Wana Tani dalam pengelolaan HKm dan HTR

Anda di sini

Depan / Wana Tani dalam pengelolaan HKm dan HTR

Wana Tani dalam pengelolaan HKm dan HTR

“Dulu di tempat kami ini merupakan hutan yang begitu lebat, kami sering masuk hutan hanya untuk mencari bahan baku yang kami jadikan anyaman/kerajinan ketak. Rata-rata penduduk di tempat kami (Praya Barat) bekerja sebagai pengrajin ketak, bahan baku anyaman kami dapatkan dari hutan dan kegiatan ini menjadi penggerak roda perekonomian,tapi semenjak tahun 1998 puncak terjadinya ekploitasi dan perambahan hutan secara besar-besaran, hutan mulai gundul, mata air mulai menghilang dan pekerjaan kami yang dulunya pengrajin ketak dan hasil anyaman kami sudah dijual hingga keluar negeri, sekarang hilang”  (cerita pengelola HTR)

Kerusakan hutan dan kemiskinan merupakan dua dimensi yang tidak bisa terpisahkan di areal kawasan hutan. Berbagai macam upaya dilakukan pemerintah guna menjawab permasalahan yang ada. Salah satu bentuk perhatian pemerintah belakangan ini dengan mengeluarkan kebijakan dengan cara mengikut sertakan masyarakat dalam pengelolaan hutan.
Keikutsertaan masyarakat dalam mengelola hutan dirasakan menjadi solusi yang diharapkan dapat melahirkan kehutanan sosial yang terintegrasi dengan lembaga yang akan dibentuk. Konsep HKm (Hutan Kemasyarakatan) dan HTR (Hutan Tanaman Rakyat) menjadi salah satu solusi yang ditawarkan. Paradigma pengelolaan dan pembangunan hutan pada masa ini dan ke depan harus diubah dari orientasi kayu menjadi pengelolaan sumber daya hutan dengan menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama.


Keikutsertaan masyarakat dalam memberikan perannya baik dalam kebijakan maupun Tata kelola hutan, diharapkan dapat mengurangi dan menanggulangi kerusakan hutan yang semakin hari terus menampakkan kerusakan nyata.
Pengelolaan HKm dan HTR oleh masyarakat yang ada di provinsi Nusa Tenggara Barat khususnya yang berlokasi di Lombok Tengah sudah memiliki izin definitif pengelolaan dan mengembangkan model kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat yang tergabung dalam kawasan Mareje Bonga.
Ketika izin pengelolaan sudah diberikan seringkali kita mendengar bahwa  pengelolaan hutan oleh masyarakat hampir selalu mengalami kegagalan dalam pengelolaannya dikarenakan beberapa faktor terutama dari kalangan pengelolaan (masyarakat), sehingga hasil yang didapatkan belum optimal.
Permasalahan Pembangunan HTR di Kabupaten Lombok Tengah dilihat masih butuh perhatian yang serius. Hal ini terlihat dari, masih rendahnya pendapatan pengelolaan, keterbatasan pengetahuan dan keterampilan, dan ditambah masih lemahnya kelembagaan baik yang dilingkungan kelompok maupun koperasi. Permasalahan ini menjadi pemicu pengelolaan hutan sehingga kurang menghasilkan atau meningkatkan pendapatan para pengelola atau petani.
Menyadari permasalahan yang ada dan berpijak dari beberapa modal dasar yang dimiliki maka Konsorsium Kemitraan-Samanta melakukan upaya bagaimana meningkatkan peran serta masyarakat dalam mengelola hutan dengan membangun “Wirausaha Perhutanan Sosial yang Produktif dan Berkelanjutan di NTB” dengan pendekatan lewat sistem Wana Tani
Wana Tani sebenarnya sudah lama dipraktikkan sejak zaman dahulu sebelum nenek moyang orang Indonesia mengenal tulisan dan konsep-konsep pengelolaan hutan seperti saat ini. Seperti ungkapan makna Wana Tani adalah sistem pertanian yang mengkombinasikan tanaman kehutanan dengan tanaman pertanian secara umum. Wana tani secara teori disebut juga sebagai agroforestry.


Peningkatan pengetahuan tentang Wana Tani ditekankan pada 6 desa yang menjadi lokasi proyek yang didanai oleh MCA-Indonesia. Selain itu 4 desa target ini yaitu Kabul, Mangkung, Batu Jangkih, dan Pandan Indah berstatus hutan yang kritis. Sedangkan 2 desa lainnya yang berada di Desa Aik Berik dan Lantan merupakan area Hutan Kemasyarakatan (HKm) yang dilindungi.
Pada tanggal 08 Maret 2017, puluhan warga berkumpul baik laki-laki maupun perempuan. Berkumpulnya para warga ini bukan adanya kegiatan pembagian bantuan atau sebaliknya. Para warga yang tergabung dalam koperasi “maju bersama” sebagai pengelola HTR menjadi satu dalam aula sederhana yang di bangun oleh masyarakat pengelolaan hutan. Suasana kampung yang masih terasa dingin menemani acara pertemuan dalam rangka memberikan pelatihan kepada anggota masyarakat yang tergabung dalam pengelola Hutan Tanaman Rakyat (HTR).
Acara pelatihan ini diadakan di 6 lokasi yang berbeda. Keenam lokasinya ini berada di satu kabupaten dengan melibatkan tiga kecamatan. Desa Lantan dan Aik Berik yang terletak di kecamatan Batukliang Utara yang berdekatan langsung dengan gunung Rinjani (HKm) sedangkan 4 desa yaitu Mangkung dan Pandan Indah (Praya Barat) dan Batu Jangkih dan Kabul berada di kecamatan Praya Barat Daya.
Kegiatan pelatihan yang diagendakan di tiap desa selama dua hari ini bertujuan untuk memberikan pengetahuan bagi masyarakat yang mengelola hutan tanaman rakyat (HTR), pemaparan konsep hingga apa manfaat yang didapatkan dari Wana tani yang dikelola oleh masyarakat HKm dan HTR.
Di hari pertama pelatihan yang diadakan di Desa Batu Jangkih lebih menekankan pada teori dan pengenalan konsep-konsep Wana Tani. Pengelolaan hutan dengan penuh perencanaan  merupakan upaya agar pengelolaan yang dilakukan menjadi lebih baik dan mendapatkan hasil yang optimal sesuai harapan tanpa mengganggu tanaman utama (tanaman hutan).  Sedangkan untuk hari kedua dilanjutkan dengan praktik lapangan bagaimana melakukan konservasi terhadap tanah dengan sistem teras.
Teknik konservasi dan pengenalan konsep Wana Tani merupakan upaya agar terciptanya hutan yang sesuai dengan peruntukkannya, tanpa mengurangi nilai konservasi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi masyarakat yang ada di kawasan hutan.
Teknik konservasi yang diberikan dalam pelatihan ini bertujuan untuk bagaimana masyarakat menjaga lingkungan hutan agar terhindar dari kerusakan baik yang diakibatkan oleh tangan manusia (perambahan) maupun oleh alam itu sendiri misalnya banjir bandang, dan longsor. Sehingga dengan teknik konservasi yang diberikan dalam pelatihan ini mampu mejaga kualitas tanah dan tingkat kesuburannya baik dilihat secara fisik, kimia maupun biologi tanah itu sediri. Jika tanah yang dihasilkan subur maka secara otomatis akan meningkatkan penghasilan masyarakat lewat kombinasi tanaman tahunan (hutan) dengan pertanian. Sehingga tidak ada lagi terdengar masalah kemiskinan.


Intinya dalam pengelolaan hutan yang diinisiasi oleh Kemitraan-Samanta, selain mengedepankan kelestarian hutan tapi, juga memikirkan bagaimana meningkatkan pendapatan masyarakat yang ada di lingkar kawasan hutan lewat wirausaha yang digalakkan. Terbukti dari berdirinya koperasi-koperasi tiap desa yang menjadi lokasi dampingan. Berdirinya koperasi tidak terlepas dari para pengelola HTR, karena antara koperasi dan pengelola merupakan satu kesatuan. Koperasi yang sudah ada nantinya akan menjadi penampung hasil. Baik barang mentah ataupun hasil olahan.
Jika mengharapkan tanaman tahunan (kayu) saja seperti yang diungkapkan ketua koperasi maju bersama maka kesejahteraan sangat jauh dari apa yang dibayangkan. Dengan memanfaatkan tanaman bawah tegakan, diharapkan dapat membantu pendapatan petani pengelolaa semisal tanaman jahe, mente, bambu,  dan tanaman lainnya yang bisa di budidayakan. Konsep seperti yang diajarkan oleh Kemitraan-Samanta sangat mudah untuk di praktikan.
Dengan adanya upaya semacam ini maka akan terjawab beberapa permasalahan yang di sebutkan di atas terutama bagaimana meningkatkan pendapatan para petani pengelola dan memperkuat kelembagaan lewat koperasi yang terbentuk. Jika masyarakat terampil dan memiliki pengetahuan, dengan sendirinya ekonomi masyarakat akan terus mengalami peningkatan. Jika kehidupan masyarakat lestari alam pun demikian.

 

 

Feedback
Share This: