Penganggaran Hijau Untuk Daerah
Setelah menyadari bahwa gas rumah kaca adalah ancaman terhadap agenda pembangunan nasional dan internasional, Indonesia berkomitmen untuk mencapai pengurangan emisi karbon yang signifikan dari BAU pada tahun 2020. NTB secara khusus telah merasakan dampak dari perubahan iklim tersebut yakni pad tahun 2007 dimana musim kemarau lebih panjang sehingga petani mengalami gagal panen. Untuk itu melalui RAD GRK yang telah ditetapkan oleh pemerintah NTB pun perlu ditindaklanjuti juga dengan transisi ke ekonomi rendah karbon dengan implikasi jangka panjang bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Untuk mendukung tindakan pengurangan emisi karbon, diperlukan peran aktif seluruh elemen pemerintah baik dari tingkat Propinsi hingga tingkat desa dengan mengoptimalkan peran serta masyarakat dalam pembahasan mengenai pentingnya kerangka kelembagaan untuk pembangunan berkelanjutan sangat diperlukan. Untuk hal itu, pemerintah daerah perlu memasukkanpemikiran ramah lingkungan (green thinking) didalam proses APBN/D tahunan. Langkah ini akan mempengaruhi peraturan yang akan mengubah tindakan agen lain dalam perekonomian. Dengan dimasukannya perspektif lingkungan ke dalam prioritas perencanaan yang mengarah ke integrasi manfaat dan biayaterkait lingkungan hidup ke dalam dokumen siklus fiskal pemerintah, maka pemerintah perlu memikirkan instrumen pendapatan atau pengeluaran yang mengakomodasi upaya penanganan perubahan iklim yang disebut sebagai "penganggaran hijau" (green budgeting). Bila melihat isu yang lebih luas, penganggaran hijau sesungguhnya tidak hanya terbatas pada tujuan penanganan perubahan iklim namun juga pelestarian lingkungan hidup.
Mengingat pentingnya penerapan penganggaran hijau, terutama bagi pemerintah daerah, LPEM FEB UI dalam kerangka studi mengenai "Mendukung dan Melanjutkan Perencanaan Mitigasi Karbon Indonesia melalui Penganggaran Hijau: Memperluas Pengetahuan dan Mengimplementasikannya di Pemerintah Daerah", telah melaksanakan Training of Trainer (ToT) Penganggaran Hijau yang dilaksanakan pada tanggal 19-21 Juli bertempat di Hotel Golden Palace Mataram, Nusa Tenggara Barat. Tujuan Pelatihan Penganggaran Hijau adalah untuk 1. Menyebarluaskan pengetahuan kepada para pemangku kepentingan tentang pentingnya memasukkan aspek lingkungan ke dalam perencanaan dan penganggaran. 2. Meningkatkan kapasitas pemerintah, khususnya pemerintah daerah, dalam membuat perencanaan dan penganggaran yang mempertimbangkan aspek perubahan iklim dan lingkungan. Setelah mengikuti pelatihan ini, para peserta diharapkan dapat mengintegrasikan antara RAD GRK dengan perencanaan daerah, penganggaran, serta mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan program dan institusi pelaksananya. Dalam jangka panjang, pelatihan ini akan diberikan kepada lebih banyak aparatur pemerintah daerah supaya semakin banyak aparatur daerah yang menerapkan penganggaran hijau.
Terkait dengan upaya menciptakan pembangunan berkelanjutan, banyak negara telah mengumumkan komitmen mereka terkait dengan isu-isu lingkungan yang mendesak seperti perubahan iklim.Dalam pengumuman komitmen ini maka dibutuhkan suatu sasaran yang mencerminkan target yang akan dicapai oleh negara tersebut. Penetapan sasaran penurunan emisi yang dilakukan berbagai negara secara umum dapat digolongkan menjad 4, yaitui:
1) Target berdasarkan tahun dasar. Target berdasarkan tahun dasar ditentukan dengan mengambil kondisi emisi di satu tahun untuk dijadikan dasar penurunan. Penetapan target melalui tahun dasar dilakukan oleh Antigua dan Bermuda, Belarus, Kazakhstan, Moldova dan Montenegro. Pemilihan tahun dasar sebaiknya didasari pada waktu di mana emisi yang dikeluarkansatu negara bernilai stabil dan relevan. Hal ini dikarenakan apabila pemilihan tahun dasar diambil dari tahun yang memiliki emisi yang relatif terlalu tinggi atau rendah, maka penurunan emisi dapat terlihat lebih besar dibandingkan dengan keadaan sebenarnya atau justru dapat terlalu memberatkan negara.
2) Target berdasarkan BAU
Cara kedua yaitu dengan menetapkan garis trend Business as Usual sebagai pembanding untuk aktivitas pengurangan emisi yang dilakukan. Berbeda dengan penentuan target berdasarkan tahun dasar yang memiliki garis standar emisi yang tetap, penentuan target berdasarkan BAU melihat kemungkinan adanya kenaikan emisi di masa depan dengan memperhitungkan asumsi-asumsi seperti laju pertumbuhan ekonomi, penjualan bahan bakar dan kendaraan, dan laju deforestasi. Indonesia adalah salah satu negara yang menerapkan metode ini untuk penetapan target nasionalnya sesuai dalam pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di COP 13 yang kemudian dituangkan dalam Perpres No. 61 tahun 2011. Negara lain yang menerapkan standar ini adalah Brazil, Chile, Israel, Papua New Guinea, Singapura, Afrika Selatan dan Korea Selatan.
3) Target berdasarkan netralitas karbon
Cara ketiga adalah Netralitas Karbon. Netralitas karbon (Carbon Neutrality/Net Zero Carbon Footprints) adalah usaha untuk menghasilkan emisi karbon bersih yang bernilai nol dengan menyeimbangkan jumlah karbon yang dilepaskan dengan jumlah yang setara untuk diserap dengan melakukan aktivitas pengurangan karbon seperti penanaman pohon, atau membeli kredit karbon yang cukup untuk membuat perbedaanyang diharapkan. Hal ini digunakan dalam konteks proses pelepasan karbon dioksida yang terkait dengan transportasi, produksi energi, dan proses industri seperti produksi bahan bakar netral karbon.
4) Target berdasarkan intensitas karbon
Intensitas karbon adalah tingkat karbon rata-rata yang dihasilkan dari polutan yang berasal dari sumber tertentu yang dibandingkan secara relatif ke intensitas aktivitas yang spesifik. Contoh dari target ini seperti gram karbondioksida yang dilepaskan ke udara per megajoule energi yang dihasilkan, rasio emisi gas rumah kaca yang dihasilkan per Product Domestic Bruto (PDB).
Di dalam melaksanakan program dibutuhkan sebuah indikator untuk mengukur sudah sejauh mana suatu perencanaan berhasil diimplementasikan dan apakah program tersebut efektif dalam mencapai tujuan yang diinginkan. Begitu pula dengan penanganan perubahan iklim yang erat kaitannya dengan penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), hinggga dibutuhkan BAU indikator atau baseline untuk mengukur pencapaian penanganan perubahan iklim. Dimana penerapannya di derah di bagi ke dalam beberapa basis sektor, yaitu sektor berbasis lahan, sektor berbasis energi, dan sektor berbasis limbah.
imana yang dimaksud dengan kegiatan di sektor berbasis lahan adalah meliputi perubahan tata guna lahan dan kehutanan, termasuk kegiatan pertanian dan kebakaran lahan gambut. Berdasarkan data nasional, sektor berbasis lahan memberi sumbangan sebesar 15%dari total Produk Domestik Bruto (PDB). Akan tetapi, kegiatan berbasis lahan juga menyumbang emisi sekitar 67% dari emisi total nasional dan merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor lain. Penyebab utama dari emisi berbasis lahan di Indonesia adalah pemanenan kayu dan perluasan lahan pertanian. Selain itu, kebakaran hutan khususnya di lahan gambut juga merupakan isu yang sangat penting dalam pengelolaan sumber daya lahan di Indonesia.
Sedangkan sektor berbasis energi merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua setelah sektor berbasis lahan. Dalam Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), sektor ini dibagi ke dalam tiga sektor utama yaitu sektor energi (produksi dan konsumsi energi), transportasi, dan industri. Sebesar 51,5% emisi ini bersumber dari bahan bakar dan kilang minyak, 18,2% dari transportasi, 12,2% dari listrik dan produksi panas, 7,4% dari rumah tangga, dan 5,9% dari industri, pabrik, dan konstruksi.
Dan yang terakhir adalah sektor berbasis limbah atau sering disebut dengan pengelolaan limbah, baik limbah padat maupun limbah cair, dapat muncul dari berbagai aktivita khidupan antara lain aktivitas rumah tangga (domestik), industri, komersial, kesehatan, dan lain-lain. Pertumbuhan populasi dan perkembangan ekonomi akan berkorelasi dengan peningkatan jumlah timbunan limbah yang sebagai konsekuensinya akan meningkatkan jumlah timbunan limbah. Adapun rencana aksi penurunan emisi GRK dari sektor berbasis pengelolaan limbah ini berfokus pada pengelolaan sampah dengan penerapan konsep 3R, fasilitasi prasarana pengumpulan/pengangkutan sampah, pembangunan/ peningkatan Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) sampah menjadi sanitary landfill dan juga pengembangan TPA yang terpadu dengan teknologi pemanfaatan GRK untuk energi. Sementara dalam pengelolaan limbah cair domestik dilakukan melalui pembangunan dan peningkatan pelayanan sarana dan prasarana air limbah terpadu terutama bagi kawasan perkotaan.
Dengan demikian diharapkan anggaran pro lingkungan di daerah untuk mendukung pelaksanaan pembangunan rendah emisi penganggran mengani hal ersebut dapat dimasukkan dalam sub bab-sub bab dalam dokumen penganggaran.