Tak Kenal Maka Tak Siap: Potensi Ekowisata di Sumba Barat

You are here

Home / Tak Kenal Maka Tak Siap: Potensi Ekowisata di Sumba Barat

Tak Kenal Maka Tak Siap: Potensi Ekowisata di Sumba Barat

Kita tentu pernah mendengar tentang Pasola, festival tahunan yang menampilkan ritual adat perang-perangan bersenjatakan tombak sambil berkuda. Dan kita mudah menemukan di berbagai media travel manca negara tentang pantai nihiwatu. Nihiwatu sering disebut sebagai salah satu pantai terindah di dunia tempat salah satu resort terbaik berada. Tentu saja kita dapat langsung mengenali rumah adat yang memiliki atap menjulang tinggi yang disusun dari ikatan alang-alang tanpa paku. Keindahan dan keunikan tersebut ada di pulau sumba, tepatnya di kabupaten Sumba Barat.  
“Sumba Barat itu indah dan unik. Ada kampung di tengah kota, sebuah pemandangan yang langka. Di sekitar Waikabubak—kota terbesarnya, terdapat perkampungan khas Sumba barat yang asri dan memiliki arsitektur yang menawan” ungkap Bupati Sumba Barat, Agusthinus Niga Dapawole, dalam sambutannya di acara Diskusi Hijau bertema “Potensi dan Tantangan Ekowisata Dalam Upaya Konservasi Pesisir di Sumba Barat” di hotel Manandang, Waikabubak pada Selasa, 6 September 2016.

Acara Diskusi yang diselenggarakan Yayasan BaKTI selaku knowledge manager dalam Aktivitas Pengetahuan Hijau – Proyek Kemakmuran Hijau MCA-Indonesia bertujuan untuk memfasilitasi BCC/Konsorsium Karbon Biru memaparkan temuan, hasil kajian, dan pembelajaran yang diperoleh dari kegiatan yang dilaksanakan.  BCC/Konsorsium Karbon Biru adalah salah satu penerima hibah Aktivitas Pengetahuan Hijau - Proyek Kemakmuran Hijau MCA-Indonesia. Dalam Aktivitas ini, BCC akan melaksanakan analisis lingkungan strategis untuk strategi pembangunan rendah emisi, khususnya dalam hal perencanaan dan praktik pembangunan kawasan pesisir.
Direktur Eksekutif Yayasan BaKTI, Muh. Yusran Laitupa dalam sambutannya mengharapkan agar diskusi ini tidak hanya saat kegiatan ini saja tetapi akan berlanjut menjadi diskusi di masyarakat sehingga mereka mempunyai pengetahuan yang cukup untuk berpartisipasi di dalamnya.  Hadir pula Provincial Resident Manager MCA-Indonesia untuk wilayah Nusa Tenggara Timur, Fransiskus Harum. Pak Frans dalam sambutannya menjelaskan, MCA-Indonesia sudah memulai beberapa tahapan kegiatan di Sumba Barat sejak tahun 2015. Kegiatan tersebut antara lain Proyek Pengetahuan Hijau termasuk didalamnya Konsorsium Karbon Biru/BCC yang akan melaksanakan demo plot pembangunan kegiatan ekowisata di Desa Patiala Bawa dan Desa Weihura.  Juga ada Konsorsium Sumba Hijau yang melaksanakan program terkait sumberdaya alam dan energi baru terbarukan. Kegiatan lain, terkait dengan pengelolaan tata ruang, yaitu mendukung pembuatan regulasi tata batas desa yang akan mulai dilaksanakan di bulan Oktober 2016.  

 

Kabupaten Sumba Barat mempunyai luas daratan 737,42 km². Hampir 50% wilayahnya berbukit-bukit dengan kemiringan 14°-40°. Wilayah pesisir Sumba Barat sebagian besar ada di bagian selatan yang menghadap langsung samudera Hindia. Perairan di selatan Kabupaten Sumba Barat memiliki potensi perikanan dan wisata bahari yang cukup besar. Terlihat dengan adanya sumber daya perikanan pelagis besar, pantai-pantai peteluran penyu, hutan bakau, padang lamun, terumbu karang, pantai berpasir putih dan gelombang besar. Kawasan ini juga memiliki setidaknya 120 Ha mangrove yang tersebar dari Pantai Mambang hingga Pantai Weihura/Bali Loku.
Sekalipun kaya akan sumber daya laut, nelayan di kawasan selatan Sumba Barat umumnya nelayan baru.  Masyarakat  sumba adalah masyarakat petani dan peternak, tidak ada tradisi melaut  seperti daerah lain di Indonesia. Dalam perkembangannya, masyarakat mulai menyadari bahwa laut mereka adalah sumber ekonomi. Profesi nelayan mulai dikenal dan berkembang pesat. Desa Weihura dan Desa Rua adalah dua dari 13 desa pesisir selatan Sumba Barat yang menjadi pusat perikanan tangkap di kawasan ini.
Masyarakat Sumba, termasuk yang ada di pesisir selatan Sumba Barat kaya dengan nilai-nilai budaya yang menghormati leluhur dan juga alam. Mereka memiliki kearifan lokal yang bersumber dari kepercayaan Marapu, agama leluhur penduduk sumba. Di pesisir selatan sumba barat, ada tradisi Wulla podu, waktu pamali untuk menangkap ikan, semacam moratorium penangkapan ikan. Ada juga hal unik di Desa Weihura, membuat garam dengan cara dimasak . Dan tentu saja, pasola, atraksi budaya yang sudah mendunia. Masih banyak kearifan lokal lain yang bisa sejalan dengan prinsip prinsip konservasi modern, dan mempunyai daya tarik wisata masih terpelihara dengan baik dalam kehidupan masyarakat Sumba Barat. Sumber daya alam yang melimpah, keindahan alam laut, berbagai atraksi budaya dan adanya kearifan lokal untuk memelihara alam, adalah potensi daerah pesisir selatan sumba. Hal ini membuka peluang usaha ekowisata untuk pemanfaatan secara maksimal untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap bisa mempertahankan kelestariannya. Namun dibalik potensi yang ada, masih banyak tantangan yang akan dihadapii untuk dapat mengelola usaha ekowisata secara tepat.

 

Mengelola usaha ekowisata sering berhadapan dengan dua kepentingan yang bertolak belakang, satu sisi sebagaimana usaha, prinsip ekonomi untuk mendapatkan keuntungan harus dijalankan. Di sisi lain, tujuan konservasi dan pelestarian budaya menjadi batasan yang ketat dengan nilai-nilai perlindungan yang sulit untuk ditawar. Usaha wisata umumnya dilengkapi dengan fasilitas modern, mewah dan jaminan privasi untuk kenyamanan wisatawan. Tidak hanya daya tarik wisata, ketersediaan fasilitas dan layanan juga menjadi nilai kompetitif bagi suatu usaha wisata.

 

 

Namun fasilitas dan layanan bukanlah segalanya. Akbar Ario Digdo, narasumber dari BCC memaparkan bahwa  usaha ekowisata memiliki pasar khusus. Penyelenggaraannya yang dilakukan dengan kesederhanaan, memelihara keaslian alam, seni dan budaya, adat-istiadat dan juga kebiasaan hidup masyarakat setempat adalah daya tarik ekowisata. Pengembangan ekowisata telah menjadi satu standar industri wisata yang memiliki potensi untuk mendukung aspek konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, bila dikelola secara tepat. Pengembangan ekowisata di Sumba bisa menjadi salah satu harapan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat kabupaten Sumba Barat yang hampir 30 persen dari sekitar 120 ribu jumlah penduduknya adalah penduduk miskin.
Nilai kompetitif ekowisata ada pada tawaran pengalaman, tidak hanya menikmati alam yang masih asri namun juga interaksi dengan budaya dan masyarakat setempat. Pelibatan masyarakat menjadi penting dalam perencanaan, pembangunan hingga pengelolaan kegiatan wisata. Dalam pembangunan prasarana dan sarana ekowisata, dianjurkan sesuai kebutuhan dan menggunakan bahan-bahan yang ada di daerah tersebut dan melibatkan penduduk lokal semaksimal mungkin. Seperti yang diutarakan oleh salah satu peserta, bahwa potensi bahan baku makanan, cindera mata, kuliner yang bersumber dari masyarakat lokal, semestinya dapat dimanfaatkan secara maksimal. Saat ini, bahan baku makanan banyak diambil dari luar sumba. Hal ini disebabkan oleh persoalan mutu bahan pokok yang dianggap di bawah standar kebutuhan.  Tentu saja hal ini menjadi pekerjaan rumah bagi daerah untuk mengembangkan ekowisata.
Sudah ada inisiatif yang dilakukan oleh pemerintah Sumba Barat, diantaranya mengenalkan kuliner lokal dengan membangun Pusat ole-ole di tingkat kabupaten. Pemerintah berharap kegiatan ini dapat mendorong masyarakat untuk makin giat mempromosikan dan sekaligus meningkatkan kualitas kuliner lokal. Dukungan langsung untuk peningkatan ekowisata juga diberikan pemerintah lewat bantuan kuda pasola ke desa dimana kuda untuk pasola sudah sangat berkurang. Dengan koordinasi yang baik masalah ini akan mampu terselesaikan.

 

Pemerintah kabupaten dan pemerintah provinsi berperan penting dalam kegiatan konservasi laut dan pengembangan ekowisata. Selain mengintegrasikan kebijakan di tingkat nasional dan daerah terkait pengembangan ekowisata. Pemerintah juga harus mampu mendukung peningkatan kualitas pengelolaan dan perlindungan hak masyarakat serta pengawasan untuk menjamin keberlanjutan usaha ekowisata. Rencana tata ruang wilayah Kabupaten Sumba Barat tahun 2012-2032 telah menetapkan pesisir selatan sebagai bagian dari Kawasan Strategis Kabupaten (KSK) bidang pertumbuhan ekonomi meliputi Kawasan minapolitan dan pariwisata. Namun belum ada rencana zonasi wilayah pesisir yang memuat zona budidaya pesisir, zona kawasan konservasi perairan, zona perikanan tradisional, zona perikanan umum, zona wisata bahari dengan tetap memperhatikan aturan terkait dengan sepadan pantai.

 

 

Ketua Komisi A DPRD kabupaten Sumba Barat, Bapak Lazarus yang hadir dalam diskusi ini juga menyoroti belum adanya perda terkait wisata yang berpihak pada kepentingan masyarakat. Meski telah ada regulasi terkait zona wisata, namun saat ini penguasaan potensi wisata di sumba barat oleh pihak luar masih dianggap tak terkendali.  Selain itu berbeda dengan perairan di pesisir utara yang merupakan bagian dari Kawasan Konservasi Perairan Nasional (KKPN) Laut Sawu, bagian pesisir selatan Kabupaten Sumba Barat merupakan perairan yang relatif belum dikelola dengan baik dari sisi tata kelola maupun pemanfaatannya. Masih banyak masalah yang harus diselesaikan terkait dengan penguasaan lahan, termasuk aturan pemanfaatannya. Dalam sambutannya di awal acara, Bupati Sumba Barat menekankan bahwa pengembangan ekowisata harus dimulai dengan perencanaan kawasan dengan memperhatikan konsep ekowisata. Hal ini bisa menjadi dasar penentuan wilayah konservasi yang kemudian dapat dimanfaatkan oleh usaha ekowisata.  Pemerintah daerah melalui dinas perijinan juga harus siap mengatur pengelolaan ijin yang dapat menertibkan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Di acara diskusi yang berlangsung selama empat jam hadir pula wakil masyarakat setempat dari berbagai kalangan. Mereka menegaskan perlunya peningkatan kapasitas SDM dan perbaikan sarana prasarana yang menunjang usaha ekowisata. Dukungan pemerintah dan juga pihak lain bisa berupa pelatihan kesiapan untuk menjadi operator wisata, pelatihan industri cindera mata dan tak kalah pentingnya adalah perbaikan akses transportasi. Mereka juga berharap pemerintah dapat membuat aturan yang jelas tentang hak-hak adat/masyarakat yang kadang berbenturan dengan kebijakan negara. Dukungan promosi dan peluang kerjasama dengan pihak luar juga sangat diharapkan, namun tentunya tetap memperhatikan budaya dan kepentingan ekonomi masyarakat.

 

 

Pemahaman dan kesadaran untuk mendukung ekowisata harus selalu dapat ditingkatkan, termasuk masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam usaha ekowisata. Hal positif dari karakter masyarakat sumba yang berbeda dengan daerah lain harus tetap dipertahankan, tidak terpengaruh dengan banyaknya kunjungan wisatawan. Mereka dianjurkan tetap memelihara adat dan kebiasaan sehari-hari, salah satu contoh yang dikemukakan oleh narasumber, misalnya aturan berpakaian di muka umum, wisatawanlah yang harus menghormati aturan dan kebiasaan yang telah ada.
Kades Patiala Bawa mengungkapkan bahwa di desa wisata mereka, tokoh masyarakat membatasi penggunaan AC termasuk di fasilitas wisata. Walau terbatas pada wilayah yang sangat kecil namun berdampak langsung pada pengurangan penggunaan alat yang menghasilkan emisi karbon. Hal ini sejalan dengan salah satu prinsip ekowisata yang mengusahakan penggunaan teknologi dan fasilitas modern seminimal mungkin.  
Peserta diskusi yang diisi dengan berbagai pemaparan, tanya jawab dan berbagi informasi, berharap bahwa proses ini tidak berhenti di tahap diskusi saja. Mereka berharap proses ini dapat berlanjut untuk kemudian bisa menghasilkan sebuah konsep ekowisata yang terintegrasi dan siap untuk dimplementasikan.
Akhir kata, ujung tombak pengembangan ekowisata ada pada masyarakat setempat. Dukungan pemerintah sebagai regulator penting untuk selalu hadir melindungi kepentingan masyarakat dan daerahnya.  Berbagai potensi yang ada menuntut peningkatan kesiapan masyarakat dan pemerintah dalam pengelolaannya. Maka kenalilah potensimu dan bersiaplah!
 

Contact
Share This: