Mengawetkan Mimpi Petani Garam Dengan Tungku Sehat Hemat Energi
Kabupaten Sumba Tengah merupakan salah satu Kabupaten yang dianugerahi dengan wilayah darat dan wilayah Laut, dimana luas daratnya sebesar 670.245 km2 serta luas laut bagian utara 357,97 km2 dan luas laut bagian selatan 312,27 km2 dengan garis pantai bagian Utara mencapai 55,62 km2 dan bagian selatan mencapai 48,52 km2 atau garis pantai keseluruhannya mencapai 104,14 km2 merupakan potensi untuk dikelola, dimanfaatkan dan dikembangkan secara berkelanjutan.
Sektor kelautan dan perikanan merupakan salah satu keunggulan komparatif yang berpotensi untuk dikelola dan dimanfaatkan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan pokok masyarakat dan menciptakan peluang bagi masyarakat dalam meningkatkan produksi dan produktivitasnya serta menjadi keunggulan kompetitif untuk menggerakkan perekonomian daerah. Salah satu tujuan pembangunan dibidang Kelautan dan Perikanan Kabupaten Sumba Tengah antara 2013 – 2018 adalah meningkatnya peran sektor kelautan dan perikanan dalam perekonomian daerah Sumba Tengah, dengan strategi meningkatkan efisiensi pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan. Salah satu program penunjang peningkatan efisiensi pemanfaatan potensi sumberdaya perikanan dan kelautan adalah Program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir dengan kegiatan antara lain : Pengembangan Usaha Produktif Masyarakat Pesisir; Gerakan Masuk Laut (GEMALA); Pengembangan Sarana/Prasarana masyarakat pesisir dan Pengembangan kawasan Mina politan.
Adalah kecamatan Mamboro, salah satu dari 5 kecamatan yang ada di kabupaten Sumba Tengah dan terletak di kawasan pesisir. Salah satu desanya bernama Watu Asa. Berdasarkan hasil kajian (KAP survey) yang telah dilaksanakan oleh BCC, potensi utama di Desa Watu Asa adalah pengembangan usaha garam rebus. Dalam rangka mendukung pengembangan usaha garam rebus di Desa Watu Asa, BCC telah memfasilitasi demoplot dengan mengintegrasikan kegiatan rendah emisi, antara lain pembangunan Rumah, Pembangunan Tungku Sehat Hemat Energy, Pemasangan Instalasi Solar Panel, dan masih dalam tahap pembangunan adalah pembangunan tambak garam skala kecil, pengembangan kebun energi, serta konservasi mangrove.
Proyek “Pengelolaan Pengetahuan Tata Kelola Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi di Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur” merupakan program yang dilaksanakan oleh Blue Carbon Consortium (BCC) atas dukungan dari Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia. Tujuan proyek ini adalah untuk meningkatkan pengelolaan pengetahuan dan praktik cerdas dalam mendukung integrasi strategi-strategi pembangunan rendah emisi dalam pengelolaan, perencanaan dan praktek-praktek tata kelola sumberdaya pesisir. Proyek ini membantu Pemerintah Daerah (PEMDA) dalam menjawab tantangan pada manajemen pengetahuan di NTB dan NTT terutama pada isu-isu pembangunan rendah emisi. BCC, terdiri dari Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan – Institut Pertanian Bogor (PKSPL – IPB), Perkumpulan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) serta Pelatihan dan Fasilitasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (TRANSFORM).
Untuk mendukung pencapaian tujuan proyek, maka kegiatan-kegiatan dilaksanakan dengan metode memanfaatkan pengetahuan serta berbagi pengetahuan dalam hal pengelolaan dan penggunaan sumberdaya pesisir rendah emisi melalui demonstrasi plot (demoplot) untuk dikelola oleh kelompok mayarakat desa/lembaga lokal. Demoplot akan mencakup kegiatan yang membahas praktik-praktik perikanan berkelanjutan dan pengelolaan pesisir rendah emisi seperti budidaya rumput laut, perlindungan dan rehabilitasi terumbu karang/hutan mangrove, ekowisata, pengembangan Usaha Garam rebus, Pengembangan usaha perikanan skala kecil, dan lain-lain yang mendukung pembangunan berkelanjutan dan rendah emisi.
Pada tanggal 10-11 April 2017, bertempat di Aula Pelabuhan Kapulit di Desa Watu Asa, BCC telah melaksanakan “Pelatihan Pengelolaan Usaha Garam Rebus Rendah Emisi” yang diikuti oleh sekitar 40 orang petani garam dari Desa Watu Asa. Secara umum kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan petani garam rebus dalam produksi sekaligus meng-integrasikan kegiatan-kegiatan rendah emisi dalam proses produksinya. Kegiatan ini difasilitasi oleh Bapak Ir. Umbu S Kuralena (Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sumba Tengah), Ibu Prianti Utami (Konsultan Usaha Garam dari BCC) dan Bapak Nano Sudarno (Tim Ahli dari BCC).
Salah satu usaha bidang kelautan dan perikanan, non hayati, yang dapat menggerakkan perekonomian daerah dan dapat diupayakan diwilayah pesisir adalah usaha garam rakyat. Dan di Kecamatan Mamboro sendiri, menurut Bapak Umbu K Rajamuda (Sekretaris Dinas Koperasi dan UKM Sumba Tengah) usaha garam rakyat yang telah ada sudah cukup dikenal masyarakat dan memiliki pangsa pasar sendiri. Diakui juga oleh beliau bahwa produksi garam Mamboro, belum mencukupi kebutuhan semua masyarakat di Sumba Tengah. Dimana rata-rata kebutuhan per orang sekitar 3 kg/tahun, jika total penduduk ada 167 ribu jiwa maka kebutuhan tahunan garam di Sumba Tengah sebesar 167 ribu x 3 kg = 501.000 kg/tahun atau 501 ton/tahun dan jika dibagi dalam 12 bulan, maka dibutuhkan produksi garam 41, 75 ton setiap bulan.
Usaha garam yang selama ini dikembangkan masih bersifat konvensional/tradisional. Namun meskipun demikian ada peluang yang selama ini telah mendukung, seperti adanya laut yang bersih dengan musim hujan yang sedikit dan matahari yang bersinar hampir sepanjang tahun, sudah ada pemasak garam/ petani garam walau garam yang dihasilkan masih kurang dapat mengikat iodium, dicanangkannya NTT sebagai salah satu sentra garam nasional sehingga butuh penambahan lahan untuk pengembangan usaha ini selain di wilayah NTT lainnya seperti Sabu, tekad Pemerintah RI untuk kurangi import garam industri sampai dengan 50 % ( 1 juta ton) serta swa sembada garam pada 2017 (PUGAR/Program Usaha Garam Rakyat dengan target 10 000 ha lahan tambak garam).
Menurut Ibu Prianti Utami, usaha garam rebus di Watu Asa dilaksanakan dari bulan April sampai Oktober dengan cara konvensional/tradisional. Kekurangan Usaha Garam rebus konvensional: Membutuhkan kayu yang banyak untuk memasak garam (untuk 1 kali masak membutuhkan 4-5 pikul kayu dan ditambah dengan kayu-kayu besar); Tenaga yang dikeluarkan juga sangat banyak, untuk mencari kayu, dan memasak garam; Karena kebutuhan kayu sangat banyak, maka akan berakibat pada perambahan hutan untuk kebutuhan kayu; Asap pembakaran menyebar kemana-mana, sehingga berakibat pada kesehatan dan Rumah dapur yang dibuat ala kadar-nya (kurang memperhatikan sirkulasi udaranya).
Selama ini ada 2 jenis usaha garam rebus yang dikembangkan, yakni Garam Rebus dengan sistem menyaring tanah yang mengandung kadar garam tinggi, kemudian direbus dan Garam Rebus dengan sistem merebus ulang garam kristal, yang dibeli dari Bima (Sisa Garam Tambak).
Dalam pelatihan ini, tim BCC memperkenalkan alternatif cara memasak garam yang sehat dan hemat energi, berupa : Rumah Dapur yang memperhatikan tata letak, sirkulasi udara dan penyinaran; Tungku Sehat Hemat Energi (TSHE); Pembuatan Kebun Energi untuk mengantisipasi kebutuhan Kayu Bakar; Alternatif usaha Garam dengan sistem Tambak, dengan memanfaatkan terpal High Density Poly Ethylene (HDPE)/Geomembran (lapisan lembar HDPE yang dihamparkan dan berfungsi sebagai pembatas yang tahan air antara tanah dan bagian lainnya) dimana energi yang dipergunakan adalah energi matahari atau tidak memakai kayu bakar; Fasilitasi Instalasi solar cell untuk mendukung usaha garam rebus.
Selain itu, dalam pelatihan ini juga Bapak Nano Sudarno memfasilitasi sesi penggalian mimpi/ harapan petani garam tentang usaha garam di Desa Watu Asa yang terkait dengan tungku/rumah tungku, bahan baku garam, harga garam dan usaha garam itu sendiri. Dari proses ini ada beberapa catatan penting yang muncul. Misalnya terkait bahan baku garam, menurut para peserta untuk mengurangi ketergantungan petani garam akan garam Bima, sebagai bahan baku untuk memasak garam, maka perlu dikembangkan alternatif usaha garam tambak dan perlu dilakukan studi banding atau pelatihan usaha garam dengan sistem tambak. Terkait tungku dan rumah tungku, perlu dikembangkan dalam jumlah yang lebih banyak, untuk membantu masyarakat mengurangi kebutuhan kayu bakar dan menghemat tenaga serta Pemerintah Desa dapat memfasilitasi pengembangan Rumah Dapur serta pengembangan Tungku Sehat Hemat Energi.
Ada banyak mimpi para petani garam di Watu Asa, mulai dari mempertahankan bahkan meningkatkan kualitas garam Mamboro garam yang selama dihasilkan melalui proses penyaringan tanah yang mengandung garam tinggi lalu direbus (garam ini warnanya sedikit putih kekuning-kuningan), kemasan yang menarik dan tersedia dalam ukuran ekonomis, logo yang sesuai dengan ciri khas Mamboro/Watu Asa sampai adanya ijin usaha. Semoga tungku sehat hemat energi membantu petani garam mengawetkan mimpi-mimpinya. **