Dinamika Perhutanan Sosial di HKm Santong dan Sambelia
Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No.83/2016 tentang Perhutanan Sosial adalah upaya memperkuat dan mempermudah pencapaian target RPJMN sektor kehutanan yaitu 12,7 juta Ha hutan diserahkan pengelolaannya kepada masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan.
Program perhutanan sosial sudah lama diterapkan Pemerintah yaitu sejak Reformasi Kehutanan yang ditandai dengan direvisinya Undang-Undang No.5/1967 tentang Aturan Pokok Kehutanan menjadi Undang-Undang No.41/1999 tentang Kehutanan. Peraturan Pemerintah No.6/2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan menjadi acuan pelaksanaan Program Perhutanan Sosial yang bertujuan untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat di sekitar dan di dalam kawasan hutan. Pemerintah melaksanakan Program Perhutanan Sosial sebagai wujud dari praktik kehutanan dimana hutan juga memiliki fungsi sosial selain fungsi ekonomi dan lingkungan. Pelaksanaan Program Perhutanan Sosial hingga 2013 mencapai 2,5 juta Ha (Kemenhut, 2013).
Program Perhutanan Sosial yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan (peningkatan kesejahteraan) masyarakat sekitar dan di dalam kawasan hutan, merehabilitasi hutan dan lahan kritis mengacu ke Permen LHK No.83/2016 meliputi 6 skema yaitu: 1) Hutan Desa (HD); 2) Hutan Kemasyarakatan (HKm); 3) Hutan Tanaman Rakyat (HTR); 4) Hutan (Pola) Kemitraan; 5) Hutan Adat; dan 6) Hutan Rakyat. Dari data PIAPS (Peta Indikatif Area Perhutanan Sosial) 2015 dan Road Map Perhutanan Sosial Kementerian KLHK 2015, hanya Hutan Rakyat (dalam UU No.41/1999, Hutan Rakyat disebut Hutan Hak) yang berada di atas tanah milik, skema lainnya berada di kawasan hutan (negara).
Unit HKm Sambelia dan Unit HKm Santong
Merujuk pada data PIAPS 2015, area dari Unit HKm Sambelia (Lombok Timur) dan Unit HKm Santong (Lombok Utara) yang luasnya mencapai 641 Ha berada di kawasan hutan fungsi produksi (Hutan Produksi).
Pelaksanaan Program HKm di Unit HKm Sambelia dan Unit HKm Santong dimulai sejak 2011 yaitu sejak masyarakat Desa Dara Kunci dan Desa Sugian (pemegang ijin HKm Sambelia) dan Desa Santong (pemegang ijin HKm Santong) melalui Koperasi Wana Lestari Sambelia dan Koperasi Maju Bersama Santong mengantongi Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUP-HKM) dari Bupati setempat.
Dalam Rencana Kerja Operasional (RO) Unit HKm Sambelia dan Unit HKm Santong, pemegang ijin dua unit HKm ini akan melaksanakan “Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dan Pemanfaatan Hasil Hutan Bukan Kayu”. Dalam aturan lama pemanfaatan hasil hutan kayu, pemegang ijin HKm harus mengajukan “Ijin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu dari Hutan Kemasyarakatan” atau “IUPHHK-HKm”. Menurut Permen LHK No.83/2016 pemanfaatan hasil hutan kayu tidak perlu mendapatkan IUPHHK-HKm, cukup dicantumkan dalam Rencana Kerja Operasional (RO) dan Rencana Pengelolaan Hutan dari Unit HKm (Lampiran dalam dokumen IUPHKm).
Jasa Lingkungan Hutan Unit HKm Sambelia dan Unit HKm Santong
Mengacu pada PP No.6/2007 tentang Tata Hutan dan Rencana Pengelolaan Hutan, pemanfaatan jasa lingkungan (termasuk jasa karbon hutan) bisa dilaksanakan di semua jenis ijin usaha pengelolaan hutan termasuk HKm (Peraturan Menteri Kehutanan No.36/2009 tentang Tatacara Perijinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung).
Sejak Pemerintah mencanangkan perluasan Perhutanan Sosial seluas 12,7 juta ha hingga 2019 (dalam RPJMN), jasa penyerapan dan penyimpanan karbon pada hutan produzis dan lindung diperioritas pada Program Perhutanan Sosial, terutama untuk pemenuhan target pengurangan 26% emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan hingga 2020-2030 (Nationally Determined Contribution/NDC 2020-2030) yang dibawa Pemerintah Indonesia dalam Paris Agreement di COP 21 di Paris, 2015).
Pengukuran dan penghitungan karbon pada Unit HKm Sambelia dan Unit HKm Santong dengan metode Plan Vivo adalah sebagai upaya mensinergikan dengan agenda NDC Indonesia selain untuk tujuan dari Program PSDABM-MCA Indonesia.
Pengukuran dan penghitungan Karbon hutan skema sertifikasi Plan Vivo memiliki beberapa metode yaitu: 1) Reforestasi (Restorasi dan Rehabilitasi); 2) Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD+); 3) Plan Deforestation; 4) Sustainable Forest Management.
Nomenklatur Tataruang dan Kehutanan
Dalam Tataruang ada istilah kawasan budidaya dan kawasan non-budidaya. Dan biasanya dalam Kehutanan dua istilah ini disebut berbeda yaitu kawasan budidaya disebut kawasan APL (area pemanfaatan lain), kawasan non-budidaya disebut kawasan hutan. Istilah yang berbeda ini secara umum membuat salah pemahaman di tingkat praktiknya.
Protected Area (kawasan perlindungan) adalah istilah tataruang dimana secara aturan dalam setiap wilayah Kabupaten atau Propinsi harus memiliki 30% kawasan perlindungan. Protected Area sering disamakan dengan Forest Protection Area atau kawasan hutan (fungsi) lindung.
Dalam harmonisasi Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten (RTRWK) dan Propinsi (RTRWP) dengan Kehutanan, “Protected Area/Kawasan Perlindungan” berupa kawasan hutan. Dalam RTRW Kabupaten Lombok Timur, area hutan dari Unit HKm Sambelia masuk sebagai 30% Protected Area/Kawasan Perlindungan dari Kabupaten Lombok Timur. Sehingga usulan IUPHHK-HKm Sambelia hingga kini belum disetujui oleh Pemerintah. Sementara untuk area hutan dari Unit HKm Santong tidak masuk sebagai kawasan perlindungan dalam RTRWK Lombok Utara.
Sumber: http://kpshk.org/fokus/perhutanan-sosial/read/2017/02/14/6879/dinamika-p...