”Quo Vadis” Energi Bersih Indonesia
KOMPAS, Bali kembali menyedot perhatian dunia dengan berlangsungnya perhelatan besar, Bali Clean Energy Forum 2016, di tengah merosotnya harga minyak dunia dan meningkatnya desakan penggunaan energi bersih atau energi terbarukan.
Kita bisa bertanya, seberapa penting kegiatan di Bali ini untuk pengembangan energi terbarukan di Tanah Air?
Pertama, negeri ini diberkahi dengan 29 gigawatt potensi panas bumi yang tersebar di 265 lokasi. Jumlah ini setara dengan 40 persen panas bumi dunia. Akan tetapi, hingga kini baru 4,6 persen yang sudah diubah jadi setrum untuk publik.
Setali tiga uang, potensi serupa di pembangkit biomassa, masih belum tergarap optimal. Potensi ini sangat melimpah terutama di perkebunan sawit, tetapi belum digunakan sepenuhnya karena terbatasnya infrastruktur listrik PLN dan harga beli listrik PLN. Persoalan serupa pada potensi tenaga air, bayu, dan surya.
Energi bersih
Kini ada perhelatan akbar Bali Clean Energy Forum 2016. Apakah kita sudah menuju profound clean energy establishment? Sederhananya, beranikah kita menargetkan diri lebih tinggi dalam pemanfaatan energi bersih?
Alasan kedua, apalagi kalau bukan pada sosok kuat: minyak bumi yang bersumber dari fosil. Silakan Anda hitung! Selama puluhan tahun roda ekonomi dunia dan Indonesia digerakkan oleh energi fosil. Saat ini cadangan minyak terbukti Indonesia dari BP Statistical Review 2015 hanya 3,70 miliar barrel. Cadangan gas bumi 101,5 triliun kaki kubik.
Ketergantungan terhadap energi fosil di Indonesia memang sangat besar. Dari total konsumsi energi 2012, ketergantungan terhadap energi fosil mencapai 94,4 persen. Hanya 5,6 persen dari energi baru dan terbarukan. Padahal, energi fosil tidak dapat diperbarui, suatu saat habis.
Ketergantungan pada energi fosil juga mengancam devisa negara. Impor minyak Indonesia makin lama makin besar. Tahun 2014 produksi nasional Indonesia 290 juta barrel, sementara konsumsi BBM mencapai 449 juta barrel; Indonesia mengimpor minyak mentah 121 juta barrel dan 179 juta barrel BBM.
Secara agregat konsumsi BBM nasional menunjukkan kenaikan 7-10 persen setahun, sementara kemampuan produksi nasional turun 10-12 persen setahun. Pada 2013 Indonesia mengeluarkan42,2 miliar dollar AS untuk impor minyak dan BBM. Jumlah ini setara dengan 150 juta dollar AS setiap hari. Ini pemborosan devisa negara.
Emisi bahan bakar fosil juga berakibat buruk bagi lingkungan. Dari berbagai laporan lembaga dunia, seperti World Resources Institute, Indonesia merupakan penghasil emisi karbon terbesar setelah Tiongkok, Amerika Serikat, Uni Eropa, India, dan Rusia. Sekitar 2 miliar ton emisi karbon dihasilkan Indonesia, dengan 549 juta ton berasal dari energi fosil.
Bali Clean Energy Forum 2016 mulai berlangsung pada Kamis (11/2) ini. Apa rasionalitas yang hendak dibangun Indonesia? Apa raison d’etre perhelatan global tersebut, dan lebih jauh lagi, apa dampak kehadirannya bagi optimalisasi penggunaan energi bersih di Tanah Air?
Berbagai pertanyaan ini tidak hadir mendadak. Setelah mengikuti KTT Perubahan Iklim di Paris akhir tahun lalu, gambaran akan kebutuhan energi bersih yang semakin besar terus muncul dan menjadi bagian perbincangan saya dengan rekan-rekan.
Kesepakatan Paris telah disetujui 195 negara. Mereka akan saling bekerja sama membendung peningkatan suhu bumi hingga 1,5 derajat celsius. Kesepakatan Paris juga memuat komitmen pengurangan emisi karbon oleh negara-negara peserta. Indonesia termasuk negara yang sudah berkomitmen melaksanakan kesepakatan tersebut. Pemerintah mematok target pengurangan emisi karbon tahun 2030 sebesar 29 persen secara mandiri dan 41 persen dengan skema bantuan internasional.
Dalam pandangan saya, Kesepakatan Paris adalah penyentil bagi pemerintah dan pemangku kepentingan energi untuk tidak melalaikan pembangunan energi bersih. Namun, harga minyak dunia yang jatuh ke titik terendah saat ini menjadi tantangan tersendiri, karena bisa menghambat pembangunan energi bersih.
Dengan harga minyak dunia sekitar 30 dollar AS per barrel, maka konsumsi energi, terutama listrik, secara ekonomi akan lebih murah menggunakan energi berbahan bakar fosil. Harga energi bersih yang lebih mahal membuat investasi energi bersih tidak menarik bagi investor.
Namun, harus diingat harga minyak yang rendah justru menyebabkan kegiatan eksplorasi menurun. Karena eksplorasi minim, penemuan cadangan baru juga akan turun. Berkurangnya jumlah cadangan minyak terbukti akhirnya mengakibatkan penurunan jumlah produksi.
Harga minyak yang rendah juga menyebabkan preferensi impor minyak mentah dan BBM lebih besar. Hal ini bisa menguras devisa dan membuat kita lupa mengembangkan energi bersih.Di titik inilah kita membutuhkan tekad kuat dan terobosan strategis agar pembangunan energi bersih tidak terus terabaikan.
Terobosan kebijakan
Agar Bali Clean Energy Forum 2016 lebih bermakna dan membawa dampak signifikan bagi Indonesia, pemerintah harus berani thinking out of the box!
Logiknya begini. Beberapa negara telah mengembangkan energi terbarukan, seperti panas bumi, tenaga air, angin, surya, biomassa, hingga biofuel. Tahun 2014 energi terbarukan sudah menyumbang 14 persen total penggunaan energi dunia. Khusus untuk konsumsi listrik dunia, energi terbarukan bahkan mampu menyumbang 22 persen.
Belajar dari India, Tiongkok, Brasil, dan negara maju lainnya, kita melihat adanya kesenjangan infrastruktur dan teknologi energi bersih antara negara maju dengan negara yang mulai mengembangkan energi bersih. Maka, perlu kemitraan antarnegara untuk menjembatani kesenjangan dan mempercepat pengembangan energi bersih. Indonesia perlu membuat lompatan teknologi (technology leapfrogging) untuk mengakselerasi pengembangan energi bersih.
Lompatan teknologi perlu tekad dan terobosan kebijakan. Salah satunya dengan mengubah paradigma dari mahalnya investasi energi bersih menjadi ”investasi untuk masa depan energi Indonesia.” Pemerintah tidak boleh ragu. Seberapa pun mahalnya, investasi energi bersih adalah hal yang harus dilakukan.
Perbedaan harga energi bersih dengan energi fosil saat ini harus dipandang sebagai tabungan untuk kebutuhan generasi masa depan. Jadi, saat minyak fosil semakin menipis persediaannya beberapa tahun ke depan, kita sudah siap dengan persediaan berbagai energi bersih.
Yang di depan mata dan melimpah adalah energi surya. Pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) di Tanah Air memiliki potensi luar biasa besar: 1.400-2.000 kWh/m2/tahun. Bandingkan dengan Jerman yang hanya 900-1.200 kWh/m2/tahun. Investasinya pun relatif lebih terjangkau dan bisa membantu pemerintah mengejar target 35.000 MW di daerah-daerah terpencil.
Manfaatkan juga lahan-lahan kosong BUMN untuk PLTS. Dengan masa pembangunan kurang dari sembilan bulan, dan pengoperasian yang relatif mudah, maka PLTS bisa lebih cepat mengejar kesenjangan pemenuhan listrik di berbagai daerah.
Usulan lain bisa berupa kewajiban bagi pemenang tender swasta atau Independent Power Producer proyek 35.000 MW untuk wajib berinvestasi 5-10 persen di pembangkit listrik energi baru dan terbarukan (EBT) agar semua pihak punya komitmen terhadap EBT.
Jangan lupakan juga kebijakan pajak. Di beberapa negara, untuk mendorong pengembangan energi bersih, bahan bakar nabati disubsidi pemerintah. Sebaliknya BBM fosil kena pajak tinggi. Di Indonesia BBM fosil belum dikenakan pajak, sementara subsidi BBM masih kecil.
Satu lagi yang penting, keberanian pemerintah dalam bersikap affirmative action, terkait pembelian listrik energi bersih. Karena sering ada dispute antara PLN dan pemasok energi bersih, pemerintah perlu mencari terobosan kebijakan penjualan energi bersih!
Saya berharap Bali Clean Energy Forum 2016 lebih membuka mata kita akan pentingnya membangun energi bersih. Peristiwa ini harus bisa menjadi pengungkit kesadaran bersama dan membuktikan Indonesia sebagai negara kaya energi bersih.
Arifin Panigoro, Praktisi Bisnis
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/11/Quo-Vadis-Energi-Bersih-Indonesia
Add new comment