Bersinergi Mengentaskan Kemiskinan

You are here

Home / Bersinergi Mengentaskan Kemiskinan

Bersinergi Mengentaskan Kemiskinan

Kemiskinan menjadi pokok pembahasan yang semakin hangat dibicarakan, tidak terkecuali di Nusa Tenggara Barat (NTB). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) NTB yang dirilis tahun 2016, jumlah penduduk miskin sebanyak 804.442 jiwa. Angka ini tersebar di beberapa kantong kemiskinan, salah satunya di pinggiran hutan. Munculnya kata miskin ini seringkali dikaitkan dengan meningkatnya angka pengangguran, keterbelakangan, dan ketidakberdayaan masyarakat.
Berbicara mengenai wilayah pinggir hutan, tentu yang terbersit di ingatan pertama kali adalah kondisi masyarakatnya. Dari hasil kajian Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi NTB, masyarakat yang berada di kawasan atau pinggiran hutan seringkali miskin secara struktural. Miskin secara struktural yang dimaksudkan adalah adanya keterbatasan dalam mengakses sumberdaya alam. Tak hanya itu, kondisi masyarakat yang tingkat pengetahuannya relatif rendah terutama dalam hal pengelolaan hutan juga menjadi pemicu kemiskinan. Ditambah lagi kurangnya prasarana, sulitnya komunikasi, fasilitas pendidikan, kesehatan, permodalan dan lain sebagainya. Akibatnya, sulit bagi masyarakat miskin di kawasan hutan untuk keluar dari rantai kemiskinan tersebut. Bagaimana bisa mengajak mereka menjaga hutan sedangkan tingkat kesejahteraan belum sepenuhnya terjawab?
Pemerintah, termasuk Dinas Kehutanan yang di dalamnya mengambil peran dalam upaya pengentasan kemiskinan saat ini mulai mengubah pola pengelolaan yang tidak hanya berkecimpung di lingkup konservasi. Beberapa hal yang dilakukan di antaranya meningkatkan pendapatan masyarakat melalui pengelolaan hutan dengan kebijakan pengintegrasian upaya rehabilitasi hutan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat sekitar hutan melalui konsep Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (PHBM). Pemerintah mengeluarkan izin pengelolaan melalui skema  Hutan Kemasyarakatan (HKm), Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan beberapa kebijakan terkait pengelolaan hutan. Semuanya ini memiliki kontribusi dalam peningkatan taraf hidup masyarakat pinggir hutan.
Perlunya arah kebijakan menjadi bagian dari upaya pengentasan kemiskinan. Kebijakan yang dibangun harus sejalan dengan pemerintah daerah. Melalui kebijakan ini, sudah saatnya pemerintah daerah merubah konsep pengelolaan hutan yang tidak hanya sebatas meningkatkan nilai konservasi namun juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Arah kebijakan yang saat ini sudah mulai diterapkan adalah pengelolaan hutan yang berpijak pada negara. Kebijakan-kebijakan tersebut pada prinsipnya berupa pemberian akses yang lebih luas kepada masyarakat sekitar hutan untuk meningkatkan partisipasinya dalam upaya rehabilitasi, konservasi, dan peningkatan nilai perekonomian.
Pengelolaan hutan saat ini lebih mengacu pada masyarakat dengan kata lain pengelolaan yang berbasis masayarakat. Setelah masyarakat diberikan keleluasaan dalam pengelolaan hutan, pemerintah saat ini mulai menggalakkan bahwa hasil hutan tidak berorientasi pada kayu saja tetapi juga pada bukan kayu atau pengelolaan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan Jasa lingkungan.
Dari paparan tersebut, disimpulkan bahwa upaya-upaya penguatan masyarakat melalui cara pandang dan pola pikir kritis terhadap lingkungan sangat diperlukan. Ekspektasi ini akan jauh dari kemungkinan jika hanya melibatkan peran pemerintah. Oleh karena itu, keterlibatan komponen masyarakat lainnya juga dibutuhkan, salah satunya adalah keterlibatan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) terutama dalam hal penguatan masyarakat sipil dengan pendekatan Pemberdayaan Masyarakat.
Adanya proyek yang didanai oleh Millennium Challenge Account (MCA) Indonesia yang mendanai banyak proyek melalui berbagai LSM menjadi salah satu titik terang dalam permasalahan ini. Kemakmuran Hijau yang menjadi salah satu proyek yang dijalankan MCA-Indonesia di NTB adalah bentuk dukungan terhadap komitmen Pemerintah Indonesia dalam rangka mengurangi intensitas emisi karbon dan meraih masa depan yang lebih lestari.
Merasa ini penting untuk dibahas, Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mengundang para pihak khususnya grantee MCA-Indonesia. Diskusi yang diadakan pada sore hari yang bertepatan dengan tanggal 28 Agustus 2017 ini bertempat di ruang rapat kantor Dinas LHK Propinsi Nusa Tenggara Barat. Grantee yang hadir dalam acara ini di antaranya adalah perwakilan dari proyek Jendela II (Gaia-dB, Samanta, KPSHK-Konsepsi, WWF, Perkumpulan Panca Karsa (PPK)-KSU Annisa, dan ADBMI). Sedangkan dari proyek Green Knowledge (GK) diwakili oleh Yayasan Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) yang sekaligus meliput keberlangsungan acara tersebut. Berkumpulnya para grantee yang bersinggungan langsung dengan kawasan hutan dan lingkungan hidup ini membahas percepatan pertumbuhan ekonomi keuangan daerah dan bagaimana mensinergiskan komponen yang ada serta bersama-sama merajut hal-hal yang menjadi prioritas. Kegiatan rapat koordinasi antara LHK dan Grantee MCA-Indonesia membahas progres dari para grantee terutama yang bersinggungan langsung dengan wilayah hutan di Pulau Lombok di mana para grantee tersebut bekerja.
Sebagai pembuka acara diskusi, hadir kepala Dinas LHK, Bapak Ir. Madani Mukarom untuk memberikan sambutan. Dalam sambutannya, beliau mengatakan bahwa kegiatan yang dijalankan oleh para grantee MCA-Indonesia berkaitan erat dengan kegiatan yang dilakukan oleh Dinas LHK. Beliau menyoroti apa yang sedang dibuat dan diterapkan oleh Gaia-dB mengenai aplikasi yang berfungsi untuk memonitoring kondisi tanaman yang ada di hutan yang diberi nama SMART Patrol. Melalui aplikasi semacam ini, kepala Dinas berharap akan terbentuknya database terkait kondisi hutan dan proses pemantauannya mulai dari tingkat bawah (Masyarakat pengelola), KPH, hingga ke Dinas LHK. Gagasan semacam ini akan mempermudah dan menambah akurasi data.
Dalam rangka membahas progres project MCA-Indonesia di Propinsi NTB, dokumen yang sudah dihasilkan dan terbangun bisa disinergiskan dengan kegiatan LHK dan diimplementasikan di lapangan sehingga dokumen tersebut tidak sia-sia.


Salah satu tujuan kenapa para grantee di kumpulkan, Menurut pak Syamsuddin selaku Sekretaris LHK, ada beberapa indikator RPJMD yang hingga saaat ini belum tuntas yaitu permasalahan lingkungan dan kemiskinan. Ditambah lagi dengan lokasi masyarakat miskin 40% berada di wilayah pinggir hutan atau kawasan hutan.
Mengingat program yang didanai oleh MCA-Indonesia akan berakhir tahun depan, LHK akan menjalankan beberapa langkah antara lain membuat strategi dan gambaran secara utuh untuk merancang RPJMD 2018 sehingga bisa terkoneksi, memberikan rancangan persiapan RPJMD 2018-2023, dan menuntaskan RPJMD yang belum tuntas terutama dalam hal kemiskinan.
Yang menjadi perhatian dan tugas bersama yang tertuang dalam RPJMD Propinsi NTB adalah tentang bagaimana menurunkan angka kemiskinan yang masih berada di atas angka kemiskinan nasional 16,2%. NTB sendiri berikhtiar untuk melakukan perubahan angka menjadi 13 %. Penurunan angka kemiskinan hingga saat ini jauh dari target yang diinginkan oleh pemerintah yaitu masih berkutik pada angka 0,41 %. Menurut BPS yang dikutip dari Suara NTB (2017), penurunan jumlah penduduk miskin berkurang hanya 10,67 ribu orang.
Mengatasi permasalahan ini merupakan tugas bersama, terutama para pihak yang member perhatian dalam lingkup kehutanan. Kontribusi grantee bagi LHK sangat diharapkan. Melalui penyusunan data bisa menjadi salah satu pendukung yang efektif dalam mewujudkan tujuan penurunan tingkat kemiskinan tersebut. Data yang dimaksudkan adalah mengenai kontribusi baik kemasyarakat maupun ke lingkungan (Hutan)
Para grantee diminta memenuhi data terkait seberapa besar cakupan keterlibatan  masyarakat kawasan hutan yang menjadi penerima manfaat dalam proyek dan LHK meminta luasan yang menjadi wilayah kerja sekaligus tempat program rehabilitasi lahan yang dilakukan sehingga mempermudah LHK ketika para grantee sudah tidak lagi bekerja di tempat tersebut.

 

Contact
Share This: