Semangat Baru dari Hangatnya Olahan Jahe Mekarsari

Anda di sini

Depan / Semangat Baru dari Hangatnya Olahan Jahe Mekarsari

Semangat Baru dari Hangatnya Olahan Jahe Mekarsari

Ekowisata tidak hanya berbicara tentang berwisata dengan memperhatikan aspek lingkungan, akan tetapi bagaimana menjaga kelangsungan sumberdaya alam yang ada untuk terus dilestarikan. Selain menyinggung masalah konservasi, ekowisata sangat erat kaitannya tentang bagaimana meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan potensi sumber daya alam yang dimiliki, sebab masyarakat pada ruang ekowisata berada dalam lingkaran sebagai penggerak dan memiliki peranan terpenting sehingga terwujudnya pertumbuhan ekonomi yang memberikan manfaat di kawasan pengembangan  ekowisata.
Salah satu upaya untuk mengembangkan ekowisata di suatu daerah maka perlu adanya kelembagaan atau kelompok masyarakat yang dijadikan sebagai penggerak keberlanjutan ekowisata tersebut. Ekowisata tidak akan bisa berjalan dengan sendiri-sendiri tanpa dibarengi dengan kerja bersama dengan melibatkan semua pihak yang ada di daerah tujuan pengembangan ekowisata. Perlu adanya suatu upaya dalam bentuk pemberdayaan kelompok.
Pemberdayaan kelompok tidak lain adalah memberikan motivasi dan dorongan kepada masyarakat agar mampu menggali potensi dirinya dan berani bertindak memperbaiki kualitas hidupnya, melalui cara antara lain dengan pendidikan untuk penyadaran dan kemampuan diri mereka serta lewat pelatihan dan transfer pengetahuan.
Beranjak dari kesiapan konsep Ekowisata yang diinisiasi oleh Rimbawan Muda Indonesia (RMI) bersama Gerakan Masyarakat Cinta Alam (Gema Alam) menunjukkan hingga level pemberdayaan masyarakat melalui penggalian potensi yang ada. kesiapan ini dilihat dari peran aktif semua kalangan dan terciptanya kesadaran masyarakat akan hal yang digalakkan.


Sebagai bentuk komitmen dalam rangka penerapan konsep ekowisata yang berbasis pada masyarakat dengan mengedepankan peran perempuan dalam upaya meningkatkan tarap ekonomi masyarakat, RMI dan Gema Alam melakukan kegiatan pelatihan pengolahan pangan lokal yang ada di desa dampingan yang disiapkan menjadi desa wisata.  Setiap desa yang menjadi dampingan memiliki potensi yang beragam dan keberagaman potensi tersebut menjadikan dasar untuk terus maju menjadi desa wisata. Sebagai contoh Desa Mekarsari.
Desa Mekarsari merupakan satu dari enam desa yang menjadi dampingan RMI dan Gema Alam. Desa Mekarsari secara administrasi berada di kecamatan Suela, Kabupaten Lombok Timur Provinsi Nusa Tenggara Barat. Sebuah desa yang berdampingan dengan Taman Naional Gunung Rinjani. Desa ini terletak di ketinggian 1000 mdpl, ini bisa dirasakan dari suhu udara khas pegunungan. Suasana dingin nan sejuk menyelimuti perjalanan sepanjang hari.
Hari ini tepat pada tanggal 17 Maret 2017, sebuah acara yang bertujuan memberikan pengetahuan tentang pengelolaan pangan lokal berupa pelatihan olahan untuk tanaman yang dihasilkan dari hutan bukan kayu (jahe). Jahe menjadi komoditi unggulan di daerah ini, yang ditanam di bawah tegakan. Produksi budidaya Jahe Gajah yang mencapai lebih dari 100 ton per tahun dan dikelola oleh sedikitnya 30 anggota kelompok yang berada di Desa Mekarsari menunjukkan adanya potensi besar pengembangan usaha perempuan sebagai pengolah hasil jahe.  
Desa yang memiliki potensi yang cukup besar dengan menjadikan tanaman jahe sebagai komoditi unggulan tentunya menjadikan desa ini berpeluang dalam pengembangan sumberdaya alam dan menumbuhkan pundi-pundi perekonomian bagi masyarakat setempat.
Luas areal hutan yang dikelola dalam bentuk izin kemitraan seluas 375 ha. 375 ha ini dikelola di bawah Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) yang diberi nama Puncak Semaring. Dalam Gapoktan ini terdiri dari 9 kelompok tani dan 1 kelompok wanita. Selain itu, di desa Mekarsari terbentuk juga kelompok sadar wisata (pokdarwis) alam budaya Puncak Semaring.
Sumber daya alam yang melimpah yang berada di 3 dusun, menuntut  desa Mekarsari untuk berinovasi guna mencari langkah bagaimana mengantisipasi lonjakan komoditi unggulan tanpa harga. Seperti yang diceritakan oleh pengurus Gapoktan Puncak Semaring ”ketika musim panen tiba, para petani mulai kebingungan memasarkan tanaman jahe yang di dapatkan dari hutan yang dikelola dalam bentuk kemitraan dengan Dinas Kehutanan”


Tingginya hasil panen, menuntut masyarakat untuk melakukan suatu terobosan agar hasil pertanian nya memiliki nilai jual. Bentuk terobosan yang digalakkan adalah dengan melakukan olahan dan berinovasi. Inovasi yang diupayakan meliputi pengolahan menjadi komoditi yang memiliki nilai jual tinggi, misalnya jahe di olah menjadi ekstrak jahe, kopi jahe, sirup jahe, permen jahe dan berbagai macam olahan. Potensi jahe dengan berbagai macam olahan diharapkan nantinya mampu membawa desa Mekarsari menjadi sentral olahan jahe yang memiliki cita rasa dan keunikan yang khas.
Keberhasilan dalam pengelolaan potensi yang ada tentunya membutuhkan dorongan dari semua pihak terutama pemerintah dalam hal ini dinas Perindustrian dan Perdagangan. Kaitannya dengan produk yang dihasilkan pemerintah harus memberikan respon positif lewat upaya membantu dalam pemasaran dan memberikan pengetahuan. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Siti Hijriani dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Lombok Timur memberikan ruang bagi masyarakat untuk mengembangakan potensi yang dimiliki. Seperti yang diutarakan dalam sambutannya bahwa Gubernur NTB selaku pimpinan tertinggi di provinsi ini menegaskan bahwa perlu adanya suatu upaya untuk terus mengembangkan produk olahan dari Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) dan semua hasil inovasi masyarakat akan selalu mendapatkan perhatian. Bentuk perhatian Dinas Perindustrian dan Perdagangan berupa adanya program pelatihan, hingga upaya pelabelan suatu produk. Sasaran yang diamanatkan dari dinas dengan menyasar kaum perempuan sebagai pelaku utama dalam pengolahan potensi yang ada.
Dalam pengelolaan potensi alam berupa jahe, perempuan memiliki peran yang cukup besar.  Sehingga kelompok-kelompok perempuan yang ada di Mekarsari seperti Kelompok Wanita Terampil (KWT) Puncak Semaring harus lebih aktif dalam hal ini. Sebelum ada pelatihan ini, KWT  Puncak Semaring sudah menghasilkan olahan jahe dalam bentuk ekstrak (bubuk) yang dikemas, akan tetapi masih perlu inovasi.


Peluang pasar dari olahan jahe ini berpotensi besar dan sangat memungkinkan untuk terus dipasarkan dalam ragam bentuk diversifikasi produk lainnya dalam pasar yang berbeda.  Termasuk dapat digunakan sebagai “welcome drink” pada usaha ekowisata yang tengah dikembangkan di enam desa tersebut, maupun program pariwisata halal lain yang dikembangkan di Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB).
Ditambahkan lagi dalam sesi pembukaan acara pelatihan ini pak kepala dusun mengatakan bahwa, kalau bisa setiap acara pertemuan tidak semestinya menyuguhkan atau menghidangkan makanan atau minuman yang didapatkan dari produk instan semisal kopi. Padahal daerah kita memiliki peluang yang bisa dikembangkan dan memiliki rasa yang tidak bisa diragukan semisal kopi jahe atau minuman jahe seperti yang dihidangkan saat pertemuan hari ini.
Melanjutkan harapan dari pak Kadus, perlu adanya upaya membiasakan masyarakat untuk membiasakan diri dalam mengolah hingga mengkonsumsi makanan atau minuman lokal yang dimiliki suatu daerah. Jika masyarakat sudah terbiasa dan mencintai produk lokal nya maka secara tidak langsung pangan lokal yang diolah memberi keyakinan untuk terus dikembangkan.
Olahan pangan lokal yang didapatkan dari hasil pelatihan bisa diterapkan di lapangan  dan hasilnya bisa dijadikan olahan khas dan setiap ada pengunjung atau acara pemerintah bisa dijadikan sebagai oleh-oleh sebab yang diolah merupakan pangan lokal yang memiliki nilai kesehatan.  Inilah kenapa konsep ekowisata yang akan dikelola oleh masyarakat, selain menawarkan keindahan alam, dan budaya perlu adanya produk unggulan yang nantinya dijadikan sebagai oleh-oleh jika berkunjung.
Terlihat dari olahan yang dihasilkan memiliki cita rasa yang tidak kalah nikmatnya dengan produk yang ada. Praktik pembuatan ini langsung dilakukan dan dirasakan oleh para peserta. Para peserta juga diajarkan perencanaan pengelolaan keuangan oleh narasumber yang didatangkan dari Bogor (Ilmu Teknologi Pangan IPB dan Pusat Ilmu Penelitian Tanaman Asia Tenggara).
Rasa hangat sirup jahe menambah semangat perempuan yang keseharianya menggantungkan hidup menjadi petani dan pengelola hutan yang ada. Terlihat senyuman setelah mencicipi rasa olahan yang dibuat. Tidak sedikit dari mereka mengatakan “mun maraq mene jaq, bau jari peromboq hasil, wah bahan na araq, karingan ita kumbeke ta sara ngolah akekna maiq” dalam bahasa Indonesia artinya kalau seperti ini bisa mendatangkan tambahan penghasilan, bahannya gampang didapatkan, tinggal bagaimana kita mengolahnya. Ke depannya masyarakat yang hidup di sekitar hutan tidak hanya berbicara tentang bagaimana memelihara hutan agar tetap lestari dan menciptakan sumber mata air, tapi ke depannya masyarakat pinggir hutan jauh dari hal tersebut dan sudah mulai berbicara konservasi dan kesejahteraannya lewat ekowisata.

Feedback
Share This: