Asmalora dan Asa Mereguk Manisnya Madu
“Sebenarnya banyak orang yang lebih suka madu Apis cerana daripada Trigona. Kalau Trigona kan agak kecut, Apis cerana lebih manis,” kata Saripudin, ketua kelompok tani dan koperasi Asmalora. “Tapi sebenarnya lebah madu Trigona itu lebih berkhasiat dibanding Apis cerana. Lagipula, lebah Apis cerana susah diternakkan, mereka lebih liar,” lanjutnya lagi.
Siang itu (14 Februari 2017), belasan orang berkumpul di sebuah balai-balai beratap di sebuah lahan pemukiman di Dusun Belencong, Desa Mumbulsari, Kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara, Nusa Tenggara Barat. Mereka adalah wakil dari 12 kelompok tani dari dua kecamatan yakni Bayan dan Kayangan di Lombok Utara.
Sejak tahun 2015 mereka sepakat untuk bersatu di bawah panji Asmalora, singkatan dari Asosiasi Madu Lombok Utara. Asmalora membawahi 59 kelompok tadi dari lima kecamatan yaitu: Bayan, Pemenang, Kayangan, Gangga dan Tanjung di Kabupaten Lombok Utara. Awalnya Asmalora adalah sebuah Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang beranggotakan 30 peternak lebah madu di tahun 2012. Di tahun 2015 mereka sepakat untuk membentuk Asmalora, kelompok tani yang kemudian bertransformasi menjadi koperasi.
Asmalora terbentuk karena keinginan para peternak lebah madu itu untuk meningkatkan produksi mereka, sekaligus meningkatkan kapasitas di bidang distribusi dan manajemen pemasaran hasil madu. Saripudin terpilih sebagai ketuanya dan masih menjabat sampai sekarang.
Beberapa warga desa di lima kecamatan tersebut memang sudah lama beternak lebah madu. Namun, mereka dulunya tidak berpikir untuk serius. Sekadar beternak madu seadanya, hasilnya pun hanya untuk dikonsumsi sendiri atau paling tidak untuk memenuhi permintaan ketika ada acara khusus. Beternak madu menjadi salah satu kegiatan sampingan selain bertani dan berkebun. “Kontribusi pendapatan dari usaha madu saat ini baru sekitar 5% dari total pendapatan keluarga di Mumbul Sari,” jelas Syafrudin Syafii dari WWF Indonesia.
Lama kelamaan mereka baru mulai terpikir untuk lebih serius beternak madu. Berawal dari sanalah kelompok usaha bersama terbentuk dan kemudian Asmalora didirikan.
Niat untuk semakin mengembangkan usaha beternak madu lalu bertemu muaranya ketika bertemu dengan WWF Indonesia. Kebetulan juga WWF Indonesia memang sedang menjalankan program peningkatan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Program peningkatan HHBK ini selain meningkatkan ekonomi warga di sekitar hutan lindung, juga agar hutan bisa ikut terjaga.
“Kadang ketika hasil kebun atau sawah tidak mencukupi, warga masuk ke hutan, menjual kayunya. Ini kan bisa merusak hutan,” kata Syafrudin Syafii dari WWF Indonesia, Lombok.
Kegiatan itulah yang coba dialihkan oleh WWF Indonesia dengan cara mengembangkan HHBK. Harapannya, warga tidak tergoda untuk masuk ke hutan lagi karena kebutuhan ekonomi mereka sudah terpenuhi. Selain itu, warga juga didorong agar punya rasa memiliki terhadap hutan dan ikut menjaganya.
Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dari beberapa desa di kaki Gunung Rinjani itu beragam. Khusus Desa Mumbulsari, mereka fokus mengembangkan ternak lebah madu, sedang di Desa Selengen dan Salut, fokus mengembangkan pengolahan kemiri. Desa Santong memilih mengembangkan buah-buahan seperti alpukat dan durian. Semua disesuaikan dengan potensi desa masing-masing.
Peningkatan Kapasitas dan Kualitas Produksi
Pendampingan yang dilakukan WWF Indonesia kepada koperasi Asmalora berupa peningkatan kapasitas dan pengetahuan anggotanya. Mereka didorong untuk meningkatkan kualitas produksi madu, mulai dari proses panen hingga pengemasan dan penentuan harga serta pemasaran.
“Dulu mereka mengemas madu dengan botol bekas sirup. Biar dibersihkan bagaimana juga, sisa rasa sirupnya masih ada dan mempengaruhi rasa madunya,” kata Syafrudin Syafii. Dia kemudian melanjutkan, “Soal harga juga, kadang mereka menetapkan harga terlalu mahal. Belum ada penghitungan yang standar untuk tahu bagaimana mendapatkan harga yang pas.”
Dua hal itu menjadi salah satu perhatian utama dari WWF Indonesia dalam pendampingan mereka. Peternak dibekali kemampuan mengembangkan hasil panen madu dengan cara yang lebih higienis dan sesuai standar. Pun dengan harga, mereka dibekali kemampuan menetapkan harga jual yang tepat, tidak kemahalan tapi juga tidak terlalu murah.
Di sisi lain, para anggota koperasi juga didorong agar punya kemampuan manajemen, utamanya dalam mengelola koperasi mereka sendiri. Pertemuan hari itu bertujuan untuk merumuskan beberapa masalah dalam koperasi mereka sekaligus menemukan solusinya. Mereka pun merumuskan sendiri rencana-rencana kerja mereka, apa saja yang akan dikerjakan dalam waktu dekat. Pertemuan seperti itu rutin dilakukan setiap bulan.
“Sampai sekarang anggotanya yang resmi itu sekitar 25 orang. Mereka adalah anggota yang membayar iuran dan punya simpanan di koperasi,” kata Saripudin.
WWF Indonesia yang juga adalah penerima hibah dari Millenium Challenge Account Indonesia (MCA-Indonesia) memberikan aset berupa 2.000 stup (kotak pengembangbiakan lebah madu) dan koloninya. Kotak-kotak kayu itu ditumpuk di lahan milik ketua kelompok di antara rumah penduduk. Semua stup dan koloni itu adalah aset koperasi, tidak boleh dipindahtangankan kepada anggota secara pribadi.
“Kalau nanti ada koloni baru dari yang ada sekarang, ya boleh saja dibagikan ke anggota,” kata Syafruddin Syafii. Satu stup katanya bisa menghasilkan satu koloni baru lagi, dan kalau itu terjadi maka hasilnya sekitar 4.000 koloni baru bisa dibagikan ke anggota koperasi.
“Mungkin nanti hasilnya masih kurang maksimal, karena seharusnya stup ini tidak ditaruh di satu tempat seperti sekarang. Apalagi pakan di sini kurang,” kata Saripudin sambil melepaskan pandangan pada 2.000 stup bantuan dari WWF Indonesia dan MCA-Indonesia itu. “Tapi tidak apa-apa, nanti kalau habis panen baru kita coba pisah-pisahkan biar hasilnya lebih maksimal,” sambungnya.
Dukungan lain juga datang dari Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat lewat Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Rinjani Barat. Eko Putra, salah seorang anggota KPH Rinjani Barat yang juga hadir dalam pertemuan itu menceritakan dukungan mereka.
“Kita juga memberi bantuan dari sisi pengemasan produk, selain itu kita juga memberi bantuan tanaman kaliandra yang bisa jadi pakan lebah madu,” katanya.
Eko Putra tentu saja menyambut baik kegiatan koperasi Asmalora dan para peternak lebah madu di kaki Gunung Rinjani itu. Sedikit banyaknya kegiatan itu membantu tugasnya sebagai penjaga hutan Gunung Rinjani, apalagi menurut Eko Putra, jumlah petugas sangat sedikit dibanding jumlah luasan hutan di kaki Gunung Rinjani.
Saat ini hasil madu dari Asmalora memang baru dipasarkan secara terbatas melalui koperasi Bank Indonesia Nusa Tenggara Barat dan beberapa outlet penjualan oleh-oleh di Kota Mataram serta koperasi di Dinas Kehutanan atau KPH. Standarisasi memang masih terus berjalan, begitu juga dengan peningkatan kapasitas para anggota koperasi. Namun, Saripudin dan para anggota Asmalora yakin kalau mereka bisa terus berkembang.
Dengan tekad dan kemauan yang kuat, Saripudin dan anggota koperasi Asmalora bisa berharap suatu hari nanti mereguk manisnya madu hasil usaha mereka. Hutan di kaki Rinjani pun bisa tersenyum lega karena dijauhkan dari pembalakan liar.
###