Tak Sekadar Festival Rakyat

You are here

Home / Tak Sekadar Festival Rakyat

Tak Sekadar Festival Rakyat

Hubungan Timbal balik tidak sebatas dengan sesama manusia saja, tetapi juga dengan alam. Semakin baik kita menjaga alam, maka kebaikan alam akan kita dapatkan. Rasulullah pun Bersabda “Sayangilah bumimu seperti kau menyayangi ibumu”
Bekerase bukanlah suatu hal yang asing  bagi saya dan juga sebagian penduduk Lombok. Mendengar kata itu yang terbayang di benak kami adalah ikan dan keseruan bermain lumpur, karena memang bekerase itu sendiri berarti menangkap ikan baik di sungai, kolam maupun embung. Dulu, saya dan teman-teman hampir setiap hari bekerase di sungai dekat rumah, yang kami dapatkan tentu saja ikan-ikan kecil seperti ikan wader. Tetapi jika beruntung terkadang kami  mendapati ikan Mujair yang kebetulan menyangkut di sarung kami. Sarung? Iya, sarung. Menangkap ikan dengan cara bekerase tidak mengenal Jala atau alat memancing yang modern lainnya. Bekerase dilakukan dengan bantuan apa saja, bisa tangan, bakul, jaring kecil bahkan baju atau sarung yang sedang kita kenakan pun bisa digunakan sebagai alat bantu. Lain cerita kalau bekerase di embung, ikan yang diperoleh tentu ikan yang berukuran lumayan besar dan jauh lebih seru karena puluhan orang beramai-ramai turun ke embung alat yang dipergunakan pun sama. Bahkan dilarang keras untuk menggunakan Jala, bom, racun atau pukat.


Di beberapa tempat di Pulau Lombok khususnya desa yang memiliki sumber mata air dan embung bekerase menjadi moment yang paling ditunggu-tunggu. Bekerase tidak lagi semata sebagai ritual dan wujud kepada Sang Pencipta tapi kini telah berkembang menjadi Festival rakyat. Setidaknya itulah yang saya lihat ketika berkesempatan hadir dalam Festival Rakyat  Bekerase di Desa Aik Bual pada 23 Oktober lalu. Umbul-umbul terpasang dua kilometer sebelum lokasi acara, beberapa pemuda berpakaian adat Lombok tersenyum ramah menyambut para tamu yang hadir, sempat sekilas terbaca sebuah banner bertuliskan “Selamat Datang Bapak Gubernur beserta rombongan”. Eeeeits..., ternyata undangan yang saya terima via telpon ini bukan acara biasa. Tapi lebih dari biasa karena gubernur pun menjadi salah satu tetamunya.
Cukup sulit bagi saya untuk mencapai area parkir yang disiapkan bagi tamu undangan, karena masyarakat sudah penuh sesak di pinggir embung seperti sudah tidak sabar lagi  mulai bekerase. Disana saya tidak hanya menemukan kerumunan masyarakat yang membawa peralatan bekerase saja tetapi geliat ekonomi yang juga tampak dominan. Lapak-lapak digelar disepanjang jalan menuju embung, dari penjual buah hingga pakaian, dari penjual es krim keliling hingga kedai Kopi bahkan dari penjual balon gas mainan anak-anak hingga penjual perkakas pertanian. Semua berpartisipasi menyambut pengunjung yang tumpah ruah. Tidak ketinggalan pertunjukan berbagai jenis musik tradisional Lombok seperti Kelenang, Gendang Beleq dan Cilokaq yang disiapkan oleh Panitia menambah semarak acara.

Berjalan dari parkiran menuju panggung, dimana kursi-kursi untuk tamu undangan telah dipersiapkan, memang cukup lengang tidak sesesak di pintu masuk. Masyarakat berdiri dengan rapi di pinggir embung dan menyisakan jalan bagi tamu dan pejabat yang akan hadir. Disini baik saya mau pun tamu lainnya akan dengan leluasa melihat ke dalam embung. Ada yang menarik, sebelum menaiki anak tangga menuju panggung, disisi kanan  berjejer meja-meja berisikan berbagai produk yang dihasilkan oleh masyarakat setempat. Seperti Gula Merah (Gula Aren), Gula Semut, Kopi Bubuk, Biji Kopi Sangrai dan Biji Kopi kupas. Di sebelah kiri juga tidak kalah menarik, berjejer lukisan kanvas hasil karya anak Aik Bual. Saya berjalan perlahan sambil mengamati lukisan menggambarkan aktivitas sehari-hari masyarakat setempat, gambar pemandangan desa Aik Bual serta ada lukisan beberapa tokoh yang tidak asing sebenarnya tapi saya belum bisa menebak siapa tepatnya tokoh dalam lukisan itu.
Langkah saya terhenti di salah satu berugak yang dikelilingi orang-orang berkaos hijau, ternyata berugak itu tempat berkumpulnya panitia. Dengan cepat Ibu Yuli, salah satu dari panitia meminta saya untuk berganti kaos yang sudah disiapkan untuk saya, dan dalam sekejap saya tidak hanya berganti baju, tetapi juga berganti status yang tadinya tamu undangan kini menjadi panitia. Acara yang luar biasa memang, siapapun bisa mengambil bagian dalam festival rakyat ini.  Tidak memandang asal, lembaga atau lnstitusi, jika ingin berkontribusi maka tangan terbuka masyarakat Aik Bual menyambut Anda.

Setelah berganti kostum, saya kembali ke berugak. Disana berbagai panganan berbahan singkong dan jagung khas Desa Aik Bual berjejer siap untuk dihidangkan kepada para tamu, jika merasa haus anda tidak akan menemukan air mineral. Karena posisinya tergantikan oleh Tuak Manis (Air aren) yang rasanya jauh lebih segar dan lebih manis. Bagi saya, bagian ini yang paling saya suka. Awalnya saya berniat membantu panitia, tapi daya pikat Tuak Manis dan kue ternayata lebih dahulu menarik saya.  Sesaat kemudian saya diminta untuk ikut berkumpul dengan perwakilan beberapa lembaga penerima hibah atau grantee MCAI yang bekerja di Aik Bual seperti Konsorsium Hijau, PT. Gaia Eko Daya Buana, WWF dan KEMITRAAN. Mereka inilah yang secara langsung mendukung Festival Rakyat ini terselenggara. Tidak hanya itu, setahun kedepan lembaga-lembaga ini akan melakukan pendampingan kepada masyarakat tentang pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di beberapa desa di sekitar Kawasan Taman Gunung Rinjani.
Salah satu Aparat Desa meminta kami menuju podium utama. Di kursi kehormatan telah duduk tiga orang yang tentunya menjadi tamu istimewa hari itu. Satu diantaranya sangat saya kenal,Pak Zulkarnain, Kepala Desa Aik Bual. Sedangkan dua orang lainnya, ini kali pertama saya bertatap muka dan berjabat tangan meski sebenarnya kerap melihatnya di media cetak dan media sosial belakangan ini. Iya, tidak salah mereka adalah TGH Hasanain Juaini Pimpinan Pondok Pesantren Nurul Harmain dan satunya lagi sangat mirip dengan tokoh dalam lukisan yang saya lihat sebelumnya. Tidak salah, beliau adalah Bupati Lombok Tengah H. Moh. Suhaili FT dan belakangan saya mengetahui bahwa lukisan itu menjadi cinderamata yang akan diberikan kepada Bapak Bupati oleh Pemerintah Desa Ak Bual. Tidak lama, suara Gendang Beleq kembali ditabuh. Pertanda bahwa ada tamu yang  baru saja tiba dilokasi kegiatan. Ternyata rombongan Gubernur yang tiba, namun kali ini diwakili oleh Asisten II. Segera acarapun dimulai.


Sebelum bekerase dimulai, bisanya ada serangkaian acara pembuka seperti Tausyiah dan sambutan Kepala Daerah yang hadir. Sebagai pembuka Tausyiah dan doa bersama di sampaikan langsung oleh TGH. Hasanain Juani, pimpinan Pondok Pesantren Nurul Harmain yang terletak di Narmada Lombok Barat. Sepenggal kalimat diatas adalah sekelumit tausyiah yang disampaikan oleh tokoh agama yang juga pemerhati lingkungan. Tidak ketinggalan Baik Bupati maupun Asisten II Gubernur NTB juga mengajak seluruh masyarakat yang hadir pada event tersebut untuk terus menjaga lingkungan, merawat dan melestraikannya. Riuh gemuruh sorak masyarakat terdengar tatkala Sang Bupati menjanjikan akan memberikan seratus ribu bibit ikan untuk dilepas di Embung Bual. Dengan harapan masyarakat bisa tetap menjaga dan saat event bekerase tahun depan masyarakat dapat menikmati ikan dalam jumlah yang lebih banyak. Seperti bisa membaca wajah-wajah yang sudah tidak sabar menunggu pidato sambutan tidak disampaikan panjang lebar. Dengan langkah pasti Bupati menggandeng lengan TGH Hasainain menuju Gong yang sudah disiapkan oleh panitia. Pemukulan Gong menandakan dimulainya bekerase.
Benar saja, belum selesai gema pukulan Gong yang ketiga, puluhan masyarakat mulai turun ke tengah embung membawa alat yang sudah mereka persiapkan sebelumnya. Semakin lama jumlah mereka semakin banyak. Meski pintu air sudah di buka sejah sehari sebelum event berlangsung namun untuk bekerase jumlah air tersebut masih cukup banyak sehingga butuh tenaga ekstra untuk mendapatkan seeokor ikan. Tapi ini justru semakin menarik bagi masyarakat. semakin banyak masyarakat yang turun ke embung suasana semakin meriah. Tidak perlu menggunakan putas atau racun, kepungan manusia yang semakin banyak sudah cukup membuat ikan-ikan itu pingsan. Satu dua orang naik dengan membawa ikan di dalam karung yang sudah mereka siapkan. Penasaran dengan isi karungnya, saya menghampiri salah satu dari mereka dan setelah dibuka, hampir setengah dari karung berukuran sepuluh kilogram terisi ikan dengan ukuran yang cukup besar. jika ditimbang cukup dua ekor saja untuk mendapatkan berat satu kilogram. Saya mencoba menawar dengan harapan bisa membeli ikan hasil bekerase tersebut. Diluar dugaan, ternyata si pemilik ikan menolak, karena ikan hasil bekerase ini adalah berkah dari Sang Pencipta untuk mereka nikmati bersama keluarga. “ ye rezekint elek Sak Kuase, jari anak jarint lek bale” ucapnya seraya mengikat kembali karung lantas meninggalkan saya.
Bekerase yang sudah menjadi agenda tahunan di Desa Aik Bual memang menjadi moment yang ditunggu-tunggu tidak hanya oleh masyarakat Aik Bual saja, melainkan oleh desa tetangga lainnya yang juga memanfaatkan air dari embung tersebut. Setelah mengikuti serangkaian kegiatan dan berbincang dengan masyarakat setempat. Saya menyadari kesalahan saya, awalnya saya berfikir bahwa event bekerase yang pada hakikatnya adalah melakukan bersih-bersih embung dari berbagai jenis sampah, rumput dan juga sedimentasi telah bermetamorfosis menjadi Festival rakyat yang menyuguhkan berbagai hiburan. Tapi ternyata, ini bukan sekadar Festival Rakyat. Lebih dari itu, event ini memberikan banyak pembelajaran bagaimana kita seharusnya memperlakukan alam sebagaimana mestinya.  Event ini sebagai wujud syukur atas segala limpahan rizki yang telah diberikan. Berkat aliran air dari embung ini telah memberikan kehidupan bagi ratusan masyarakat di lima desa di sekitar embung. Ikan yang didapati secara cuma-cuma pun adalah berkah. Alam tidak pernah menuntut banyak. Sebagai imbalannya, manusia cukup dengan menjaga, merawat dan melestarikannya.
 

 

Contact
Share This: