Wariga (Ilmu Perbintangan Kuno) Untuk Mewujudkan Sistem Pertanian Berkelanjutan
Pertanian merupakan salah satu sektor yang merasakan dampak akibat perubahan iklim yang terjadi belakangan ini. Perubahan iklim mengancam ketahanan pangan di seluruh wilayah di Indonesia termasuk di wilayah NTB. Terjadinya perubahan iklim dikarenakan peningkatan suhu udara yang semakin terus meningkat. Langkah untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim ini adalah dengan meningkatkan kemampuan masyarakat petani dalam memahami perubahan iklim dan penerapan teknologi lokal. Salah satu contohnya pengetahuan tentang ilmu perbintangan. Pemanfaatan pengetahuan lokal masyarakat yang di miliki terkait ilmu tentang perbintangan yang menjadi warisan nenek moyang masyarakat suku Sasak adalah Wariga (dibaca:warige). Wariga merupakan tata cara perhitungan untuk mencari hari yang baik untuk memulai suatu kegiatan dalam kehidupan manusia. Wariga ini banyak digunakan untuk mengetahui kapan memulai aktivitas terlebih dalam bidang pertanian. Hal ini kaitannya dengan posisi perbintangan, melihat fenomena alam hingga aktivitas flora dan fauna. Dengan adanya pengetahuan lokal yang dimiliki seperti ini, masyarakat petani harus lebih cermat dalam melihat kondisi alam sebelum melakukan kegiatan budidaya pertanian. Dengan pengetahuan tentang cara membaca kondisi alam diharapkan dapat mengurangi resiko dampak perubahan iklim di bidang pertanian. Untuk memanfaatkan sumberdaya lokal yang dimiliki maka Konsorsium PETUAH UNRAM melakukan kegiatan Focus Group Discussion (FGD) guna mendiskusikan tata cara pembacaan wariga yang menjadi tambahan pengetahuan yang ada di Lombok.
Acara ini merupakan rangkaian kegiatan dari Pusat Unggulan untuk Pertanian Tahan Perubahan Iklim (Center of Excellence for Climate Change Agriculture Resilience/CoE CLEAR). Kegiatan ini bagian dari kegiatan Pengetahuan Hijau Proyek Kemakmuran Hijau MCA – Indonesia.
Dalam acara FGD yang diadakan pada tanggal 12 Maret 2015 bertempat di Ruang sidang Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Kegiatan ini mendatangkan dua narasumber dari sisi kajian yang berbeda mengenai Wariga. Kedua narasumber mempresentasikan materi mengenai kajian wariga dari sisi akademisi, dalam kesempatan ini disampaikan oleh Dr. Ismail Yasin. Sedangkan dari sisi praktisi penerapan wariga didatangkan pakar ahli yaitu Muhammad Wire Sentane.
Kegiatan yang menyajikan tentang wariga dianggap unik karena pada zaman modern yang super canggih masih menggunakan pola tradisional. Ini sangat menarik perhatian para peserta dalam acara FGD. Pada mulanya sistem ini hanya dituangkan dalam suatu sistem penanda yang terbuat dari papan yang disebut Papan Wariga. Papan ini membagi waktu dalam satu tahun menjadi 30 pekan yang disebut Wuku dan dalam satu pekan terdiri dari 7 hari yang dimulai dari hari Ahad, seperti yang kita kenal saat ini. Sistem Warige Sasak memberikan rekomendasi hari baik dan hari kurang baik untuk melakukan aktivitas tertentu, seperti hari untuk menyelenggarakan gawe (pesta), memulai suatu usaha, memulai membangun rumah, bertani, melaut dan sebagainya.
Penetapan hari baik dan kurang baik pada suatu aktivitas semata-mata dilandasi oleh konstalasi astronomi dan pengaruhnya terhadap makhluk permukaan bumi, yang disimbolisasi berdasarkan kepercayaan kosmologis bangsa Sasak dan ajaran Islam, khususnya yang berkaitan dengan konsep waktu.
Mengawali rangkaian kegiatan FGD. Secara resmi kegiatan ini dibuka oleh Prof. Suwardji selaku Wakil Rektor Bidang Kerjasama Universitas Mataram (WR4). Dalam sambutannya, beliau menegaskan bahwa dengan adanya CoE CLEAR ini diharapkan partisipasi seluruh kalangan para peneliti untuk berperan aktif. Semua pengetahuan yang dihasilkan dari riset unggulan akan disimpan, dikumpulkan di Knowledge Management Information System (KMIS) sehingga menjadikan UNRAM menjadi pusat unggulan IPTEK Pertanian Tahan Iklim. Salah satu perhatian dari CoE CLEAR adalah dengan memanfaatkan Local Knowledge misalnya penggunaan wariga dalam bidang pertanian. Acara ini dihadiri oleh para akademisi dari beberapa program studi yang ada di UNRAM dan juga beberapa mahasiswa S1 maupun mahasiswa S2.
Setelah melakukan presentasi yang disampaikan oleh penyaji kemudian dilanjutkan dengan sesi diskusi. Dalam sesi ini dipandu oleh Dr. Joko Priyono. Salah satu yang menjadi perhatian dari para peserta adalah tentang bagaimana warige ini bisa di baca oleh semua pihak dan harapannya supaya bisa terus dipelajari oleh generasi berikutnya dan tidak hilang begitu saja. Wariga menjadi perioritas dalam kehidupan masyarakat sehari-hari termasuk cara mengetahui jadwal tanam dengan pola melihat kondisi iklim. Generasi saat ini patut berbangga hati karena suku Sasak masih mempertahankan kearifan lokal wariga untuk mempelajari pengetahuan nenek moyang kita dan harapannya semoga pengetahuan bisa terus dan terus diwariskan kepada orang-orang di sekeliling kita dan utamanya bagi generasi penerus kita.
Add new comment