Menelisik Pentingnya Sinkronisasi SDM dan SDA dalam Pengelolaan EBT Berbasis Komunitas

You are here

Home / Menelisik Pentingnya Sinkronisasi SDM dan SDA dalam Pengelolaan EBT Berbasis Komunitas

Menelisik Pentingnya Sinkronisasi SDM dan SDA dalam Pengelolaan EBT Berbasis Komunitas

Sejenak ruangan menjadi senyap, sesaat setelah dokumenter berdurasi 30 menit itu selesai. Para peserta hanya bisa saling tatap. Campur aduk perasaan seolah menyatu dengan suhu di Wisma Solapora, Waibakul - Sumba Tengah yang beranjak hangat. Hari itu, Selasa 22 November 2016, Yayasan BaKTI berkesempatan memfasilitasi Diskusi dan Pemutaran Film Dokumenter berjudul “Asa Dari Cahaya”. Film  dengan tema pengelolaan dan pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) berbasis masyarakat itu merupakan media untuk merekam upaya-upaya pemanfaatan dan pengelolaan energi baru terbarukan berbasis komunitas yang telah sukses dilakukan oleh masyarakat terutama dalam hal: kelembagaan pengelola, investasi yang dibutuhkan, mekanisme kerjasama yang dikembangkan dengan mitra, pengoperasian dan pemeliharaan pembangkit listrik, serta praktik baik  kesetaraan gender dalam pengelolaan dan pemanfaatan energi terbarukan berbasis komunitas di beberapa lokasi yakni Pembangkit Listrik Tenaga Biogas (PLTBg) di Desa Rantau Sakti, Kabupaten Rokan Hulu – Riau, Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH) Koak Sabang di kabupaten Lombok Utara – NTB dan Pembangkit Listrik Tenaga Mikrohidro (PLTMH) Kamanggih, Kabupaten Sumba Timur – NTT.

 

Tanggapan menarik datang dari seorang anak muda bernama Anton yang merupakan sekretaris kelompok Gen Hijau Sumba Tengah, sebuah kelompok lintas sektor yang beranggotakan laki-laki maupun perempuan dari unsur SKPD, LSM, Komunitas Warga, Kelompok Pemuda, Kelompok Perempuan sampai Media dengan kerja-kerja yang berfokus pada isu-isu lingkungan. Anton menyoroti soal pengorganisasian warga dalam pengelolaan dan pemanfaatan EBT, dimana perlu ada sinkronisasi antara Sumber Daya Alam (SDA) dengan Sumber Daya Manusia (SDM).
 Hal ini tentu saja didasari pada beberapa fakta seperti ketersediaan sumber-sumber EBT yang cukup melimpah di Sumba Tengah seperti mata air, air terjun, kotoran ternak sampai potensi panas matahari.  Namun di sisi lain jika merujuk pada Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang merupakan salah satu indikator untuk mengukur kemajuan pembangunan di suatu wilayah dari sisi pemenuhan kebutuhan dasar seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi maka IPM tahun 2015 Kabupaten Sumba Tengah sebesar 57,91 paling rendah dari semua Kabupaten di Pulau Sumba. Dari indikator ini dapat terbaca bahwa rata-rata lama bersekolah SDM di Sumba Tengah masih dibawah 6 tahun atau tidak tamat SD sedangkan 3 Kabupaten lainnya yaitu Sumba Timur, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya sudah diatas 6 tahun.

Tentu saja masih diperlukan analisa lebih lanjut untuk menyimpulkan kualitas SDM yang tersedia di Sumba Tengah namun secara cepat dapat dibayangkan apa yang bisa dihasilkan dengan SDM yang tidak tamat SD. Arahnya bukan untuk mengecilkan peran serta masyarakat dalam pembangunan tetapi justru untuk menemukan model-model pemberdayaan yang tepat karena apapun tantangan yang dihadapi masyarakat tetaplah satu dari tiga pilar dalam pembangunan.
Hal penting terbaca dari pendapat Anton ini, tentu saja soal bagaimana proses identifikasi sumber-sumber daya alam harus juga diikuti dengan identifikasi sumber daya manusia yang tepat/berkompeten untuk mengelola dan memanfaatkannya sehingga sumber daya alam yang melimpah itu benar-benar berguna untuk kesejahteraan masyarakat luas serta berkelanjutan.  

Menanggapi hal ini, Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Sumba Tengah Bapak Yohanis Umbu Tagela menegaskan bahwa dari pengalaman program-program penyediaan EBT yang dilakukan pemerintah memang masih ditemukan kurangnya kesadaran masyarakat untuk memelihara fasilitas-fasilitas publik yang telah disiapkan, seperti merusak jaringan air bersih maupun jaringan listrik. Dan tentu saja tantangan ini menjadi tantangan yang dihadapi oleh semua pihak. Sehingga memang sangat perlu sinergi multipihak untuk membangun kesadaran masyarakat soal hak dan kewajibannya dalam mengakses layanan publik ini.

 

Senada dengan itu Bapak Welhelmus Poek dari Hivos menyatakan bahwa salah satu solusi yaitu melakukan community development dengan harapan bahwa ruang itu dapat menjadi ruang untuk membangun komunikasi yang baik dengan masyarakat sehingga muncul kesadaran bersama dalam hal tanggung jawab pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam khususnya yang terkait EBT. Memperkuat SDM adalah bagian dari upaya untuk memastikan bahwa sumber daya yang ada akan dikelola dengan baik olehtenaga-tenaga lokal dan bukan oleh tenaga-tenaga dari luar. Masyarakat haruslah menjadi aktor untuk keberlanjutan semua sumber daya yang ada.  

Hal lain yang tidak kalah penting dalam pengelolaan dan pemanfaatan EBT adalah bagaimana mendekatkan teknologi kepada masyarakat sekaligus memahamkan masyarakat tentang teknologi itu sehingga tidak dapat dipungkiri perlu ada peningkatan kapasitas masyarakat untuk sampai pada tujuan ini. Saat ini energi menjadi salah satu motor penggerak pembangunan. Dengan fakta semakin menipisnya persediaan energi fosil yang masih menjadi sumber energi utama di Indonesia bahkan dunia maka tentu saja ketersediaan energi baru terbarukan menjadi harapan baru dalam pembangunan.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat pertumbuhan konsumsi energi terbesar di dunia. Berdasarkan data Direktorat Energi Baru dan Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), peningkatan konsumsi energi Indonesia beberapa tahun belakangan ini mencapai 7 % per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan itu, tak cukup hanya dengan mengandalkan energi fosil. Sebagai jawabannya, maka perlu upaya sistematis untuk mengembangkan potensi energi baru dan terbarukan.
Indonesia memiliki beragam potensi energi baru terbarukan yang melimpah. Sebut saja energi surya, dimana kerapatan rata-rata energi matahari yang diterima Indonesia adalah 4,8 KWh/m2 per hari. Potensi tenaga air Indonesia pun terbilang cukup besar, yaitu mencapai 75.000 MW. Sayangnya pemanfaatan sumberdaya air untuk penyedia listrik nasional baru dimanfaatkan 10,1% atau sebesar 7,572 MW. Ini belum termasuk pemanfaatan arus air dari banyaknya jeram sungai di Indonesia untuk pembangkit listrik tenaga air. Dengan adanya berbagai alternatif energi baru terbarukan diharapkan pola konsumsi energi Indonesia dapat bergeser dari energi fosil ke energi baru terbarukan dimana saat ini konsumsi energi nasional masih didominasi oleh energi tak terbarukan alias energi fosil, yaitu mencapai 94 persen. Ini terdiri dari 47% minyak bumi, 21% gas, dan 26% batubara.  

Dengan fakta-fakta diatas tentu saja model-model pengorganisasian warga menjadi penting untuk didesain berbasis kearifan lokal jika pada akhirnya masyarakat dipercaya untuk mengelola dan memanfaatkan EBT,bahkan kelompok mudapun bisa menjadi salah satu basis gerakan penciptaan energi. Setidaknya ini juga muncul dalam diskusi siang itu di Wisma Solapora.

 

Sementara itu kelompok perempuan yang berkesempatan hadir justru melihat ke wilayah yang lebih luas, yakni bagaimana desain penguatan warga untuk mengelola energi ini juga harus sinkron dengan rencana pembangunan yang sudah dibuat Pemerintah Daerah per sektor. Salah satunya dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Harus disadari bahwa tantangan utama akses sumber energi, misalnya air di Sumba adalah terkait infrastruktur/ transportasi. Sehingga jika masyarakat/komunitasnya telah diperkuat maka harus diikuti dengan komitmen pemerintah dalam penyediaan sarana dan pra sarana pendukung yang memadai sehingga pengelolaannya menjadi optimal.

Bagian lain dari film yang menarik adalah soal pembagian air di Koak Sabang untuk kepentingan PLTMH dan pertanian. Ini menjadi inspirasi bagi masyarakat Sumba Tengah karena masih ada pandangan bahwa “selagi makanan belum tercukupi maka kebutuhan akan energi (listrik) belum terlalu penting”. Pengalaman salah satu PLTMH di Desa Padiratana adalah awalnya air dimanfaatkan untuk memutar turbin agar PLTMH beroperasi namun karena kebutuhan air untuk pertanian makin meningkat akhirnya air dimanfaatkan untuk mengaliri sawah dan tidak lagi untuk menggerakkan turbin. Selain itu juga ada tantangan kurangnya debit air pada musim kemarau yang panjang.

Menurut Bapak Welhelmus Poek dari Hivos sebenarnya tidak ada masalah jika air harus digunakan untuk dua kebutuhan itu, seperti yang terjadi di PLTMH Kalimbu Kihi, dimana air dimanfaatkan untuk pertanian dan PLTMH namun memang dengan kondisi alam Sumba yang harus diantisipasi adalah kestabilan debit air yang dapat dijamin dengan program konservasi mata air atau penanaman/penghijauan di lokasi mata air.  Ada banyak cerita dari film yang menjadi inspirasi bagi semua peserta saat itu, namun yang paling penting adalah komitmen mereka untuk membangun ruang bersama bagi gerakan penciptaan energi ini, misalnya dengan mulai mengadvokasi alokasi dana desa di wilayah masing-masing.

 

Pada akhirnya, sumber-sumber EBT yang ada disekitar masyarakat, yang dapat diakses secara gratis dan tidak akan habis itu biarlah menjadi anugerah Tuhan untuk kesejahteraan bersama yang dikelola secara bertangungg jawab dengan memikirkan keberlanjutannya.

Contact
Share This: