14 Hari Membelah Bukit untuk Menerangi Desa

You are here

Home / 14 Hari Membelah Bukit untuk Menerangi Desa

14 Hari Membelah Bukit untuk Menerangi Desa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Priyantono Oemar

Masyarakat memberdayakan diri untuk menciptakan kemakmuran hijau bersama organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Mereka berorganisasi bahu-membahu untuk bisa berdaya secara ekonomi sekaligus menyelamatkan lingkungan. Berikut catatan wartawan Republika, Priyantono Oemar, tentang upaya komunitas bersama dengan organisasi masyarakat sipil dan pemerintah mengentaskan kemiskinan.

Setiap hari warga Kamanggih naik ke bukit. Ada 20 laki-laki dan lima perempuan menempuh jalan menanjak sejauh tujuh kilometer dalam waktu 30-60 menit setiap harinya. Mereka harus membelah bukit, dan belum terbayang membutuhkan waktu berapa hari untuk menyelesaikannya.

"Alatnya cuma pacul, linggis, dan pakuwel," ujar Umbu Hinggu, ketua Koperasi Jasa Peduli Kasih  Desa Kamanggih, Kecamatan Kahaungu Eti, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur (NTT), kepada Republika, Kamis (5/1). Pakuwel merupakan istilah lain dari gancu tanah.

Mereka harus membuat permukaan datar sepanjang 20 meter untuk memindahkan aliran sungai menuju lokasi turbin yang akan mereka pasang. Ada tanah setinggi 14 meter yang harus mereka pangkas untuk mendapatkan permukaan datar yang akan dijadikan saluran selebar 75 sentimeter, sedalam 50 sentimeter.

Mereka membelah bukit itu pada Januari 2011, bekerja dari pukul 08.00 WITA hingga pukul 16.00 WITA. Setiap keluarga mendapat giliran sekali. Mereka makan di lokasi. Ibu-ibu bertugas memasak di lokasi. Periuk besar, kuali, piring, dan sebagainya diangkut dari kampung.

"Setiap hari tak habis-habisnya kami membahas pekerjaan membelah bukit itu dan juga tentang keinginan segera menyelesaikan pekerjaan sehingga bisa menyaksikan air yang juga bisa menghasilkan listrik," tutur Umbu.

Tanah yang mereka gali, mereka gelontorkan ke sungai yang ada di bawahnya. Pekerjaan baru selesai di hari ke-14. Air mengalir lebih deras daripada aliran sungai yang ada di bawahnya. Air inilah yang menghasilkan 30 Kw listrik, melampaui kapasitas yang dihasilkan aliran sungai yang hanya menghasilkan 10 Kw. Itulah alasan mengapa mereka harus membelah bukit untuk membuat parit yang lebih pendek dan alirannya jatuh ke turbin dari ketinggian 30-an meter.

Butuh waktu panjang untuk sampai keputusan membelah bukit ini. Sempat tersendat dua tahun lantaran  terbentur birokrasi. Saat itu mereka melaporkan ke pemerintahan di atas desa tentang rencana adanya bantuan dana untuk pembuatan PLTMh. Urusan dipersulit, ujung-ujungnya ditanya, "Jika dana turun saya mendapat berapa?"

Setelah berganti pejabat, baru urusan lancar. Pertengahan Oktober 2011, listrik menyala di Desa Kamanggih. Di hari yang telah ditetapkan untuk uji coba penyalaan listrik, ada petugas yang keliling dari rumah ke rumah, mengumumkan akan ada penyalaan listrik sekitar pukul 09.00-10.00 WITA. Warga pun menunggu di rumah masing-masing, ingin menyaksikan nyala listrik dari air. Di rumah turbin, Theopilus Tamu Uma bertugas mengoperasikan PLTMh.

Pukul 10.00 WITA, listrik pun menyala di masing-masing rumah. Kegembiraan menyeruak. Curahan tenaga warga membelah bukit terbayar hari itu. Mereka menjadi yakin, air yang ada di desanya bisa menyalakan lampu. Hari itu menjadi hari spesial. Tak ada yang tidur sore seperti hari-hari sebelumnya. Theo berlari dari rumah turbin ke desa untuk melihat nyala lampu.

Terang malam di Kamanggih hari itu mendorong warga berbincang hingga larut malam, saling berkunjung. Umbu Hinggu pun baru berangkat tidur pukul 02.00 dini hari, membawa senyum bahagianya.

 

 

Ada suasana baru setelah ada listrik di Kamanggih. Perekonomian pun berubah. Umbu Rongga berani meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai sopir angkutan barang dan sejak 2014 membuka usaha mebel. Sebagai sopir ia mendapat penghasilan Rp 400 ribu per bulan, setelah membuka usaha mebel penghasilannya menjadi Rp 3 juta per bulan. Pengerjaan mebel terbantu oleh listrik.

Listrik PLTMh oleh Koperasi Jasa Peduli Kasih dijual ke PLN. Dari PLN, koperasi mendapat penghasilan Rp 50 juta per tahun dari hasil penjualan listrik itu. PLTMh itu kemdian dimanfaatkan untuk mengalirkan air ke kampung menggantikan pompa listrik PLN mulai 2005. Sebelumnya menggunakan listrik dari PLTS yang dipasang tahun 1999. PLTS disponsori oleh Yayasan Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka).

Air dikelola dengan iuran Rp 15 ribu per bulan bagi keluarga yang memanfaatkannya. Sebelum air dialirkan ke kampung, warga harus menuruni bukit sejauh dua kilometer untuk kebutuhan mandi dan cuci di Sungai Mbakuhau.

Sungai Mbakuhau inilah yang airnya dimanfaatkan untuk PLTMh. Badan sungai di bagian atas dibendung, dibuatkan sodetan untuk aliran baru dengan cara membelah bukit itu. Untuk membangun PLTMh itu, mereka mendapat hibah dari Hivos, lembaga donatur dari Belanda. Ibeka sebagai LSM pendamping bersama JICA, lembaga donatur dari Jepang.

Di Lombok Utara, listrik dari PLTMh juga dinikmati warga Kecamatan Gangga dan warga Kecamatan Bayan. Menurut Ketua Bajang Bawaq Gunung Santong (disingkat Babagus, dalam bahasa Indonesia berarti pemuda bawah Gunung Santong), di hutan Santong di wilayah KPH Gunung Rinjani Barat, ada turbin PLTMh. "Tetapi listriknya dialirkan untuk memenuhi kebutuhan warga Kecamatan Gangga," jelas Sabur Hadi, ketua Babagus Desa Santong Kecamatan Kayangan kepada Republika, Senin (9/1).

Menurut catatan MCA Indonesia, PLTMh di Bayan ada dua, berkapasitas 30 Kilowatt dan 50 Kilowatt. MCA Indonesia menyalurkan hibah untuk meningkatkan kapasitasnya menjadi 65 Kilowatt dan 110 Kilowatt.  Akan dibangun pula PLTMh di Bayan dengan kapasitas 2x250 Kilowatt. Di Santong akan dibangun lagi PLTMh dengan kapasitas 1x130 Megawatt dan 2x300 Kilowatt.

MCA Indonesia mencatat 90 persen arga Bayan dan Santong kurang dari Rp 7.000 per hari. Sebanyak 50 persen rumah tangga merpakan penerima bantuan langsung tunai dari pemerintah.

Pembangkit listrik yang dikelola masyarakat, menurut Deputi Bidang Pendanaan Pembangunan Bappenas Kennedy Simanjuntak, sebagai sumber energi terbarukan yang paling diunggulkan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi. "Banyak yang belum mendapat listrik karena jaringan distribusi yang sulit, karenanya desa-desa didorong memproduksi listrik sendiri," ujar Kennedy yang juga menjadi sekretaris Wali Amanah MCA Indonesia itu saat membuka Pameran Pengetahuan Kemakmuran Hijau di Jakarta, 13 Desember 2016.

Rasio elektrifikasi saat ini masih 90-92 persen. Hingga 2019,kata Kennedy, pemerintah menargetkan rasio menjadi 98 persen. Ia berharap listrik komunitas akan membantu mengatasi kekurangan listrik. Selain menyalurkan hibah energi terbarukan berbasis komunitas, MCA Indonesia uga menyalurkan hibah pembiayaan bersama energi terbarukan jaringan PLN di 13 provinsi senilai 278 dolar AS.

Untuk hibah energi terbarukan untuk komunitas, MCA Indonesia menyalurkan hibah di delapan provinsi senilai 60 juta dolar AS. Selain di Lombok Utara NTB, hibah juga disalurkan antara lain untuk pembangunan Pembangkit Listrik Hibirida di Berau Kalimantan Timur, PLTS di Sumba Timur NTT, PLTS di Pulau Tomia di Sulawesi Tenggara, PLTS di Pulau Karampuang di Sulawesi Barat, Pembangkit Listrik Gasifikasi Biomassa di Siberut Sumatra Barat, dan PLTMh di Rantau Suli Jambi.

"Kalau menggunakan pembangkit listrik berbasis komunitas mungkin bisa mencapai seratus persen rasionya," ujar Kennedy.

 

 

Sumber : http://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/02/06/okyh7c282-14-...

Contact
Share This: