Tenunan vs PLTS - Inspirasi Model Bisnis EBT

You are here

Home / Tenunan vs PLTS - Inspirasi Model Bisnis EBT

Tenunan vs PLTS - Inspirasi Model Bisnis EBT

Pernahkan kita membayangkan suatu saat di Sumba, orang membeli PLTS skala kecil  dengan menggunakan kain tenun? Mungkin bagi sebagian kita akan merasa heran atau justru malah tertarik menerapkan sistem barter masa lalu ini ke dalam model-model bisnis pengelolaan dan pemanfaatan energi baru terbarukan khususnya untuk penyediaan listrik yang mudah dan murah.  Ternyata, kearifan lokal atau kondisi setempat tentu saja menjadi aset luar biasa yang dapat dimanfaatkan dalam implemetasi sebuah program pemberdayaan komunitas.
Inilah salah satu inspirasi yang muncul dalam kegiatan Pemutaran dan Diskusi Film Dokumenter berjudul “Asa Dari Cahaya” yang dilaksanakan oleh Yayasan BaKTI pada tanggal 21 November 2016 di Aula Unwina, Waingapu Kabupaten Sumba Timur.
Film produksi BaKTI berdurasi 30 menit ini merekam upaya-upaya pemanfaatan dan pengelolaan energi baru terbarukan berbasis komunitas yang telah sukses dilakukan oleh masyarakat terutama dalam hal: kelembagaan pengelola, investasi yang dibutuhkan, mekanisme kerjasama yang dikembangkan dengan mitra, pengoperasian dan pemeliharaan pembangkit listrik, serta praktik baik kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi terbarukan berbasis komunitas di beberapa lokasi yakni Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) di Desa Rantau Sakti, Kabupaten Rokan Hulu – Riau, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Koak Sabang di kabupaten Lombok Utara – NTB dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Kamanggih, Kabupaten Sumba Timur – NTT.  
Diceritakan pula dalam film, bagaimana masyarakat mengelola energi terbarukan menjadi sumber listrik sehingga dapat dimanfaatkan baik untuk penerangan maupun kegiatan-kegiatan ekonomi untuk peningkatan taraf hidup masyarakat. “Film ini bisa menjadi referensi sebagai pengantar diskusi dalam pendampingan ke kelompok-kelompok masyarakat sehingga bisa membuka mata, hati dan pikiran kita adanya aksi dari masyarakat di desa” ungkap Zusanna Gosal, mewakili BaKTI saat sambutan pembukaan.

 

Inspirasi diatas tidak muncul tanpa alasan. Saat itu dalam diskusi setelah menonton film, salah seorang peserta bernama Ibu Arni Djawa dari Yayasan Rumah Energi (YRE) berbagi cerita bahwa saat ini di beberapa wilayah intervensi YRE lewat program GADING, orang membeli bioslury cair (limbah biogas) yang telah difermentasi dengan cara menukarkannya dengan jagung, sayuran maupun kacang-kacangan.
Tentu saja buat orang-orang di Sumba tidak mengherankan jika hal ini terjadi karena faktanya ketersediaan uang tunai di desa saat ini masih terbatas hanya pada masa-masa panen, hasil panenpun biasanya terbatas untuk konsumsi sendiri. Dengan sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani serta sebagian besar sawah adalah sawah tadah hujan sehingga panen hanya terjadi satu kali bahkan jika beruntung dua kali dalam setahun, kondisi-kondisi seperti ini dapat dimaklumi.
Seperti kita ketahui, persediaan energi yang bersumber dari fosil semakin menipis. Indonesia bahkan dunia saat ini mulai beralih pada sumber-sumber energi baru terbarukan (EBT) karena sifatnya yang tidak menggangu iklim. Selain tersedia di sekitar kita, sumber EBT ini juga dapat dijamin keberlanjutan pemanfaatannya dibandingkan dengan energi konvensional dari fosil yang bisa habis suatu saat dan sangat merusak lingkungan.
Sumba adalah satu-satunya pulau di Indonesia yang dipilih untuk penerapan EBT karena sangat kaya akan potensi energi terbarukan seperti surya, air, angin dan biomassa yang bisa diolah.  Sesuai data dari Hivos, rasio eletrifikasi untuk kabupaten Sumba Timur adalah sebesar 35,8% dengan kapasitas energi terbarukan terpasang 424,66 Kw.  
Melihat potensi yang besar ini, tentu sangat miris bagi masyarakat disana yang hingga kini banyak yang belum teraliri listrik.  Bapak Yakob Tanda, mantan Kepala Desa Mbatakapidu yang ikut sharing dalam diskusi mengungkapkan desanya hanya berjarak sekitar 15 Km dari kota Waingapu namun sampai kini desa ini masih gelap gulita.  Saat ini pak Yakob dan warga di desa mengandalkan bantuan lampu tenaga surya dari beberapa pihak.  

 

“Sumber air di Desa Mbatakapidu adalah penyuplai air minum untuk semua warga di Kota waingapu. Saya menghimbau pemda dan pihak terkait agar perhatikan akses listrik ke desa kami. Kalau kami tidak dapat listrik, maka kami juga tidak akan bagi air bagi masyarakat di kota” canda Pak Yakob saat sesi diskusi, yang diiringi gelak tawa peserta.
Menanggapi komentar beberapa peserta bahwa investasi energi terbarukan itu mahal, Wilhelmus Poek dari Hivos yang hadir sebagai narsum dan penanggap mengatakan bahwa investasi EBT dengan kapasitas yang besar memang biayanya cukup mahal tetapi tidak sebanding dengan investasi untuk energi konvensional, misalnya solar dan bensin yang mengakibatkan kerusakan lingkungan dan polusi udara.  
Wilhelmus menambahkan, pengelolaan EBT, tidak hanya menjadi tanggung jawab satu pihak saja tapi semua pihak agar akses energi EBT bisa hadir di daerah.  “Bicara tentang listrik maka kuncinya adalah efisiensi. Banyak Pembangkit EBT sudah dibangun di Indonesia, tetapi tidak dijaga bahkan masyarakat sendiri yang merusaknya” tegas pria yang akrab disapa Mus.
Hivos sendiri sudah menjalankan program pengadaan lampu energi terbarukan dengan harga Rp.800.000 s/d 1 juta yang dijual dengan cara mencicil. Cicilannya berupa biaya cas lampu seharga Rp.1300 per satu kali.  Bagi masyarakat yang sudah selesai mencicil, lampunya secara otomatis bisa menjadi milik sendiri. Inilah satu satu cara masyarakat bisa mendapat ‘terang’ dengan harga yang lebih murah.
Dalam sesi diskusi, salah satu peserta dari LSM SOPAN Sumba, Abner mempertanyakan tentang keberadaan teknisi dari luar Sumba.  Mengapa bukan anak muda dari Sumba yang dilatih agar program EBT ini berkelanjutan?

 

Menanggapi hal ini, Mus mengatakan bahwa belajar dari pengalaman program EBT di Indonesia dimana keberlanjutan menjadi masalah besar, Hivos saat ini mendapat dana hibah dari Program MCA-Indonesia lewat project TERANG telah membentuk RESCO (Renewablae energy service center Company) dengan merekrut dan melatih anak-anak muda Sumba dalam hal teknis operasi dan pemeliharaan pembangkit EBT. RESCO nantinya menjadi organisasi lokal yang akan bertanggung untuk operasional dan pemeliharaan dari seluruh investasi EBT yang ada di Sumba.

Sesi diskusi menjadi sangat menarik karena berbagai isu, potensi dan tantangan yang disampaikan oleh peserta terkait bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan energi terbarukan. Pemerintah desa lewat Dana Desa diharapkan mengambil peran penting agar masyarakat dapat mengakses listrik khususnya penerangan. Pengelolaan dan pemanfaatan EBT seharus melibatkan semua pihak bukan hanya Pemda atau Pemdes saja tetapi juga LSM dan Gereja bisa mengambil peran penting didalamnya.  Pelibatan masyarakat adat dan kebijakan yang jelas terkait hutan adat sebagai sebuah upaya melindungi sumber-sumber air/konservasi mata air menjadi bagian tidak terpisah dalam pengelolaan EBT karena debit air dari PLTHM haruslah terjaga untuk menghindari konflik pembagian air (untuk kepentingan pertanian atau listrik).

Tidak hanya keberadaan, keberlanjutan dan model bisnis EBT yang didiskusikan sekitar 30 peserta dari unsur SKPD, LSM, Komunitas Warga, Kelompok Pemuda, Media dan Perguruan Tinggi ini juga mendiskusikan tentang pentingnya model-model pengorganisasian warga untuk menghindari konflik kepentingan jika satu saat komunitas tertentu dipercayakan untuk menjadi pengelola bisnis EBT ini. Harus dibangun sebuah model pengorganisasian yang bersifat holistik dari hulu ke hilir dan tidak tersegmentasi. Komunitas tidak sebatas tahu mengelola PLTMH tetapi juga paham bagaimana cara menjaga debit air, bagaimana membangun interaksi dengan para pihak untuk memperkuat mereka mulai dari hal-hal teknis sampai dengan manajemennya.

 

Contact
Share This: