Lokakarya II KLHS- SPRE Terhadap Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir - NTT
Pesisir adalah wilayah yang memiliki berbagai keunikan ekosistem dan sumber daya serta merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut yang mengalami tekanan pembangunan yang cukup besar. Pada wilayah pesisir memiliki berbagai jenis ekosistem seperti ekosistem mangrove, hutan pantai dan padang lamun yang memiliki kontribusi yang besar dalam menyerap karbon di alam di samping dapat memberikan berbagai jasa ekosistem berupa jasa penyediaan sumber daya alam (provisioning), jasa pengaturan (regulating), jasa budaya (cultural) dan jasa pendukung (supporting). Sebagian besar penduduk tinggal di wilayah pesisir yang sedikit banyak berkorelasi pada pembangunan yang cukup tinggi di wilayah pesisir yang berdampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah pesisir.
Pembangunan rendah emisi sebagai suatu paradigma dalam menjawab tantangan perubahan iklim perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir, mengingat relatif pesatnya pembangunan di wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut ini. Suatu Strategi Pembangunan Wilayah Pesisir (SPRE) yang diartikan sebagai kerangka kerja perencanaan dan pelaksanaan pembangunan ekonomi dalam jangka panjang yang dapat memenuhi tujuan pembangunan sekaligus mengurangi gas rumah kaca perlu diintegrasikan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir.
Proyek Pengelolaan Pengetahuan Pembangunan Rendah Emisi di wilayah Pesisir yang dilaksanakan oleh Blue Carbon Consortium dengan dukungan Program Kemakmuran Hijau MCA-Indonesia, saat ini sedang bekerjasama dengan pemerintah provinsi NTT untuk membantu memastikan pembangunan berkelanjutan dan rendah emisi terintegrasi dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir di Provinsi NTT, khususnya di wilayah Pulau Sumba (NTT) dengan menyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang mencakup Strategi Pembangunan Rendah Emisi (KLHS-SPRE) berbasis pulau di Pulau Sumba.
Pada tanggal 16-17 Juni 2016 bertempat di Tilong Room, Hotel Swissbellinn Crystal Kupang sekitar 29 peserta berkumpul untuk mengikuti kegiatan Lokakarya II Kajian Lingkungan HidupStrategis – Strategi Pembangunan Rendah Emisi (KLHS- SPRE) Terhadap Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir : Pelingkupan dan Dokumentasi Data di Pulau Sumba, NTT. Para peserta berasal dari unsur tim Konsorsium Karbon Biru, Taman Nasional Perairan Laut Sawu, TNC Kupang, Universitas Nusa Cendana Kupang, Yayasan BaKTI dan SKPD tingkat Propinsi maupun Kabupaten, yaitu Bappeda, Dinas Kelautan dan Perikanan, Badan Lingkungan Hidup. Kegiatan yang berlangsung selama dua hari ini bertujuan untuk mengidentifikasi permasalahan penataan ruang di wilayah pesisir pulau Sumba- NTT, menentukan pelingkupan (scooping) dalam penyusunan KLHS- SPRE Pulau Sumba serta melakukan inventarisasi dan identifikasi kebutuhan data untuk penyusunan KLHS- SPRE Pulau Sumba.
Kegiatan dibuka oleh Kepala Bappeda Propinsi NTT, Bapak Wayan Darmawa yang sangat berharap agar nantinya dokumen KLHS – SPRE yang dihasilkan bisa mengakomodir tantangan-tantangan pengelolaan wilayah pesisir yang dihadapi oleh NTT sebagai Propinsi Kepulauan sehingga dapat dimanfaatkan oleh semua pelaku pembangunan untuk menciptakan sinergitas agar terjadi peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat pesisir serta target penurunan emisi rumah kaca sebesar 26% pada tahun 2020 dapat tercapai.
Pada hari pertama kegiatan diawali dengan presentasi tentang Kajian Penguasaan Lahan di Wilayah Pesisir Sumba (Survey Land Tenure pada 7 Desa dan 1 Kelurahan yang menjadi wilayah program Konsorsium Karbon Biru di 4 Kabupaten di Pulau Sumba) oleh Bapak Sulistiyono, SH, MH dan dilanjutkan dengan presentasi tentang Status draft Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir (RZWP3K) Propinsi NTT oleh Bapak Izaak dari Dinas Kelautan dan Perikanan Propinsi NTT. Setelah makan siang, presentasi dilanjutkan dengan materi tentang Status RTRWP Propinsi NTT dan Peran BKPRD dalam Perencanaan Pengelolaan Wilayah Pesisir oleh Bapak Roy Hanning dari Bappeda Propinsi NTT dan materi tentang Konsep Daya Dukung dalam Perlindungan Pengelolaan dan Pengendalian Lingkungan dalam Konteks Perencanaan Wilayah Pesisir oleh Bapak Hendaryanto dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Selanjutnya setelah sesi tanya jawab dengan narasumber, peserta masuk dalam sesi diskusi dan dibagi dalam 3 kelompok untuk melakukan identifikasi pemangku kepentingan dengan tujuan teridentifikasinya para pemangku kepentingan yang harus terlibat dalam penyusunan KLHS, menjamin diterapkannya azas partisipasi, menjamin bahwa hasil perencanaan dan evaluasi KRP (Kebijakan, Rencana dan Program) memperoleh legitimasi atau penerimaan oleh publik dan agar masyarakat juga pemangku kepentingan mendapatkan akses untuk menyampaikan informasi, saran, pendapat, dan pertimbangan tentang pembangunan berkelanjutan melalui penyelenggaraan KLHS.
Sesi ini kemudian dilanjutkan dengan proses identifikasi isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan, dengan tujuan disepakatinya isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan yang meliputi aspek sosial, ekonomi dan lingkungan hidup atau keterkaitan antara ketiga aspek tersebut; fokus diskusi terhadap isu-isu pembangunan berkelanjutan yang signifikan dengan kondisi daerah dan membantu penentuan capaian pembangunan berkelanjutan. Dari sesi ini ada sekitar sembilan belas isu strategis pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan yaitu kebakaran padang rumput, pertambangan galian C illegal, illegal fishing, produksi garam secara tradisional, penetapan zona pemanfaatan yang belum tepat, alih kepemilikan lahan yang tidak terkontrol, posisi tawar masayarakat adat yang rendah dalam penentuan kebijakan pengembangan wilayah pesisir, pengakuan pemerintan terhadap hak ulayat masyarakat, kepunahan keanekaragaman hayati seperti beberapa spesies burung, pencemaran air laut, abrasi pantai, sampah dan limbah, pengembangan pariwisata, penebangan hutan bakau, pencurian hasil laut, terbatasnya akses masyarakat ke pesisir, pengambilan terumbu karang, pengolahan lahan daratan yang tidak ramah lingkungan misalnya pemanfaatan pupuk kimia, konflik lahan dan kemiskinan.
Pada hari kedua kegiatan dilanjutkan dengan melakukan pelingkupan untuk isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan yang dihasilkan pada hari pertama dengan merujuk pada muatan KRP (Kebijakan, Rencana dan Program) Pengelolaan Wilayah Pesisir yang termuat dalam dokumen RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) maupun RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil) Propinsi NTT. Dalam penjelasannya di awal sesi Bapak Alberi dari Konsorsium Karbon Biru menjelaskan bahwa setidaknya ada delapan tahap yang harus dilaksanakan dalam meyusun dokumen KLHS, yaitu : Tahap persiapan (pembentukan tim Pokja, penyusunan kerangka acuan kerja KLHS dan pengumpulan data; Tahap Pra Pelingkupan; Tahap Pelingkupan; Tahap Analisis Dampak, Daya Tampung dan Daya Dukung Lahan, Analisis SPRE; Tahap Penyusunan Dokumen KLHS; Tahap Konsultasi Publik; Tahap Rekomendasi KLHS serta Tahap Integrasi KLHS ke dalam KRP.
Pada sesi ini juga secara bersama peserta diajak oleh Bapak Adiyta Peryasa dari Konsorsium Karbon Biru untuk melihat Aspek Keruangan dalam penyusunan KLHS dengan merujuk pada dokumen RZWP3K Propinsi NTT yang sedianya akan diPerdakan pada bulan Oktober 2016 nanti (saat ini statusnya masih sebagai draft Ranperda).Tujuan sesi ini adalah mendapatkan “shorlist” isu-isu strategis pembangunan berkelanjutan yang telah merujuk pada aspek keruangan yang terdapat dalam dokumen RZWP3K Propinsi NTT.
Pada akhirnya kegiatan selama dua hari ini berhasil meningkatkan pemahaman peserta (yang merupakan anggota tim Pokja terpilih pada kegiatan Lokakarya I tanggal 25-26 Mei 2016 di Kupang) tentang bagaimana alur kerja dan peran Pokja dalam penyusunan dokumen KLHS – SPRE, tentang isu- isu strategis pembangunan berkelanjutan yang singnifikan untuk Pulau Sumba dan kaitannya dengan dokumen RTRW maupun RZWP3K Propinsi NTT. Serta tidak kalah menariknya ada “parking notes” dimana pada kesempatan ini para peserta juga memberikan masukan bagi draft Ranperda RZWP3K yang masih terdapat typo dan belum lengkap seperti pada zona pelabuhan, kawasan strategis, dan lain-lain.
Mewakili tim Konsorsium Karbon Biru, Bapak Prianto Wibowo selaku Project Manager menegaskan bahwa tim akan menyampaikan hasil lokakarya ini pada ketua dan sekretaris Pokja termasuk parking notes, dimana ketua dan sekretaris Pokja juga akan menikdaklanjuti legalitas Pokja jika diperlukan serta anggota Pokja dapat memberikan masukan tertulis mengenai identifikasi muatan KRP melalui email kepada tim Konsorsium Karbon Biru.
Kegiatan ini ditutup oleh Bapak William Enga dari Bappeda Propinsi NTT yang mengapresiasi keterlibatan para peserta dalam memberikan masukan selama proses Lokakarya serta menghimbau agar semua pihak yang terlibat baik di Propinsi maupun Kabupaten dapat mendukung penyusunan dokumen KLHS – SPRE ini dengan menyediakan data-data pendukung yang diperlukan oleh tim Konsorsium Karbon Biru.