Memperkuat Aparat Desa dan Masyarakat Dalam Menyusun Rencana Pembangunan Desa Pesisir Yang Rendah Emisi

You are here

Home / Memperkuat Aparat Desa dan Masyarakat Dalam Menyusun Rencana Pembangunan Desa Pesisir Yang Rendah Emisi

Memperkuat Aparat Desa dan Masyarakat Dalam Menyusun Rencana Pembangunan Desa Pesisir Yang Rendah Emisi

Peran desa dalam menentukan pembangunan telah diatur dalam Undang-undang No 6 Tahun 2014, yang kemudian diatur lebih rinci dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa. Dalam pelaksanaannya Pemerintah kemudian melalui Menteri Dalam Negeri telah menetapkan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 114 Tahun 2014 yang mengatur secara lebih terperinci perihal Pedoman Pembangunan Desa

Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa, yang dimaksud dengan Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dalam Permendagri tersebut juga telah dijelaskan bahwa Perencanaan Pembangunan Desa adalah  proses tahapan kegiatan yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa dengan melibatkan Badan Permusyawaratan Desa dan melibatkan unsur masyarakat secara partisipatif guna pemanfaaatan dan pengalokasian sumber daya desa dalam rangka mencapai tujuan pembangunan desa. Dengan demikian jelas disebutkan bahwa proses Pembagunan Desa selain  selain diselenggarakan oleh Pemerintah Desa, yaitu Kepala Desa dan Perangkat Desa juga harus melibatkan Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dari unsur masyarakat.

Rencana Pembanguna Jangka Menengah Desa atau yang disingkat dengan RPJM Desa adalah Rencana Kegiatan Pembangunan Desa untuk jangka waktu enam tahun. Rancangan RPJM Desa sebaiknya harus memuat visi dan misi dari Kepala Desa, Arah Kebijakan Pembangunan Desa serta Rencana Kegiatan yang meliputi bidang Penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Pelaksanaan Pembangunan Desa, Pembinaan Kemasyarakatan Desa dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, seperti yang telah disebutkan dalam pasal 6, Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 114 Tahun 2014 tentang Pedoman Pembangunan Desa.

Saat ini, Desa bukan lagi sebagai penerima pembangunan (objek) namun sebagai pelaku pembangunan (subjek). Desa memiliki hak mengatur dan mengurus pembangunan untuk mensejahterakan rakyatanya. Oleh karena itu, pelaksanaan program-program sektoral yang masuk ke desa harus diinformasikan kepada pemerintah desa untuk diintegrasikan dengan dengan Rencana Pembangunan Desa. Rakyat desa juga berhak mendapatkan informasi dan melakukan pemantauan mengenai rencana dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan kewenangan yang dimiliki dengan mengacu pada perencanaan pembangunan kabuapten/kota. Perencanaan pembangunan desa yang ideal dilakukan oleh masyarakat desa sendiri secara partisipatif, karena masyarakat desalah yang jauh lebih mengetahuidan mengerti apa masalah yang sesungguhnya di desa dan potensi apa yang bisa digali untuk dikembangkan demi kemajunan desa. Pembangunan desa dilaksanakan oleh pemerintah desa bersama masyarakat desa dengan semangat gotong-royong memanfaatkan sumber daya alam desa serta menggunakan bahan baku yang ada di desa. Kepala desa menyelenggarakan penyusunan RPJM Desa dengan mengikutsertakan unsur masyarakat desa. Penyusunan RPJM Desa dilaksanakan dengan mempertimbangkan kondisi objektif desa dan prioritas program dan kegiatan kabupaten/kota.

Berbicara soal perencanaan pembangunan maka haruslah juga diperhatikan kondisi geografis wilayah kesatuan Republik Indonesia yang merupakan daerah kepulauan sehingga dapat berimplikasi pada keberadaan wilayah-wilayah pesisir yang tersusun atas berbagai ekosistem pesisir yang penting dalam pembangunan seperti mangrove, lamun dan rawa asin. Pesisir adalah wilayah yang memiliki berbagai keunikan ekosistem dan sumber daya serta merupakan daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut yang mengalami tekanan pembangunan yang cukup besar. Pada wilayah pesisir memiliki berbagai jenis ekosistem seperti ekosistem mangrove, hutan pantai dan padang lamun yang memiliki kontribusi yang besar dalam menyerap karbon di alam di samping dapat memberikan berbagai jasa ekosistem berupa jasa penyediaan sumber daya alam (provisioning), jasa pengaturan (regulating), jasa budaya (cultural) dan jasa pendukung (supporting). Sebagian besar penduduk tinggal di wilayah pesisir yang sedikit banyak berkorelasi pada pembangunan yang cukup tinggi di wilayah pesisir yang berdampak pada daya dukung dan daya tampung lingkungan di wilayah pesisir.

Strategi Pembangunan Rendah Emisi (SPRE) sebagai suatu paradigma dalam menjawab tantangan perubahan iklim perlu dipertimbangkan dalam perencanaan pengelolaan wilayah pesisir, mengingat relatif pesatnya pembangunan di wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut ini. SPRE dikonsepsikan sebagai “jalan tengah” antara tujuan-tujuan pembangunan nasional dan upaya pengurangan emisi global. SPRE ditujukan untuk mendukung terciptanya visi misi pembangunan berkelanjutan (sustainable development golas). Secara singkat SPRE didefinisikan sebagai proses pembangunan yang dilakukan dengan hanya menggunakan sedikit karbon dan menghasilkan emisi yang minimal. SPRE dicetuskan sebagai bentuk kompromi antara kepentingan pembangunan suatu wilayah dengan kepentingan konservasi dan perlindungan alam. Adapun ciri-ciri penting pembangunan rendah emisi adalah sumber energi dan proses pembangkitan energi hanya menggunakan atau membuang sedikit karbon, pemanfaatan energi hemat dan efisien, kebutuhan sehari-hari menggunakan bahan lokal (energi, pangan, material), menerapkan prinsip Reduce, Re-use dan Recycle sehingga limbah hanya sedikit dan adanya kesadaran serta tanggung jawab masyarakat yang tinggi terhadap lingkungan.

Pada tingkatan provinsi dan kabupaten, SPRE sudah diadopsi dalam dokumen Rencana Aksi Daerah Gas Rumah Kaca (RAN-GRK), namun belum terlalu menyentuh pada persoalan-persoalan bagaimana upaya pencegahan pelepasan karbon potensial di wilayah pesisir. Begitu juga pada level desa, yang mana pihak pemerintah saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan kegiatan pembangunan desa termasuk desa-desa pesisir, namun belum mengantisipasi integrasi SPRE ke dalam dokumen RPJM Desa. Integrasi SPRE dalam pengelolaan wilayah pesisir memiliki peranan penting dalam pengurangan emisi GRK secara global. Aktifitas pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya alam wilayah pesisir dan ekossitem pendukungnya untuk pertunbuhan ekonomi telah berkontribusi secara signifikan terhadap peningkatan GRK dan pemanasan global. Peningkatan GRK dapat terjadi secara lansgung maupun tidak langsung terhadap pemanasan global. Badan Pusat Statistik (BPS) mendefinisikan desa pesisir adalah desa/kelurahan termasuk nagari dan atau lainnya yang memiliki wilayah yang berbatasan langsung dengan garis pantai/laut (atau merupakan desa pulau) dengan corak kehidupan rakyatnya, baik tergantung maupun tidak tergantung pada potensi laut.

Kegiatan rendah emisi adalah kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di desa atau perkotaan dengan memperhatikan penggunaan bahan dan material yang dapat mengurangi dampak perubahan iklim. Pembangunan beremisi rendah seharusnya diadopsi menjadi salah satu referensi utama bagi pemerintah pusat, gubernur, bupati, walikota, camat, dan lurah/kelapa desa dalam menerapkan strategi pembangunan masa kini. Hal ini tentu saja akan berguna dalam banyak hal, baik itu pengurangan emisi nasional, peningkatan kualitas kehidupan warga dan lingkungan hidup, munculnya kegiatan-kegiatan ekonomi yang baru dan inovatif, dan banyak lainnya. Singkatnya desa pesisir rendah emisi dapat disimpulkan sebagai desa yang berada di wilayah pesisir pantai yang memperhatikan penggunaan bahan dan material rendah emisi dalam pembangunan desanya serta memiliki terobosan-terobosan untuk lebih menata desanya secara ramah lingkungan dengan menyesuaikan dengan kondisi lokal daerahnya.

 

 

Konsorsium Karbon Biru (Blue Carbon Consortium/BCC), melalui pengelolaan dana hibah dari Millenium Challenge Acccount Indonesia (MCAI), telah memulai Proyek Pengelolaan Pengetahuan Rendah Emisi di Provinsi NTB dan NTT khususnya di Pulau Lombok dan Sumba pada bulan Oktober 2015. Proyek ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk memitigasi hilangnya karbon dengan mengintegrasikan SPRE  ke dalam perencanaan dan praktek-praktek pembangunan di wilayah pesisir. Dalam pelaksanaannya BCC telah mengadakan studi dan kajian serta telah menetapkan delapan desa di Pulau Sumba, yaitu Desa Watumbaka dan Mondu (Sumba Timur), Desa Lenang dan Watuasa (Sumba Tengah), Desa Patialabawa dan Waihura (Sumba Barat) serta Desa Wainyapu dan Perokonda (Sumba Barat Daya) sebagai lokasi demoplot praktek – praktek pengelolaan pengetahuan pembangunan rendah emisi khususnya pada wilayah desa pesisir.

Pada tanggal 1-3 November 2016 bertempat di Aula Hotel Elvin Waingapu – Sumba Timur, sekitar 34 orang peserta yang berasal dari perwakilan aparat desa, masyarakat dan fasilititor desa dari 8 desa pesisir di 4 Kabupaten di Pulau Sumba yang merupakan lokasi intervensi program BCC mendapatkan kesempatan untuk mengikuti kegiatan “Peningkatan Kapasitas Aparatur Pemerintahan Desa dan Masyarakat Dalam Penyusunan Rencana Pembangunan Desa Pesisir Rendah Emisi di Pulau Sumba - Nusa Tenggara Timur”. Suasana pelatihan hari terakhir siang itu berjalan serius sambil sesekali diselingi gelak tawa dari para peserta yang hadir, walaupun cuaca sedikit panas dengan suhu ruangan berada pada posisi 33 derajat celcius. Hari ketiga itu para peserta dibagi dalam dua kelompok besar berdasarkan asal kabupaten yaitu kelompok pertama kabupaten Sumba Timur dan Sumba Tengah serta kelompok kedua kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, dimana mereka berkesempatan untuk melakukan  review RPJM Desa masing-masing, untuk melihat apakah dokumen yang telah disusun itu telah sesuai dengan Langkah-langkah Penyusunan RPJM Desa yang materinya telah mereka dapatkan sehari sebelumnya. Secara substansi memang tidak ada yang dirubah dari dokumen yang telah dihasilkan desa ini tetapi proses ini memperlihatkan poin-poin apa yang harus diperbaiki untuk penyusunan dokumen RPJM Desa yang akan datang.  Juga proses review ini akan dikerjakan di desa masing-masing sebagai tindak lanjut pelatihan ini.

 

 

Secara umum materi yang diberikan dalam penguatan kapasitas selama tiga hari ini adalah yang terkait dengan pengenalan sumber daya pesisir dan strategi rendah emisi, pengenalan regulasi pembangunan desa: Permendagri no 114 tahun 2014 serta tehnik fasilitasi perencanaan pembangunan desa secara partisipatif, dengan narasumber Bapak Sundjaya dari LPM UI dan Bapak Akbar A Digdo dari BCC.

Menurut salah satu peserta pelatihan Bapak K. Hara Endi, sekretaris desa Mondu - Sumba Timur lewat kegiatan ini sebagi aparat desa ada tambahan pengetahuan yang didapat tentang SPRE yang selanjutnya akan dibagikan dengan masyarakat di desa. Terlebih dalam sesi simulasi fasilitasi perencanaan desa secara partisipatif, dapat belajar bagaimana mengidentifikasi masalah-masalah ekonomi dan melihat kaitannya dengan masalah emisi karbon serta mencarikan solusinya. Misalnya aktifitas masak garam secara tradisional di desa Watumbaka yang masih menggunakan kayu bakar yang sangat banyak. Memperkuat pernyataan ini, Ibu  Christina Day Tenga sebagai perwakilan dari kelompok perempuan Desa Mondu juga mengatakan bahwa dengan kegiatan ini berharap nantinya bisa ikut mengawal penyusunan rencana pembangunan desa dengan memasukkan isu-isu pembangunan rendah emisi. Karena selama ini sebenarnya sudah banyak kegiatan terkait pelestarian lingkungan yang sudah dilakukan di desa tetapi baru saat ini mereka paham bahwa itu sebenarnya ikut menyumbang pada penurunan gas rumah kaca.

 

 

Pada kesempatan ini juga secara khusus tim BCC mengambil sesi untuk memperkuat delapan orang fasilitator desa yang akan mendampingi demoplot ini dengan pembahasan tentang rencana pelaksanaan demoplot di masing-masing desa. Ada banyak harapan terhadap pembangunan wilayah dan masyarakat pesisir tetapi setidaknya satu langkah kecil memperkuat aparat desa  dan masyarakat tentang integrasi isu rendah pesisir ke dalam perencanaan pembangunan desa telah dimulai. “Kalau sudah ada buku panduan yang diberikan, kami akan coba lakukan proses ini sendiri di desa karena kami yang paling tahu tentang desa. Sehingga tidak perlu lagi orang luar yang melakukan review terhadap dokumen perencanaan pembangunan desa kami” tandas Bapak Ali Pua Story, Kepala Desa Perokonda dari Kabupaten Sumba Barat Daya menutup sesi siang itu.**

Contact
Share This: