FGD Lanjutan – Archipelagic Dryland Agriculture (ALRIC)

Anda di sini

Depan / FGD Lanjutan – Archipelagic Dryland Agriculture (ALRIC)

FGD Lanjutan – Archipelagic Dryland Agriculture (ALRIC)

Kegiatan FGD kali ini merupakan lanjutan dari upaya menghimpun berbagai pengetahuan hijau atau praktik-praktik terbaik pengelolaan sumberdaya alam dan produksi pertanian berkelanjutan di lahan kering yang dilaksanakan LPIU - PETUAH Undana pada tanggal 20 Mei 2016.  Dalam kegiatan ini, empat pakar yang terkait bidang ilmunya diundang untuk menyajikan hasil penelitian/prakik baiknya, dilanjutkan dengan diskusi dengan pakar lain yang terkait untuk pengayaan materi. Empat pakar yang diundang adalah Dr. Max U. F. Sanam dari Fakultas Kedokteran Hewan Undana, Helena Da Silva, SP, MSi dari BPTP Nusa Tenggara Timur, Dr. W.I.I. Mella dari Fakultas Pertanian Undana dan Dr. Thomas Mata Hine dari Fakultas Peternakan Undana.

Dr. Maxs Sanam menyajikan materi tentang Kajian Molekuler Gen Protektif Antigen Bacilus anthracis Isolat Indonesia. B. anthracis adalah penyebab penyakit antraks pada sapi, yang juga dapat menular pada manusia. Melalui kajian molekuler ini, ditemukan adanya kekerabatan yang tinggi antara isolat-isolat B. antrachus dari Indonesia. Peneliti juga menemukan adanya mutasi nukleutida tunggal (Single Nucleutide Polymorphism, SNP) pada gen PA yang mengendalikan virulensi bakteri antraks. Menarik untuk diketahui dari kajian ini bahwa mutasi pada gen yang mengendalikan virulensi bakteri ini cukup rendah sehingga vaksin-vaksin antraks yang digunakan saat ini masih dapat digunakan dalam jangka panjang. Temuan penelitian ini juga memungkinkan untuk diketahui asal atau sumber bakteri penyebab penyakit antraks seandainya terjadi kasus di suatu daerah karena isolate-isolat dari masing-masing daerah endemic antraks di Indonesia, termasuk NTT, telah diketahui genotipnya. Hasil penelitian ini dapat berkontribusi kepada Pemerintah dalam upaya pengendalian penyakit antraks pada sapi, yang juga berpitensi menular dan menginfeksi manusia yang mengkonsumsi daging sapi berpenyakit antraks.

Ir. Helena da Silva, SP, MSi., peneliti dari BPTP NTT bekerjasama dengan Politeknik Kupang dan Balai Besar Paskapanen Bogor, menghasilkan mesin pemberas jagung. Dengan adanya mesin ini maka jagung dapat dibuat dalam bentuk beras jagung dengan mudah, selain tepung jagung dan bekatul jagung yang juga dihasilkan pada mesin yang sama. Beras jagung dapat dicampur dengan beras padi untuk konsumsi manusia, tepung jagung bisa dimanfaatkan untuk produk aneka makanan  dan kuliner serta bekatul jagung dapat digunakan untuk pakan ternak. Dengan demikian maka persoalan yang selama ini menyebabkan orang kurang tertarik untuk memanfaatkan jagung sebagai makanan pokok, yakni karena prosesnya yang cukup panjang, dapat teratasi. Hal ini sangat membantu petani-petani lahan kering di NTT yang mayoritasnya membudidayakan jagung sebagai makanan pokok.

Dr. Wilhelmus Mella dari Fakultas Pertanian Undana menyaikan materi dengan topik Adaptasi dan Mitigasi Perubahan Iklim di Tingkat Petani. Pemateri menyajikan bagaimana petani dapat didampingi untuk melakukan berbagai aktivitas adapatasi dan mitigasi perubahan iklim melalui cara-cara yang mudah dilakukan seperti penggunaan biochar (arang), penggunaan mulsa, penentuan waktu tanam yang tepat dan pertanian terpadu. Biochar merupakan arang hasil bakaran yang dapat digunakan pada media tanaman agar daya ikat airnya lebih baik dan produksi tanaman lebih tinggi. Selanjutnya, penggunaan mulsa dapat mengurangi penguapan air dari permukaan tanah dan mengikat air sehingga kebutuahn air tanaman dapat dipenuhi dalam masa-masa kesulita air. Persoalan waktu tanam yang tidak menentu saat ini akibat perubahan pola hujan, oleh penelti dapat diatasi dengan membuat pemodelan memanfaatkan data-data dari BMKG, kadar air tanah, dsb. Dengan pemodelan ini petani dapat dibantu untuk menanam jagung pada waktu yang tepat. Optimasi model pertanian terpadu melibatkan tanaman pangan, tanaman setahun/tahunan, dan ternak dilengkapi dengan pembuatan jebakan-jebakan air merupakan salah satu cara yang efektif untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim di tingkat petani.  

Dr. Thomas Mata Hine melakukan penelitian untuk menemukan medium terkondisikan terbaik untuk kultur embrio dan stem cells partenogenetik dan menguji kemampuan pluripotensi stem cells dan pengarahannya menjadi sel syaraf pada mencit. Sel punca atau stem sel merupakan sel pada hewan atau manusia yang dapat diarahkan pertumbuhannya menjadi sel organ tertentu sesuai dengan kebutuhan. Dengan teknologi sel punca ini maka penyakit-penyakit degeneratif dapat diobatai dengan cara mengganti sel-sel yang rusak pada organ tersebut menggunakan sel punca. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media kultur TCM-199 dapat menunjang pertumbuhan sel kumulus, sel fibroblas, dan sel endometrium yang lebih baik daripada DMEM dan KSOM. Media MTF menghasilkan daya dukung yang lebih baik terhadap perkembangan embrio dan stem cells partenogenetik. Sel punca yang dikultur dalam medium terkondisikan mengekspresikan sifat pluripotensi dan dapat diarahkan menjadi neuron-like cells (sel yang menyerupai sel neuron). Walaupun hasil penelitian ini masih jauh dari implementasi praktisnya, prospeknya cukup cerah untuk dikaji terus mengingat kebutuhan akan metode-metode pengobatan penyakit degeneratif yang boleh dikatakan sebagai penyakit modern pada umat manusia saat ini.

Feedback
Share This:

Kirim komentar

Plain text

  • Tidak ada tag HTML yang diperbolehkan.
  • Alamat web dan email otomatis akan diubah menjadi link.
  • Baris dan paragraf baru akan dibuat otomatis.
CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.