Perempuan dan Pembangunan (Dalam Kerangka Pembangunan Rendah Karbon)
Beberapa waktu lalu tepatnya di tanggal 2 Agustus 2016 kami mendapatkan kesempatan (tepatnya diundang) untuk menghadiri suatu acara. Waktu berangkat ke Bappeda Kabupaten Lombok Timur, kami belum mengetahui acara apa yang akan kami hadiri. Karena waktu dihubungi via telpon kami hanya diinfokan bahwa kegiatan tersebut merupakan sosialisasi program pemenang Hibah Jendela dua MCA-Indonesia.
Setibanya di aula Bappeda Lombok Timur yang menjadi lokasi kegiatan ternyata acara telah dimulai, saat itu sedang berlangsung sambutan Kepala Bappeda yang diwakili oleh Kepala Bidang Fisik dan Prasarana, L. M. Ramdhana. Seperti halnya Pemerintah Daerah Lombok Timur yang merespon positif pelaksanaan program ini, tulisan dibelakang pembicara juga telah menyita perhatian kami dan membuat kami tidak sabar untuk menunggu acara berikutnya yakni pemaparan program oleh pelaksana program tersebut.
Akhirnya waktu yang kami nantikan datang juga, program yang berjudul Penguatan Inisiasi Ekowisata Berbasis Masyarakat yang Adil dan Berkelanjutan Sebagai Sumber Penghasilan Alternatif Perempuan Menuju Kemandirian Ekonomi Rendah Karbon dan Perubahan Kualitas Hidup Perempuan Lombok Timur. Kegiatan yang akan dilaksanakan oleh Gema Alam NTB (Gerakan Masyarakat Cinta Alam) bersama RMI Bogor (Rimbawan Muda Indonesia) melalui pendanaan Hibah Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat - Proyek Kemakmuran Hijau MCA - Indonesia, berlokasi di tiga Kecamatan di daerah Kabupaten Lombok Timur. Pertama, Kecamatan Suela dengan desa sampel Desa Suela, Mekarsari dan Sapit. Kedua, Kecamatan Wanasaba dengan desa sampel Desa Beririjarak, dan terakhir Kecamatan Peringgasela dengan desa sampel Desa Peringgasela. Cukup seksi memang, tidak hanya karena program ini akan fokus pada pengembangan potensi-potensi desa dengan peran aktif seluruh elemen masyarakat sehingga mampu memberikan kontribusi yang lebih baik saja, tetapi juga memaksimalkan keterlibatan kaum perempuan.
Mengapa Perempuan?
Di NTB, khususnya Lombok Timur yang merupakan salah satu kabupaten dengan angka buruh migran tertinggi, perempuan menjadi ujung tombak keluarga. Betapa tidak, ketika suami atau anak lelaki dalam keluarga memutuskan untuk bekerja di luar negeri (menjadi TKI) maka secara otomatis segala tanggung beralih kepada perempuan. Mereka menjalankan peran ganda, perempuan tidak hanya bertanggung jawab atas urusan rumah tangga saja melainkan juga menjadi kepala keluarga. Mencari nafkah serta menjalankan kehidupan sosial di masyarakat. Pembangunan yang responsif gender memang sudah seharusnya memperhatikan posisi kaum perempuan terutama di pedesaan. Dimana perempuan yang sebenarnya memiliki kemampuan dan kecakapan yang cukup tetapi kurang mendapat pengakuan di masyarakat, sehingga memiliki akses yang terbatas pada sumber-sumber ekonomi. Seringkali perempuan menjadi kelompok yang terpinggirkan dalam pembangunan khususnya saat pengambilan keputusan. Cukup sulit bagi perempuan untuk mendapatkan akses perbankkan atau jasa keuangan lainnya. Sehingga pada kondisi tersebut ditambah lagi dengan tanggungjawab ekonomi keluarga, maka rentenir menjadi pilhan yang paling memungkinkan. Apa yang terjadi? Bukannya kesejahteraan yang dicapai melainkan beban utang yang semakin hari semakin menumpuk.
Lalu Hubungannya dengan Pembangunan Rendah Karbon?
Mungkin terlalu rumit jika kita membayangkan kalimat “Pembangunan Rendah Emisi Karbon”, terlebih lagi jika perempuan juga menjadi komponen penting dalam mewujudkannya. Diperlukan sutau langkah strategis untuk menjalankan pembangunan yang benar-benar berspektif rendah karbon. Itu tentunya jika kita berbicara dalam skala besar baik daerah atau pun nasional. Namun pada kenyataannya, pembangunan rendah karbon bisa dimulai dari scope kecil dan juga memulainya dari hal-hal yang kecil. Sudah banyak praktik-praktik pembangunan redah karbon yang diterapkan dalam tataran kelompok masyarakat. Sebut saja penggunaan biogas dan sumber energi terbarukan lainnya sebagai sumber energi alternatif di beberapa Desa di Kabupaten Lombok Utara dan terbitnya Perdes yang khusus mengatur keanekaragaman hayati di Lombok Tengah.
Pada program ini yang coba dikembangkan adalah Ekowisata. Mengapa Ekowisata? Karena beberapa desa lokasi implementasi selain memiliki potensi pengembangan wisata alam juga desa-desa tersebut berbatasan dengan kawasan hutan. Sehingga perlu dikembangkan sumber-sumber ekonomi alternatif agar penduduk tidak lagi menggantungkan seratus persen hidupnya pada hutan (Hasil Hutan Kayu), yang sudah jelas berdampak buruk bagi lingkungan. Masyarakat diajak untuk mengembangkan potensi yang dimiliki tanpa merusak tetapi justru melestarikan alam. Seperti misalnya pada Desa Beririjarak dengan potensi wisata Gawah Gong dan Desa Suela dengan potensi Wisata Alam Lemor, tentunya masyarakat akan mendapatkan manfaat yang lebih besar dengan melestarikan kedua lokasi wisata alam tersebut. Terlebih lagi dengan menjaga potensi budaya dan ritual yang masih sering diselenggarakan oleh masyarakat di lokasi tersebut, tentunya akan menjadi daya tarik pengunjung.
Mewujudkan ekowisata memang tidak mudah, perlu banyak persiapan yang dilakukan. Tidak hanya sebatas pada infrastruktur dan fasilitas penunjang lainya. Namun juga kesiapan dari warga setempat, karena dalam konteks ekowisata, wisatawan diajak untuk berbaur dan menikmati kehidupan warga desa. Dengan demikian kesiapan warga desa menjadi tuan rumah menjadi hal penting. Pada saat itulah perempuan memainkan peran mereka. Dimana perempuan bertindak sebagai penyedia tempat tinggal hingga sebagai penyedia kuliner, jika perempuan memiliki keterampilan membuat souvenir tentunya akan membuka pasar baru, kesemuanya itu tentu akan menjadi sumber pendapatan rumah tangga.
Ekowisata sebagai stimulan perekonomian diharapkan tidak hanya memberi manfaat bagi warga desa lokasi ekowisata tetapi lebih jauh diharapkan memiliki multiplier effect bagi desa-desa tetangga. Untuk itu desa-desa penyangga ekowisata yang notabene berbatasan dengan kawasan hutan juga didorong untuk dapat memaksimalkan potensi alam yang mereka miliki. Tentunya pengolahan hasil hutan bukan kayu (HHBK) seperti madu dan empon-empon (kunyit, jahe, lengkuas dan temulawak). Seperti di Desa Sapit dan Mekarsari yang mengembangkan madu dan pengolahan empon-empon menjadi jipang jahe, minuman jahe, serbuk kunyit, dan minuman temulawak. Selain potensi hasil hutan bukan kayu, tenun juga tentu menjadi buah tangan menarik setelah berkunjung ke kedua lokasi ekowisata tersebut. Tenun yang dikembangkan di Desa Peringgasela Kecamatan Peringgasela ini menggunakan pewarna alami dengan memanfaatkan berbagai jenis tanaman lokal sehingga akan mengurangi penggunaan bahan kimia.
Berbagai aktifitas ekonomi dan pegelolaan sumber daya alam tersebut dilaksanakan dengan memaksimalkan peran perempuan dan kaum marjinal sehingga mereka mendapatkan pengakuan atas segala potensi yang mereka miliki serta meningkatkan posisi tawar mereka dalam masyarakat, tidak hanya di tataran pemerintah desa tetapi juga pembangunan dalam skala yang lebih luas. Dengan terbukanya kesempatan dan akses perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi akan membantu perempuan terlepas dari jerat rentenir. Secara perlahan mereka akan mampu memainkan peran dan mencapai kemandirian ekonomi.