi  yang ada, serta memastikan partisipasi masyarakat dalam tiap upaya pembangunan.  Hal  ini  adalah  kunci.  

 

Feedback
Share This: