Tak Sekadar Memandu, Pramuwisata Juga Mewakili Citra Bangsa

You are here

Home / Tak Sekadar Memandu, Pramuwisata Juga Mewakili Citra Bangsa

Tak Sekadar Memandu, Pramuwisata Juga Mewakili Citra Bangsa

Desa Mondu merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Kanatang. Letaknya berjarak 42 km dari Ibu Kota Kabupaten Sumba Timur dan merupakan desa pesisir. Memiliki luas wilayah sebesar 97,8 km² dengan jumlah penduduk sebanyak 1347 jiwa. Di Desa Mondu ini juga, paling tidak ada 6 objek wisata, yaitu kampung adat Prainatang (wisata kampung adat dan megalitik), kampung adat Padadita (wisata kampung adat dan sentra tenun ikat), pantai Kapihak (wisata pasir putih), pantai Papuru Njara (lokasi penjinakan kuda), Watu Dengir (wisata tugu batu setinggi kurang lebih 50 meter) serta air terjun Tanggedu.

Entah sudah yang keberapa kalinya saya menginjakkan kaki di Desa Mondu, selalu saja ada sesuatu yang membuat saya  merasa seperti baru pertama datang ke desa di wilayah pesisir utara Sumba Timur ini. Ada yang sangat khas dari tempat ini. Garis pantai yang sangat panjang dengan pasir putihnya. Bau rumput kering, ditiup oleh angin musim pancaroba. Kumpulan kuda, kerbau dan sapi di sabana yang mulai berkeliling mencari tempat-tempat minum karena kubangan-kubangan mulai mengering. Kerinduan akan sumber- sumber air dan rumput hijau disimpan dengan tabah sampai musim penghujan berikutnya. Persis seperti kata Sapardi Djoko Darmono dalam penggalan puisinya Hujan Bulan Juni : “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni, dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu”. Ini sudah awal bulan Juni, sesekali hujan masih turun.  Seperti di beberapa tempat lainnya di Pulau Sumba, daerah utara Sumba Timur ini dikenal sebagai wilayah yang kering dengan musim hujan yang dapat dinikmati hanya selama 3-4 bulan dalam setahun.

 

 
Tempat yang saya singgahi adalah kampung adat Padadita. Disana saya bertemu dengan kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Prailengu yang sedang mengikuti kegiatan “Pelatihan Pemandu Wisata” tanggal 1-2 Juni 2017 di rumah kepala desa. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Konsorsium Karbon Biru (Blue Carbon Consortium/BCC) yang terdiri dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor (PKSPL – IPB), Perkumpulan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) serta Pelatihan dan Fasilitasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (TRANSFORM). Saat ini BCC sedang melaksanakan Program  “Pengelolaan Pengetahuan Tata Kelola Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi di Nusa Tenggara Barat(NTB) dan Nusa Tenggara Timur(NTT)” yang bekerjasama dengan MCA-Indonesia. Tujuan proyek ini adalah untuk meningkatkan pengelolaan pengetahuan dan praktik cerdas dalam mendukung integrasi strategi-strategi pembangunan rendah emisi dalam pengelolaan, perencanaan dan praktek-praktek tata kelola sumberdaya pesisir. Proyek ini akan membantu Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menjawab tantangan pada manajemen pengetahuan di NTB dan NTT terutama pada isu-isu pembangunan rendah emisi. BCC sendiri juga menjadikan Desa Mondu sebagai salah satu lokasi programnya. Desa ini sebagai demoplot desa ekowisata.

 

Kampung adat Padadita di huni oleh sekitar 23 kepala keluarga. Ditengah-tengah kampung terlihat belasan kubur batu. Di kampung ini terdapat 14 buah rumah panggung beratap seng dan hanya 1 yang masih beratap alang. “Ini rumah adat yang tersisa di kampung kami, itu sebabnya dia tetap harus beratap alang yang menggambarkan rumah asli orang Sumba. Bangunan ini juga tidak menggunakan paku tetapi tali dari kulit dan akar pohon untuk mengikat tiang-tiang, lantai dan atapnya. Di rumah inilah semua ritual adat dilaksanakan” demikian penjelasan Bapak Umbu Tunggu Mbili, kepala desa Mondu yang juga menetap di kampung ini. Rumah adat/ rumah induk ini disebut Uma Bokulu/ Makatemba dan hanya boleh dimasuki oleh tamu ketika ada ritual adat, jika tidak maka tamu hanya boleh diterima di beranda depan rumah adat tersebut. Ada sekitar 3 kepala keluarga yang tinggal di rumah ini. Mereka berasal dari keturunan yang memang sejak dahulu diberi tugas untuk menjaga rumah adat ini.

Persis di depan rumah adat ini, ada tugu batu yang disusun berbentuk lingkaran bernama Katoda yang pada sisi-sisinya diletakkan batu pipih. Diatas batu inilah bermacam sesaji seperti sirih pinang (pahapa), keratan emas (kawadaku) dan nasi kebuli (uhu mangejingu) diletakkan untuk dipersembahan kepada Umbu- Rambu (dewa-dewi)  lewat Wunang (pemimpin spiritual Marapu) yang melakukan Hamayang (berdoa). Marapu adalah  kepercayaan lokal yang dianut oleh masyarakat di Pulau Sumba. Sampai dengan saat ini masih banyak penduduk Sumba memeluk aliran kepercayaan ini dimana mereka memiliki kepercayaan pemujaan kepada roh-roh nenek moyang dan leluhur.

Seingat saya, kegiatan penguatan kapasitas berupa “Pelatihan Pemandu Wisata” bagi sekitar 39 anggota Pokdarwis Prailengu ini adalah pelatihan yang ketiga. Pelatihan pertama dilaksanakan pada bulan Februari 2017 dengan fokus pada topik tentang pembuatan paket ekowisata sedangkan pelatihan kedua dilaksanakan pada bulan Maret 2017 dengan fokus pada pemberian layanan wisata. Untuk pelatihan ketiga ini, kegiatan lebih difokuskan pada tehnik memandu di berbagai objek wisata.

 

 
Dalam pelaksanaan kegiatan Ekowisata, maka peran masyarakat sebagai pemandu atau pramuwisata  (tour guide) bagi wisatawan merupakan komponen utama bagi suksesnya pegembangan ekowisata. Seorang  pramuwisata diharapkan dapat berperan sebagai penyalur informasi,  memberikan penjelasan,  bimbingan, penerangan dan petunjuk tentang segala sesuatu yang hendak dilihat dan disaksikan bilamana mereka berkunjung pada suatu objek, tempat atau daerah wisata tertentu serta dapat membantu segala sesuatu yang diperlukan wisatawan dan treveller. Baik buruknya kesan yang diterima wisatawan sangat ditentukan oleh peran seorang pemandu wisata, mengenai bagaimana seorang pemandu menyampaikan informasi yang dibutuhkan wisatawan dari cara bicara, sikap, pengetahuan mengenai wisata yang sedang dikunjungi dan lain-lain. Terkait tugas pemandu untuk menyalurkan informasi ini,  “Berikan informasi yang benar pada pengunjung. Juga berikan informasi dengan cara yang dapat menimbulkan rasa ingin tahu sehingga pengunjung memilih untuk tinggal lebih lama” demikian tegas Pak Sonny Rozali dari YAPPEKA sebagai pelatih dalam kegiatan tersebut.

 

Ada tantangan tersendiri memang dalam dunia pariwisata di Sumba terkait dengan tugas penyalur informasi sebagai pemandu ini. Misalnya, budaya tutur yang tinggi menyebabkan kita sulit menemukan buku yang menuliskan secara lengkap tentang upacara-upacara adat orang Sumba untuk dijadikan referensi bagi kaum muda untuk menjelaskan hal tersebut pada wisatawan. Kecuali mereka rajin mengikuti acara-acara adat serta bisa berbahasa lokal (Sumba) karena biasanya hal tersebut akan diceritakan oleh tua-tua adat pada kesempatan seperti itu. Selain itu juga ada bagian-bagian dari cerita-cerita itu yang  malah dianggap pamali untuk dibicarakan sehingga  jika wisatawan ingin tahu lebih banyak, tidak ada lagi informasi yang bisa diberikan (khususnya yang terkait dengan kepercayaan lokal penduduk Sumba/Marapu) selain pergi kepada pemimpin kepercayaan tersebut.

Namun di Desa Mondu saya menemukan hal menarik bahwa ternyata diantara anggota Pokdarwis Prailengu, ada beberapa pria yang merupakan tokoh adat. Tentu saja ini aset luar biasa. Hal ini menjadi tambah menarik ketika sesi simulasi memandu dilakukan. Pada sesi ini peserta dibagi ke dalam beberapa kelompok dan masing-masing kelompok berperan sebagai pramuwisata, dimana mereka diberi kesempatan untuk memilih salah satu objek wisata yang ada di Kampung Padadita juga Pantai Kapihak untuk dipresentasikan kepada kelompok lain yang berperan sebagai wisatawan.

Adalah Bapak Pombu Mila Banda, salah satu tokoh adat yang berasal dari kabihu Kombul. Dalam kehidupan sosial masyarakat Sumba khususnya Desa Mondu, salah satu sistem kekerabatan yang dianut adalah berdasarkan Kabihu.  Kabihu (keluarga luas, clan), yaitu terdiri dari beberapa uma (rumah) yang merasa diri berasal dari seorang nenek moyang dan antara satu dengan lainnya terikat melalui garis keturunan laki-laki saja. Kampung kampung di Desa Mondu sendiri dihuni oleh beberapa kabihu/ rumpun marga  yaitu: Kabihu Loku Tana, Kabihu Katina, Kabihu Kombul (merupakan kabihu induk) dan Kabihu Ngeur.

 

 
“Pantai ini bernama Kapihak, yang artinya lumpur hitam. Dinamakan demikian karena memang pantai ini berlumpur dan sejak zaman dulu sampai sekarang lumpur ini digunakan untuk memberikan warna hitam pada kain tenun ikat” demikian informasi awal yang diberikan Bapak Pombu saat berperan sebagai pemandu di Pantai Kapihak. Di pantai Kapihak ini selain terkenal dengan hutan bakau dan pasir putihnya, tempat ini menjadi lokasi penjinakan kuda dan pelaksanaan ritual adat.

 

Terkait ekspresi budaya dalam hal ini ritual adat maka dalam kepercayaan Marapu, setiap fase kehidupan baik milik manusia, tanaman maupun binatang adalah sesuatu yang senantiasa harus disyukuri. Itulah sebabnya untuk kegiatan tanam menanam di kebun/ ladang misalnya, ritual akan dilakukan sejak proses pembalikan tanah sampai panen hasilnya. Secara khusus ritual adat yang masih dilaksanakan secara besar-besaran dan secara reguler di semua kampung di Desa Mondu ini adalah Mangejing, yang salah satu tahapan ritualnya dilakukan di danau kecil yang ada di Pantai Kapihak. Disamping itu tentu saja masih banyak ritual lainnya yang dijalankan yang jumlahnya mencapai puluhan ritual.

Hamayang yang dilakukan di Pantai Kapihak ini adalah doa-doa yang dinaikkan pada Marapu untuk memberikan kelimpahan hasil laut. Ada juga hamayang yang dilakukan di pahomba (pohon besar tempat berdoa) yang terletak di bagian atas dari kampung adat, di tempat itu doa-doa khusus untuk meminta berkat kelimpahan atas ternak besar maupun kecil.

 

Mangejing adalah ritual yang dilakukan dengan tujuan mengucap syukur/ berterimakasih dan meninta berkat pada roh-roh leluhur sekaligus merupakan bulan penyucian dari segala kesalahan, yang dilaksanakan setiap bulan Juli selama 3 hari berturut-turut. Selama bertahun-tahun ritual ini dilaksanakan secara swadaya oleh penduduk kampung dengan mengandalkan semangat kebersamaan/ komunalitas dalam mempersiapkan kebutuhan untuk ritual mulai dari hewan kurban seperti ayam maupun babi sampai dengan makanan- minuman dan sirih pinang. Baru sejak tahun 2013 Dinas Pariwisata setempat memberikan dukungan finansial pada kampung ini untuk biaya makan minum yang bersumber dari APBD (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) dan disalurkan lewat kelompok PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga) di kecamatan yang bersangkutan.

Dalam pelaksanaan Mangejing hanya laki-laki yang boleh turun dari kampung untuk berdoa ke danau Kapihak karena dipercaya jika ada perempuan yang sedang haid atau datang bulan turut serta maka laut nantinya tidak akan memberikan hasil apa-apa. Ketika turun dari kampung inilah, pada jaman dahulu mereka diperbolehkan melakukan heku yaitu mengambil apa saja dari rumah warga desa yang dilewati untuk keperluan hamayang, misalnya babi.”Sekarang itu tidak lagi kami lakukan, kami hanya menerima apa yang diberikan warga secara sukarela dan itu umumnya berupa anak ayam atau sirih pinang karena kami juga sudah paham tentang hak asasi manusia sekarang. Tidak boleh kami sembarang mengambil milik orang lain” ungkap Bapak Pombu.

 


 

Lain lagi yang dibagikan oleh Mama Rambu, salah seorang pengrajin tenun ikat pewarna alam dari Kampung Padadita. “ Coba perhatikan ini, namanya pulla, bagian ujung dari alat tenun tradisional yang berupa bambu. Bagian itu ada belahannya, dimaksudkan agar alat tenun mengeluarkan bunyi saat penenun memadatkan jarak antar benangnya. Namun saat musim hujan, bagian ini sengaja ditutup agar tidak lagi mengeluarkan bunyi sehingga tidak disambar petir” jelas Mama Rambu sambil memperlihatkan bagaimana menenun. Penjelasan panjang lebar beliau tentu saja membuat Pak Sonny Rozali langsung ikut mencoba bagaimana menggunakan alat tenun ini.
Kain tenun ikat pewarna alam adalah hal masih dilestarikan di Kampung Padadita. Seperti umumnya kain tenun ikat dari Kanatang, warna kain didominasi oleh warna biru gelap, dari tanaman bernama wora/ indigo dengan motif yang ditenun secara besar- besar pada bidang kain. “Ini motif bintang. Kenapa kami menggunakan bintang? Karena dalam semua kepercayaan kami, dengan melihat posisi bintang itu merupakan petunjuk untuk kami melakukan ritual-ritual adat kami. Ada juga motif burung, baik nuri maupun kakatua semuanya sama menunjukkan tentang pentingnya hidup berkelompok” demikian penjelasan Bapak Kabula Ana Awang, ketua Pokdarwis Prailengu saat menjelaskan tentang motif pada kain yang sedang ditenun Mama Rambu.

 

 
Tentu saja bagi saya ini pengalaman yang luar biasa menarik. Walau ini bagian dari pelatihan tetapi kekayaan informasi yang dibagikan sungguh luar biasa. Mencintai budaya bangsa haruslah dimulai dengan mendapatkan informasi yang benar tentang budaya itu sendiri. Pokdarwis Prailengi sedang didorong untuk terus mengumpulkan informasi-informasi penting sebagai bekal untuk terus mengelola Mondu sebagai desa ekowisata.
Dari cerita-cerita ini, kita menemukan ada upaya-upaya yang dilakukan secara komunal dengan semangat keswadayaan untuk terus melestarikan budaya, ada nilai-nilai yang terus dijaga tetapi juga dengan lembut menghargai perubahan jaman. Tidak sekadar meliput kegiatannya tetapi ikut mendokumentasikan kekayaan pengetahuan dari masa lampau untuk bisa dibagikan dengan banyak orang. “Sebagai orang muda asli Sumba, saya terus terang baru tahu jika ada hal-hal seperti ini. Berharap Pokdarwis Prailengu bisa mengumpulkan semua cerita ini dengan baik agar nantinya juga bisa memberikan informasi yang benar kepada pengunjung. Tua-tua adat yang terlibat dalam kegiatan ini sungguh menjadi informan kunci” begitu komentar Bapak Deni Karunggulimu selalu koordinator kabupaten dari BCC.

 

 

Masih banyak memang tugas yang harus dikerjakan di Desa Mondu, tetapi sudah ada sejumlah orang yang mulai perlahan-lahan bergerak. Pokdarwis Prailengu dan semangat untuk menjadi pemandu di desa ekowisata harus terus kita besarkan. Memang banyak pemandu dari luar yang bahkan jago berbahasa asing tetapi tentu saja kekayaan cerita budaya masa lalu pastilah milik masyarakat lokal. Mereka yang mengusai informasinya, itu sebabnya mereka perlu dijadikan aktor kunci dalam mengelola pariwisata, tentu saja kita berharap pada saatnya merekapun bisa menguasai bahasa asing. Selain  itu ada banyak informasi yang dimiliki, namun itu saja belum cukup. Perlu ketrampilan juga untuk melakukan interpetasi (melukiskan informasi itu dengan kata-kata) sehingga menjadi informasi menarik. Semoga pelatihan kali ini semakin memperkaya Pokdarwis Prailengu. Langkah kecil mencintai Indonesia sudah dimulai di Mondu. Terimakasih untuk keramahan sambutan dan kekayaan ceritanya. Kami Pokdarwis Prailengu, Kami Indonesia!

Contact
Share This: