Untuk Hasilkan Energi, Pemilahan Sampah oleh Masyarakat Menentukan

You are here

Home / Untuk Hasilkan Energi, Pemilahan Sampah oleh Masyarakat Menentukan

Untuk Hasilkan Energi, Pemilahan Sampah oleh Masyarakat Menentukan

JAKARTA, KOMPAS — Guna menyelesaikan masalah penumpukan sampah sekaligus menghasilkan energi, pemerintah menetapkan tujuh daerah sebagai lokasi percontohan pengelolaan sampah menghasilkan energi listrik. Namun, kebijakan tersebut baru optimal jika pemerintah mampu mendorong pemilahan sampah dijalankan oleh masyarakat.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASAInstalasi pipa untuk pengolahan biogas terpasang di tempat pembuangan akhir sampah Jatibarang, Kota Semarang, Jawa Tengah, Selasa (26/1/2016).Gas metana yang berasal dari tumpukan sampah di TPA Jatibarang dimanfaatkan menjadi biogas bagi warga sekitar. Energi alternatif yang ramah lingkungan ini masih dalam tahap awal pengujian dan pengembangan.

Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tuti Hendrawati Mintarsih mengatakan, sampah di Indonesia sangat potensial menjadi sumber energi. Sebab, rata-rata 60 persen dari sampah di Indonesia berupa sampah organik yang bisa diolah untuk menghasilkan metana.

Metana dapat dimanfaatkan sebagai bahan bakar untuk menggerakkan turbin pada pembangkit listrik. Sayangnya, kebanyakan sampah dari masyarakat masih tercampur antara yang organik dan non-organik. "Rata-rata 14 persen dari sampah di Indonesia berupa plastik. Jika sudah terpilah, gas metan lebih bagus," ucap Tuti saat dihubungi pada Sabtu (6/2) di Jakarta.

Metana bisa dihasilkan secara alami melalui fermentasi sampah organik. Tanpa pemilahan untuk memisahkan sampah organik dan yang non-organik, upaya tersebut tidak akan optimal. Tuti mengatakan, upaya mendorong masyarakat memilah sampah secara mandiri selama ini antara lain dengan mempromosikan pembentukan bank sampah.

Untuk itu, pemerintah perlu menyosialisasikan bahwa percontohan pengelolaan sampah untuk menghasilkan energi tidak bisa tanpa upaya pemilahan sampah oleh masyarakat. Direktur Greeneration Christian Natalie mengatakan, jangan sampai dengan menerapkan teknologi pengelolaan sampah menjadi energi, semangat melakukan 3R di masyarakat menurun karena mereka berpikir semua sampah akan disatukan untuk menjadi energi.

3R adalah kegiatan reduce (mengurangi penggunaan bahan-bahan yang bisa menjadi sampah dan merusak lingkungan), reuse (pemakaian kembali, termasuk menggunakan barang yang bisa digunakan berulang-ulang atau tidak langsung dibuang), dan recycle (mendaur ulang).

Penyederhanaan proses

Tuti menambahkan, selama ini pemerintah daerah cenderung kesulitan untuk segera mengimplementasikan pengelolaan sampah menjadi energi. Sebab, berbagai peraturan di tingkat nasional dan daerah membuat proses berlarut-larut. Aturan antara lain pemda harus memiliki dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) serta memenuhi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, yang membuat pemda harus melalui proses panjang tender dan penawaran.

Menurut Tuti, Tri Rismaharini saat menjabat Wali Kota Surabaya pernah mengatakan dalam pertemuan dengan KLHK, harmonisasi berbagai peraturan saja butuh waktu setidaknya dua tahun, ditambah harus ada proses lelang dan penawaran. Pembangunan baru bisa dimulai sekitar tahun ketiga.

Karena itu, rancangan peraturan presiden terkait proyek percontohan pengelolaan sampah untuk tenaga listrik di tujuh daerah juga bertujuan menyederhanakan implementasi di daerah. "Perpres tersebut untuk percepatan, tetapi tetap memenuhi kaidah ramah lingkungan," ujar Tuti.

Tujuh daerah itu adalah Jakarta, Bandung, Tangerang, Surabaya, Semarang, Solo, dan Makassar. Daerah-daerah ini terdiri dari kota besar dengan produksi sampah di atas 1.000 ton per hari dan kota menengah dengan sampah 200-250 ton per hari. Sampah dari Jakarta yang diangkut ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu Bantargebang berkisar 6.500-7.000 ton per hari.
Tempat pengelolaan sSampah Kelurahan Panarung yang biasa menghasilkan pupuk organik tampak sepi, Senin (18/1/2016), di Palangkaraya, Kalimantan Tengah. Pengelolaan sampah di Palangkaraya belum optimal sehingga sejumlah mesin tampak terbengkalai.

Pemilihan teknologi

KLHK, lanjut Tuti, sedang menyiapkan regulasi terkait baku mutu emisi pengolahan sampah secara termal atau dengan pembakaran untuk menghasilkan energi. Teknologi termal tersebut antara lain gasifikasi, insinerasi, dan pirolisis. Regulasi ditargetkan rampung tahun ini.

Namun, Christian mengingatkan, berdasarkan hukum kekekalan energi, sampah tidak bisa dimusnahkan, misalnya lewat pembakaran. Sampah hanya berubah bentuk, seperti energi yang tidak bisa dimusnahkan atau diciptakan, hanya berubah bentuk. "Jangan salah konsep dan teknologinya. Jangan pakai insinerator, tetapi sebaiknya teknologi nontermal yang lebih ramah lingkungan," tuturnya.

Menurut Christian, emisi dari teknologi termal untuk menghasilkan energi dari sampah hampir sama dengan emisi pembangkit listrik tenaga uap memanfaatkan batubara. Contoh metode yang lebih baik adalah dengan teknologi anaerobic digester atau penangkapan metana, yang sekaligus mengurangi emisi gas rumah kaca.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/06/Untuk-Hasilkan-Energi-Pemilahan-...

Contact
Share This:

Add new comment

Plain text

  • No HTML tags allowed.
  • Web page addresses and e-mail addresses turn into links automatically.
  • Lines and paragraphs break automatically.
CAPTCHA
This question is for testing whether or not you are a human visitor and to prevent automated spam submissions.