Dilematika Perhutanan Sosial di NTB

You are here

Home / Dilematika Perhutanan Sosial di NTB

Dilematika Perhutanan Sosial di NTB

Perluasan pemanfaatan kawasan hutan menjadi salah satu langkah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat  serta  mengurangi kesenjangan kepemilikan aset dimasyarakat. Secara nasional pemanfaatan kawasan hutan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 83 Tahun 2016. Peraturan tersebut diterbitkan untuk mendukung percepatan  perluasan Perhutanan Sosial (PS)  seluas 12,7 Juta Ha. Dalam pretauran tersebut dijelaskan bahwa Perhutanan Sosial (PS) merupakan sistem pengelolaan hutan lestari yang dilaksanakan dalam kawasan hutan negara atau hutan adat/hutan hak yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat atau masyarakat hukum adat sebagai pelaku utama untuk meningkatkan kesejahteraannya, keseimbangan lingkungan dan dinamika sosial budaya dalam bentuk Hutan Desa, Hutan kemasyarakatan, Hutan tanaman Rakyat, Hutan Rakyat dan Kemitraan Kehutanan.
Masih dalam kerangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemerintah NTB melalui RPJMD menargetkan penurunan kemiskinan sebesar 2%. Maka berbagai sumber daya pendukung harus dioptimalkan. Demikian juga dengan masyarakat yang berada disekitar/pinggir hutan maka, pemanfatan kawasan hutan dengan berbagai skema yang ada dalam perhutanan sosial harus dikembangkan. Terlebih lagi di NTB terdapat sekitar 461 desa yang berbatasan langsung dengan kawasan hutan dari total  1.135     desa/kelurahan se-NTB. Jika mengacu pada Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) Provinsi Nusa Tenggara Barat yang dibuat oleh Direktorat Penyiapan Kawasan Perhutanan Sosial tahun 2015, sebaran indikatif areal Perhutanan Sosial di Provinsi Nusa Tenggara Barat seluas 477.721 Ha. Namun hingga saat ini yang sudah dikelola oleh masyarakat tidak lebih dari 50.000 Ha.
Berbagai upaya perlu dilakukan untuk dapat  mempercepat perluasan perhutanan sosial tersebut. Akan tetapi pengembangan kawasan tersebut juga harus mampu menjawab berbagai isu aktual dalam pengelolaan lingkungan hidup dan kehutanan di propinsi Nusa Tenggara Barat. Beberapa point yang termasuk dalam isu aktual tersebut antara lain adalah pertama, masih sering terjadi konflik antar masyarakat sekitar hutan serta tingginya angka alih fungsi lahan. Kedua, berkurangnya debit air pada sejumlah mata air, bahkan ada beberapa sumber mata air yang mati sehingga NTB terkategori krisis air bersih. Ketiga, bertambahnya jumlah penduduk menuntut tingginya angka pemenuhan pangan dan energi. Keempat, ancaman bencana alam. Kelima, menurunnya tutupan lahan. Keenam, konektifitas antara wilayah. Ketujuh, saat ini Rinjani menuju geopark dunia dan tambora menuju geopark nasional.
Untuk mendukung percepatan perluasan perhutanan sosial seiring dengan kerangka pembangunan daerah Provinsi NTB, maka Konsorsium Pendukung Sistem Hutan Kerakyatan (KpSHK) bersama mitra lokal KONSEPSI telah melaksanakan workshop bertajuk “Potensi Usulan Baru tahun 2017 melalui wilayah Sistem Hutan Kerakyatan Provinsi Nusa Tenggara Barat”, yang dilaksanakan pada tanggal 21-22 Maret 2017 bertempat di Hotel Idoop Mataram. Melalui kegiatan ini diharapkan akan teridentifikasi wilayah – wilayah potensial Peta Indikatif Areal Perhutanan Sosial (PIAPS) yang didampingi oleh LSM - LSM di Provinsi Nusa Tenggara Barat dan akan didorong untuk menjadi usulan baru Perhutanan Sosial. Selain itu, workshop diharapkan menjadi media konsolidasi data dan pembaharuan informasi percepatan Perhutanan Sosial di wilayah kerja konsorsium KpSHK dan LSM – LSM pendukung Perhutanan Sosial di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Dua hal yang menjadi agenda besar dalam pertemuan tersebut adalah pertama untuk mendapatkan informasi lokasi serta usulan baru perhutanan sosial. Dan yang kedua adalah adanya langkah-langkah strategis yang mendukung percepatan perluasan perhutanan sosial.


KpSHK bersama KONSEPSI melalui program peningkatan akses kelola dan fungsi layanan ekosistem hutan bagi masyarakat desa hutan secara lestari di Lombok Timur, Lombok Utara dan Kolaka, mendukung langkah pemerintah dalam pengusulan wilayah kelola masyarakat untuk perluasan Perhutanan Sosial melalui dukungan pendanaan oleh Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia telah mengusulkan perluasan wilayah baru perhutanan sosial sekitar 317 Ha yang terletak di Kabupaten Lombok Timur dan Lombok Utara. Diharapkan akan terkumpul beberapa potensi lokasi perluasan baru yang diusulkan oleh LSM yang juga bergerak dalam perhutanan sosial di NTB untuk bersama-sama diajukan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Hingga saat ini pengelolaan perhutanan sosial di NTB masih dihadapkan pada berbagai permasalahan diantaranya adalah pertama  respon pemerintah daerah sangat lamban dalam proses pengurusan legalitas perhutanan sosial seperti perijinan dan MoU antara Gubernur dan Bupati khususnya untuk perhutanan sosial dalam skema kemitraan. Lambannya respon pemerintah ini tidak terlepas dari munculnya berbagai persepsi atas dinamika pengelolaan perhutanan sosial. Lambannya respon pemerintah daerah tersebut berdampak pada kecilnya angka perijinan perhutanan sosial yang tidak sesuai dengan target.  Kedua, belum ada skema perhutanan sosial yang dapat dijadikan sebagai contoh untuk dapat dikembangkan. pola Kemitraan sebagai salah satu skema Perhutanan Sosial yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan pengelolaan kehutanan juga menjadi terhambat terkait dengan Perijinan. Selian itu, penting bagi pemerintah daerah untuk memiliki database Pengelolaan Perhutanan Sosial yang baik dan yang gagal  sebagai rujukan untuk pemberian ijin. Namun hingga saat ini belum database tersebut belum dimiliki.
 Ketiga, Terbatasnya jumlah LSM pendamping. Disadari bahwa hingga saat ini pengusul untuk perluasan perhutanan sosial diawali dari LSM. Namun pendampingan seharusnya tidak hanya menjadi tanggung jawab dari LSM. Tetapi peran  pemerintah melalui Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan tetap dibutuhkan. Meski pendampingan dari pemerintah hingga saat ini masih terbentur pada masalah anggaran. Terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No 83 Tahun 2016 Tentang Perhutanan Sosial memberikan angin segar bagi pengelolaan perhutanan sosial. Namun perijinan yang diselesaikan di kementerian juga dipandang sebagai salah satu penyebab lambannya pengurusan ijin. Sehingga saat ini pemerintah NTB tengah melakukan lobi untuk mempercepat pendelegasian dari pusat ke daerah untuk perijinan. Akan tetapi pendelegasian dari pusat ke daerah mensyaratkan perhutanan sosial sehingga akan tertuang pula dalam dokumen penganggaran. Dalam pemberian delegasi tersebut ada syarat dan ketentuan seperti adanya Pergub tentang perhutanan sosial atau hal tersebut secara spesifik menjadi salah satu bagian dari rencana pembangunan daerah (RPJMD). Sehingga akan tertuang pula dalam dokumen penganggaran. Sayangnya, pengembangan sumber daya alam berbasis masyarakat tersebut berada pada urutan ke tujuh dalam prioritas pembangunan di NTB.
Ketiga kondisi diatas merupakan permasalahan dalam perluasan perhutanan sosial di NTB. Sedangkan dari sisi  kelembagaan permasalahan yang dihadapi adalah pertama, terbatasnya pendanaan untuk pendampingan kelompok, kembali bahwa tidak tetuang secara spesifik tenatng perhutanan sosial dalam pembangunan di NTB menjadikan penganggaran untuk bidang tersebut juga terbatas. Kedua, berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh dinas terkait bahwa ditemukan kasus pemindahan tangan ijin kelola HKm di level masyakat pada beberapa lokasi serta adanya indikasi jual beli lahan yang telah memiliki ijin HKm. Konfirmasi kondisi tersebut pun segera dilakukan, pada forum yang sama dijelaskan oleh perwakilan Kelompok Tani Hutan yang berkesempatan hadir bahwa pemindahan tangan ijin HKm atau jual beli lahan sebenarnya tidak ada atau tidak pernah terjadi. Yang ada adalah adanya penggantian nama anggota yang semula menggunakan nama panggilan (masyarakat sasak setelah menikah biasanya dipanggil dengan nama anak pertama. Eks. Amaq Raimah. Karena nama anak pertamanya adalah Raimah.) beralih menggunakan nama asli pemegang KTP. Perubahan tersebut terkait dengan kebijakan e-KTP yang mengharuskan menggunakan nama asli sehingga ada perbedaan data di KTP dengan Ijin HKm. Selain itu, terdapat beberapa anggota yang telah meninggal yang ijin HKm-nya diwariskan kepada anak-anaknya.


Ketiga, Proporsi tanaman yang ada dilahan tersebut tidak sesuai. Jika mengacu pada aturan porsi tanaman maka tanaman keras sebanyak 60% dan 40 % lainnya adalah tanaman pangan. Akan tetapi pada praktiknya yang terjadi malah sebaliknya. Porsi tanaman pangan lebih banyak dibandingkan dengan tanaman keras. Kembali bahwa pendampingan untuk lahan yang telah memiliki ijin harus dilakukan. Keempat, perhutanan sosial selalu menjadi “kambing Hitam” atas kerusakan dan bencana yang terjadi. Terlebih di NTB dalam beberapa bulan terakhir mengalami banjir bandang di bebrapa lokasi. Kejadian ini tidak terlepas dari tata kelola hutan serta masih maraknya perambahan di kawasan Hutan Lindung. Sehingga seringkali muncul statement bahwa HKm hanyalah legalitas untuk perusakan hutan. Tentu, pernyataan tersebut sangat disayangkan, karena kembali bahwa perambahan hutan dilakukan di Kawasan Hutan Lindung bukan di lokasi HKm, selain itu perlu juga di telisik latar belakang perhutanan sosial. Dimana, lokasi yang diperuntukkan untuk perhutanan sosial sebagian besar adalah lahan kritis yang diperlu segera dikonservasi. Sedangkan untuk melakukan konservasi lahan hutan, dibutuhkan waktu yang cukup lama, lima hingga sepuluh tahun hasilnya akan terlihat.
Berangkat dari berbagai dilema yang dihadapi dalam percepatan perluasan perhutanan sosial maka diperlukan langkah-langkah strategis. Baik dalam percepatan perluasan perhutanan sosial maupun dalam optimalisasi perhutanan sosial yang sudah ada. Beberapa langakah strategis yang dirumuskan dalam workshop tersebut untuk percepatan perhutanan sosial adalah pertama, perlu adanya pembagian peran antara pemerintah daerah dengan lembaga swadaya masyarakat dalam pengelolaan perhutanan sosial. Pembagian peran ini tentu sangat penting bukan lagi hanya berbicara “siapa melakukan apa” tetapi bagaimana agar masyarakat dapat mengelola sumberdaya secara berkelanjutan. Dari sisi pemerintahan, saat ini, pengelolaan hutan tidak hanya tugas dan tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan saja melainkan juga Dinas Pemberdayaan Masyakat Desa. Sangat memungkinkan untuk dilakukan kolaborasi program pendampingan pengelolaan sumber daya alam terutama pada desa-desa yang berada disekitar kawasan hutan. Kedua, pembentukan kelompk kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan Sosial menjadi hal yang urgen saat ini. Ketiga, perlusan Perhutanan sosial juga harus disertai dengan “perluasan” LSM. Artinya bahwa perlu kerjasama antara semua LSM di NTb baik yang bekerja di bidang perhutanan sosial maupun tidak untuk dapat memberikan fasilitasi pengelolaan hutan yang lebih baik. Keempat, mendorong percepatan pendelegasian dari pemerintah pusat kepada Gubernur agar proses perijinan lebih cepat.
Sedangkan untuk Perhutanan Sosial yang telah memegang ijin, beberapa langkah strategi yang perlu dilakukan adalah pertama, peningkatan intensitas monitoring dan evaluasi yang dilakukan oleh Pemerintah melalui dinas Terkait. Untuk melakukan hal ini tentu pemerintah harus dibekai dengan berbagai dokumen serta database sehingga tidak terjadi salah tafsir atas pengelolaan Perhutanan Sosial, terlebih lagi menjadikan perhutanan sosial denga berbagai skema yang dikembangkan menjadi kambing hitam atas segaala bencana dan kerusakan yang terjadi. Kedua, perlunya penegakan hukum bagi kelompok yang melanggar melalui berbagai mekanisme dan aturan yang telah ditetapkan melalui awig-awig kelompok. Ketiga, pentingnya peningkatan intensitas fasilitasi yang dilakukan oleh dinas kehutanan/KPH. Karena yang terjadi selama ini adalah kelompok yang telah memiliki ijn pengelolaan hutan seringkali kehilangan solidaritas. Pada saat inilah kelompok dipandang sedang mengalami  masa kritis sehingga pendampingan yang intensif perlu dilakukan untuk menjaga semangat dan solidaritas kelompok.

Langkah-langkah strategis tersebut dipandang tidak cukup, sehingga diperlukan rencana tindak lanjut untuk mendukung percepatan Perluasan Perhutanan Sosial. Beberapa RTL yang dihasilkan dalam workshop tersebut adalah pertama melakukan percepatan pengusulan ijin bagi kelompok yang telah memiliki dokumen lengkap. Berapa kelompk yang diusulkan tersebut sebenarnya telah memiliki PAK. Namun siring dengan terbitnya Permen LHK no 83 tahun 2016 mengharuskan untuk dilakukan verifikasi kembali. Pengusulan tersebut diharapkan akan terlaksana pada bulan april. Kedua, mendorong terbentuknya Kelompok Kerja (Pokja) Percepatan Perhutanan Sosial. Selain beberapa RTL tersebut, berbagai hasil dari Workshop ini akan menjadi rekomendasi kepada Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB dalam pengelolaan Perhutanan Sosial yang lebih ke depan.

Contact
Share This: