Inspirasi dari Tradisi Masyarakat, Fahmi Merambah Pasar Dengan Inovasi Biji Kopi
Desa Aik Bual, Lombok Tengah- Siapa bilang Pemuda desa tidak mampu berbuat apa-apa untuk mengelola Potensi Desa? Berkesempatan mewawancarai seorang Pemuda bernama Zainul Fahmi (28 tahun) asal Dusun Bare Eleh, Desa Aik Bual Kecamatan Kopang Kabupaten Lombok Tengah (Selasa, 19/01/2016) Pemuda yang terbilang berinovasi untuk mengelola sumber daya alam di desanya. Belum sempat menamatkan pendidikannya di bangku kuliah IAIN Mataram ini, memulai usaha mengolah biji kopi menjadi bubuk kopi yang rasanya tak kalah bersaing dengan produk-produk yang lebih dulu ada dan dipasarkan di Supermarket.
Berangkat dari pengalamannya melihat realitas masyarakat di Lombok pada umumnya dan di sekitar kampungnya, yang mana dalam tradisi Masyarakat Lombok yang “doyan ngopi” baik dalam acara-acara Gawe adat, pertemuan sosial maupun bertamu dari rumah kerumah, yang paling dahulu disugukan untuk menyambut tamu adalah Kopi. Dan Kopi Hitam khas olahan rumah, menjadi satu objek realita sekaligus potensi pasar yang ditangkap “Saya memiliki ambisi untuk menciptakan lapangan pekerjaan di desa saya” tutur Fahmi, panggilan akrabnya.
Sempat bekerja selama satu tahun menjadi Tenaga Kerja ke Malaysia, Fahmi mengaku saat itu dirinya berupaya mengumpulkan modal usaha. Baginya tekad dan kemauan adalah modal utama untuk mulai melakukan perubahan pada kondisi hidup orang-orang terdekatnya khususnya keluarga dan lingkungannya. Dengan modal Tiga juta rupiah, sisa membangun rumah untuk Ibunya dari penghasilannya menjadi TKI dan bekerja serabutan, Fahmi mulai memanfaatkan tabungannya itu untuk membeli biji kopi dari petani Kopi di Desanya. Dusun Nyeredep adalah salah satu lokasi Dusun penghasil Kopi di Desa Aik Bual, menjadi wilayah penjajakan Fahmi pertama kali. Menurut Fahmi, jenis biji kopi yang ditanam di Desanya belum diketahui pasti jenisnya, petani menyebutnya sebagai “kopi lokal”.
Membeli biji kopi dari petani dnegan harga berkisar Rp.20.000 sampai Rp.25.000,- per kilogram. Pada awalnya Ia mengaku hampir satu bulan bereksperimen, mengolah kopi bubuk, pemuda yang masih belum berumah tangga ini, mengaku tidak mengkonsumsi kopi “meski saya membuat kopi, saya sendiri bukan penikmat kopi” tuturnya. Namun lingkungan sekelilingnya, adalah penikmat kopi, Ibunya, dan tetangga-tetangganya menjadi tester produk olahannya. Dari informasi, kritik dan masukan dari mereka, Fahmi terus berinovasi “memperbaiki” citarasa kopinya. sampai dirinya menemukan citarasa yang pas untuk kopi prosuksinya yang diberinya label “KopiKu”.
Kemasan “KopiKu” masih terbilang sederhana, awalnya fahmi menggunakan kertas plastik biasa, namun dari pengamatannya serta masukan dari konsumen, sedikit demi sedikit ia membenahi kemasan. Bahan baku kemasan yang digunakan kini, menggunakan alumunium foil dan stiker yang masih sederhana dan dipesan dari pulau Jawa “di Lombok belum ada yang menjual bahan kemasan alumunium foil, begitu juga dengan harga cetak stiker, di Lombok terbilang mahal Rp.500/ lembar kalau di Jawa dapat harga Rp.200/ lembar” ungkapnya.
Dari usahanya ini, Fahmi merekrut tenaga kerja dari lingkungan keluarga dan tetangganya untuk proses sangrai, pengemasan, sementara untuk pemasaran, ia menggunakan jasa teman-teman terdekatnya “untuk jasa pemasaran ada dua orang sahabat saya yang rutin mengambil kopi untuk di Kampas ke wilayah-wilayah seperti Praya, Mataram dan Lombok Timur, Saya sendiri juga berkeliling untuk pemasaran sekaligus mendengar masukan dan saran dari pelanggan di toko-toko” katanya.
Kini usaha pengolahan bubuk kopi Fahmi yang telah berjalan selama Lima bulan terbilang kebanjiran pesanan. Pemasaran kopi hasil produksinya dipasarkan di Pasar-pasar desa dan toko-toko di wilayah Paok Motong dan Terara Lombok Timur, pun dengan di Pasar Jelojok Kopang dan di Matram ia mengaku kini telah menjalin kerjasama dengan berjejaring dengan beberapa toko besar. Strategi promosi yang digunakan Fahmi sementara ini berupa “Jejaring teman” dari cerita ke cerita penikmat kopinya. Selain itu, harga pemasaran “KopiKu” terbilang masih sangat murah, untuk kemasan 250 gram, ia memasarkan dengan harga Rp.12.000. “Sementara ini masih harga promosi untuk menggaet pelanggan” tuturnya.
Fahmi mengakui, modal minim untuk memulai usahanya, yang digunakan untuk pengadaan alat packing, peralatan sangrai yang massih tradisional dan bahan bakar kayu, sejauh ini Ia masih akan berinovasi untuk memperbaiki banyak hal khususnya pada kemasan yang lebih paten serta menonjolkan nama desa sebagai Brand promosi potensi Desa dalam kemasan kopinya. Selain itu, harapan Fahmi ke depan selain berinovasi untuk usahanya, Ia sangat berharap segala potensi sumberdaya alam di desanya dapat memacu peningkatan sumberdaya manusia khususnya pemuda desa. Baginya, desa Aik Bual sangatlah kaya potensi, sehingga jika masyarakat khususnya pemuda memiliki cara pandang untuk menjaga, mengelola potensi tersebut ia sangat yakin, sudah tidak akan ada lagi cerita pemuda di desanya yang akan menjadi Tenaga kerja ke Luar negeri “Sumber daya manusia kita masih suka berpikir instan untuk memperoleh kebutuhan hidupnya tanpa mau belajar dari lingkungan sekitar, dan sangat penting memulai ini dari perubahan cara pandang dan harus dimulai dari pribadi masing-masing serta harus saling dukung antara pemerintah dan masyaraka serta pasar” tuturnya. (Maya)
Sumber: http://konsorsiumhijau.org/berita/38-inspirasi-dari-tradisi-masyarakat-f...
Add new comment