Perempuan Petani dan Perjuangan Yang Tak Pernah Usai

You are here

Home / Perempuan Petani dan Perjuangan Yang Tak Pernah Usai

Perempuan Petani dan Perjuangan Yang Tak Pernah Usai

Salah satu penerima hibah pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat/  window 2 dari Millenium Challenge Account Indonesia (MCAI) yang mulai bekerja di Pulau Sumba sejak bulan Juli 2016, adalah Konsorsium Pembangunan Berkelanjutan Nusa Tenggara Timur (KPB NTT) yang dikoordinator oleh CIS Timor dan beranggotakan 9 lembaga yaitu Yayasan Wali Ati(Yasalti), Yayasan Harapan Sumba (YHS), Satu Visi, Koppesda, Pakta, Pelita Sumba, Waimaringi dan Bengkel Appek. Konsorsium ini mengusung nama program “ Optimasi Pengelolaan DAS Kambaniru, Karendi dan Mangamba Katewel Melalui Aksi Konservasi Lingkungan dan Peningkatan Ekonomi Berbasis Masyarakat di Kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya, Provinsi Nusa Tenggara Timur”. Salah satu hasil yang yang ingin dicapai lewat program ini adalah memperkuat kapasitas perempuan di 30 desa di 3  Daerah Aliran Sungai (DAS) Kambaniru, Karendi dan Mangamba Katewel untuk membangunan kesadaran kritis dan berpartisipasi aktif dalam iplementasi  program  yang didanai oleh MCAI untuk peningkatan pendapatan perempuan secara berkelanjutan.

Pada tanggal 27-28 April 2017 bertempat di Aula Wisma Cendana Sumba Timur, KPB NTT melaksanakan “Pelatihan Gender Mainstreaming dan Hak-hak Warga Dalam Pengolahan Sumber Daya Pertanian, Peternakan  dan Sumber Ekonomi, Tahap 1 Untuk Wilayah DAS Kambaniru”. Kegiatan ini dikuti oleh sekitar 30 peserta dari 10 wilayah program yang meliputi desa Kiritana, Mauliru, Mbatakapidu, Kelurahan Maulumbi, Ngarukahiri, Waikabanu, Mahaniwa, Lukukamaru, Maidang dan Katikuwai. Dimana masing –masing mengirimkan 3 peserta perempuan yang mewakili kelompok holtikultur, live stcok dan silvikultur. Kegiatan ini difasilitasi oleh Ibu Deby Rambu Kasuatu dan Ibu Wiyati Wito Sudarmo.

 

 

Perempuan pedesaan memiliki peran yang besar dalam mengatur kondisi keuangan dalam rumahtangga. Mayoritas rumahtangga petani berada pada posisi subsistensi (orientasi produksi masih pada konsumsi sendiri), yang ditandai secara struktural kondisi kehidupan yang cenderung minimalis dengan melakukan usaha-usaha kecil untuk bisa bertahan hidup.  Secara kultural petani enggan mengambil risiko untuk mengatasi permasalahan subsistensinya. Upaya bertahan hidup ini merupakan kondisi yang erat dengan garis kemiskinan, ditandai dengan kekhawatiran kekurangan pangan.

Beberapa fakta yang muncul dalam Konferensi Gerakan Petani Internasional, bulan Juni 2013 di Jakarta, menyebutkan bahwa FAO (Food and Agriculture Organization) mencatat bahwa kontribusi produksi pangan dunia sebesar 80% diberikan oleh perempuan. La via Compensina Region Asia Tenggara mencatat 70% pekerja pertanian adalah perempuan. Di Indonesia 65% perempuan dari total petani yang ada.
Di tingkat lokal/skala Sumba, hasil kajian gender di 3 wilayah DAS intervensi menunjukan 87% perempuan bermatapencaharian dibidang pertanian. Dan untuk mata pencaharian berkelanjutan, perempuan hanya mampu mengelola lahan seluas 1-5 are (75% mampu kelola 1 - 2 are dan 25 % mampu kelola 3-5 are).  Dengan biaya produksi yang tinggi karena ketergantungan kepada pupuk, pestisida, herbisida dan benih dari toko menghambat perkembangan usaha perempuan. Padahal dalam sejarahnya petani di 3 DAS ini melakukan produksi sendiri jenis-jenis saprodi tersebut serta memiliki sejarah gotong royong dibidang usaha tani. Luas lahan sangat berpengaruh terhadap pendapatan perempuan dimana semakin luas lahan yang digarap akan semakin besar pendapatan yang diperoleh.

Dari gambaran yang ada terlihat jelas bagaimana tantangan yang dialami oleh perempuan petani baik dalam kegiatan utama pertanian (proses produksi, distribusi maupun konsumsi) maupun kegiatan pendukungnya. Kontribusi perempuan di sektor pertanian sebetulnya lebih besar lagi ketika peran mereka sebagai pekerja keluarga tidak dibayar atau buruh tani ikut diperhitungkan. Faktanya, nyaris semua kegiatan usaha pertanian, khususnya budidaya tanaman pangan, yang dijalankan oleh petani laki-laki tak lepas dari peran serta kaum perempuan. Ini dengan mudah bisa kita jumpai di desa-desa. Representasi kemiskinan dewasa ini, isu pemberdayaan gender masih menjadi fokus perhatian pemerintah.

Pemberdayaan Perspektif Gender
Secara umum gender diartikan sebagai karakteristik sosial sebagai laki-laki dan perempuan seperti yang diharapkan oleh masyarakat budaya melalui sosialisasi yang diciptakan oleh keluarga dan/atau masyarakat, yang dipengaruhi oleh budaya, interpretasi agama, struktur sosial dan politik. Karakteristik sosial ini menciptakan pembedaan antara laki-laki dan perempuan yang disebut pembedaan gender. Pembedaan gender ini menciptakaan peran, status yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.Perbedaan gender ini dipelajari dan dapat berubah-ubah dari waktu ke waktu dan dari suatu masyarakat ke masyarakat yang lain. Peran gender/sosial ini berpengaruh terhadap pola relasi /kuasa antara laki-laki dan perempuan yang sering disebut sebagai relasi gender.

Dalam pemberdayaan yang berprespektif gender, setidaknya ada beberapa aspek yang menjadi fokus yaitu kesejahteraan, akses terhadap sumber daya, kesadaran kritis, partisipasi dalam pemgambilan keputusan dan kuasa/kontrol.
Terkait kesejahteraan maka haruslah terpenuhinya tingkat kesejhateraan material perempuan dan laki-laki, yang diukur dari tercukupinya kebutuhan dasar manusia berupa sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain. Terkait akses terhadap sumber daya, harus adanya kemampuan dan peluang yang sama pada laki-laki dan perempuan untuk menjangkau sumber daya: manusa, alam, fisik/infrastuktur, finansial dan lain-lain. Terkait kesadaran kritis, adanya kesadaran bahwa ketidakadilan gender yang terjadi bukanlah pemberian Tuhan tetapi  merupakan bentukan/kontruksi sosial sehingga hal tersebut dapat dan harus diubah. Pemberdayaan di tingkat ini berarti penumbuhan sikap kritis dan penolakan terhadap cara pandang (paradigma) dan stuktur yang melanggengkan ketidakadilan gender tersebut. Serta adanya keyakinan pada keadilan dan kesetaraan gender.

 

 

Terkait partisipasi dalam pengambilan keputusan berarti keterlibatan setara perempuan dan laki-laki dalam proses pengambilan keputusan di setiap tingkatan sehingga kepentingan mereka tidak terabaikan. Terkait kuasa atau kontrol, adanya keseimbangan kekuasaan antara perempuan dan laki-laki, dimana tidak ada satu pihakpun yang berada dibawah dominasi yang lain. Perempuan dan laki-laki mampu mewujudkan aspirasi mereka, memegang kendali atas sumber daya yang ada, mendapatkan hak-haknya secara berkelanjutan dan mampu mengontrol kebijakan yang ada.

Perempuan dan Pertanian Alami/Rendah Emisi
Selama ini analisanya biaya produksi menjadi beban utama usaha pertanian, pupuk mahal, pestisida dan nutrisi yang mahal dan langka jadi problem utama petani. Akibatnya hasil yang tak seberapa segera tergerus oleh mahalnya kebutuhan yang dibutuhkan untuk produksi oleh petani. Sehingga petani pun minim daya belinya. Bahwa  seharusnya petani kecil, dan bukan perusahaan transnasional, harus mendapatkan kontrol atas sumberdaya agraria yang dibutuhkan untuk memproduksi pangan yaitu, tanah, air, benih dan pasar lokal.
Dengan pertanian alami maka pupuk, nutrisi, dan pestisida juga tidak harus beli karena bisa dibuat dengan bahan lokal yang ramah lingkungan dan mudah dijumpai masyarakat. Tanah pertanian yang dikelola dengan sistem pertanian alami menjadi upaya perwujudan kedaulatan pangan yang sesungguhnya. Pertanian alami memungkinkan perempuan kembali menjadi aktor utama pertanian. Selama ini pertaian konvensional yang mengandalkan teknologi dan input mekanik telah meminggirkan perempuan dan mengasingkannya dari lahannya sehingga terpaksa harus tersingkir ke sektor non pertanian yang rentan seperti menjadi tenaga kerja asing. **

Contact
Share This: