Sangkep Beleq Memperkuat Kebijakan Untuk Menetapkan Salut Sebagai Sentra Kemiri
Masyarakat sekitar hutan mempunyai keterikatan yang sangat erat dengan hutan di wilayahnya. Demikian juga keterikatan masyarakat yang ada di wilayah Hutan Kemasyarakatan (HKm) Santong Group, Kabupaten Lombok Utara. Saat ini, hutan Santong dikelola oleh petani yang tergabung dalam empat wilayah HKm yaitu Santong, Selengen, Salut dan Mumbulsari. Keempat wilayah hutan ini, telah mendapatkan ijin HKm dari Bupati untuk mengelola areal seluas 758 Ha. Penetapan 4 wilayah ini menjadi HKm didasarkan pada SK Menhut No. 447/Menhut-II/2009.
Bagi pemerintah, HKm dianggap sebagai solusi untuk menghilangkan penebangan liar dan aktivitas ilegal lainnya. Masyarakat yang mendapat izin mendapat kepastian hukum untuk mengelola lahan yang harus benar-benar dimanfaatkan. Di sisi lain, HKm juga harus didorong agar terdapat tujuan ekologis dan peningkatan ekonomi masyarakat sekitar dapat dicapai. Sayangnya salah satu masalah utama yang dihadapi oleh HKm di Nusa Tenggara Barat adalah tidak berjalannya fungsi ekologis dari kawasan hutan. Bahkan banyak HKm ditengarai menjadi sumber bencana. Karena masyarakat pengelola HKm merubah hutan menjadi lahan-lahan pertanian produktif. Tatkala musim penghujan tiba, banjir dan longsor menjadi bencana serius di Nusa Tenggara Barat 5 tahun terakhir ini.
Tetapi tidak semua HKm di Nusa Tenggara Barat tergambar seperti itu. HKm Santong contohnya, semula adalah padang alang-alang atau kondisi pada umumnya hutan produksi di Nusa Tenggara Barat. Sejak 2016, kelompok HKm Santong yang tergabung dalam koperasi Maju Bersama Desa Santong didampingi oleh WWF Indonesia melalui dukungan MCA-Indonesia telah melakukan rekonstruksi sosial, penguatan kapasitas kelompok tani yang mengelola kawasan hutan produksi dengan mengembangkan program HHBK berkelanjutan.
Hasilnya, pengelola HKm di kawasan ini telah mampu mengembangkan hutan dengan kegiatan produktif HHBK yaitu dengan mengembangkan kemiri. Berdasarkan data WWF (2016) diketahui bahwa pada wilayah ini terdapat potensi HHBK kemiri sebesar 500 ton per tahun. Potensi ini telah diolah menjadi kemiri kupas dan minyak kemiri. 3 kg kemiri gelondongan (Rp. 6.000 /kg) mampu menghasilkan 1 kg kemiri kupas (Rp. 25.000) atau 4 botol minyak kemiri (Rp. 25.000 / botol). Sehingga bila kesemuanya diolah menjadi kemiri kupas akan menghasilkan pendapatan bagi masyarakat sedikitnya 2,2 Milyar dan bila diolah menjadi minyak kemiri akan menghasilkan 6,6 Milyar.
Melihat besarnya potensi ini, dukungan desa, BUMDES, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten, pengusaha dan legislatif sangat diharapkan untuk mempercepat tumbuh kembangnya bisnis HHBK Kemiri di Kabupaten Lombok Utara dan umumnya di kawasan Rinjani. Pemerintah desa, melalui anggaran yang dimiliki, dapat menyiapkan kapasitas dan keterampilan bagi kelompok masyarakat untuk terus berinovasi dalam mengembangkan kemiri. BUMDES berperan untuk menyediakan sokongan dana maupun sebagai broker untuk menyediakan HHBK kemiri untuk diolah lebih lanjut oleh kelompok masyarakat. Pemerintah provinsi, melalui kewenangan yang diberikan oleh UU 23/2014 dapat menyediakan bibit dan prasarana lainnya yang dapat mendukung pengembangan kemiri di dalam kawasan hutan. Begitu juga pemerintah kabupaten yang dapat berperan untuk memastikan kemiri keluar dari dalam kawasan diolah terlebih dahulu dan difasilitasi untuk pemasarannya.
Berawal dari kondisi tersebut, WWF Indonesia memfasilitasi masyarakat yang tergabung dalam HKm Santong Group mengadakan acara Sangkep Beleq atau pertemuan akbar. Dalam pelaksanaan kegiatan ini, WWF Indonesia bermitra dengan Koperasi Maju Bersama, pemerintah daerah dan DPRD Kabupaten Lombok Utara. Sangkep Beleq yang diadakan pada tanggal 30 Agustus 2017, bertempat di Desa Salut, Kecamatan Kayangan.
Kegiatan yang dijadwalkan setengah hari ini dihadiri oleh masyarakat pengelola hutan, DPRD Kabupaten, Dinas Koperasi Perindustrian dan perdagangan Kabupaten, Pemerintah Kecamatan, Pemerintah Desa, Ketua HKm dan pengusaha kemiri. Tujuan dari kegiatan yang dihadiri lebih dari 200 peserta ini, untuk melakukan konsolidasi petani dalam rangka pengembangan kemiri.
Salah satu agenda dalam Sangkep Beleq adalah dialog multipihak, antara masyarakat dengan pemerintah dan kalangan swasta. Melalui dialog tersebut, didapatkan kesepahaman para pihak untuk rencana-rencana strategis dalam upaya pengembangan ekonomi masyarakat yang berdomisili di sekitar kawasan hutan menuju Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) dan kesejahteraan masyarakat berbasis HHBK Kemiri.
Dukungan Pemerintah Lombok Utara
Diskusi mulai cair ketika ada dari kalangan masayarakat yang mulai melontarkan pertanyaan demi pertanyaan. Pertanyaan ditujukan tidak hanya ke WWF saja, pemerintah dalam hal ini DPRD dan Diskoperindag menjadi sorotan utama masyarakat. Salah satu kelompok masyarakat pengelola HKm menanyakan tentang keberlangsungan HHBK yang dihasilkan selain kemiri. Kemiri saat ini menjadi primadona masyarakat pengelola HKm karena pasar yang sudah dibangun sejak awal mengantarkan HKm Santong Group menghasilkan olahan yang beragam, mulai dari kemiri kupas hingga dibuat dalam bentuk minyak kemiri yang terkemas rapi. Melanjutkan pertanyaan peserta tersebut, Mustawa, salah satu peserta yang juga mewakili pihak masyarakat mengatakan bahwa HKm yang tergabung dalam Santong Group tidak hanya menghasilkan kemiri, bambu pun banyak ditanam dan menjadi salah satu HHBK unggulan Kabupaten Lombok Utara. Namun seringkali bambu tersebut dijual hanya dalam bentuk mentahnya saja sehingga nilai jual sangat rendah. “yang ingin kami garis bawahi adalah jika Desa Salut mengirim bambu bisa sampai puluhan truk keluaran dari HKm dan tidak menjadi perhatian pemerintah, apakah hanya dibiarkan seperti itu tanpa ada pengolahan lebih lanjut?”, tambah Mustawa. Pada intinya, pertanyaan-pertanyaan yang terlontar dalam acara diskusi tersebut mengerucut pada kesimpulan bahwa masyarakat meminta komitmen pemerintah dengan masyarakat yang telah disepakati bersama. Menjawab kegelisahan masyarakat ini, DPRD dan Diskoprindag siap memfasilitasi dalam bentuk peningkatan kapasitas masyarakat melalui pelatihan.
Selain pembahasan mengenai HHBK, ada hal yang menarik untuk dilirik dari pokok pembahasan dalam diskusi tersebut yaitu perihal akses jalan. Hal ini berawal dari Pak Luji, selaku ketua HKm Desa Selengen yang mengungkapkan kegelisahan masyarakat yang ada di desanya. Desa yang dulu menjadi bagian dari Desa Salut kini harus terpisah karena tuntutan pemekaran. Akses jalan menjadi hal penting dalam pengembangan usaha masyarakat. Tidak hanya jalan, jembatan yang menjadi penghubung kerap kali menjadi pembatas dalam menjalankan usaha terutama pendistribusian kemiri dari HKm menuju lokasi pengolahan. Namun kegelisahan Pak Luji tersebut sedikit mereda setelah Bapak Abdul Gani, perwakilan dari DPRD selaku pihak legislatif yang hadir dalam acara Sangkep Beleq menanggapi bahwa DPRD akan membantu dalam pembangunan jembatan tersebut. Ditambahkan lagi oleh Bapak Abdul Gani bahwa sebelum pembangunan jembatan, masyarakat perlu melengkapi dokumen-dokumen pendukung. Hal ini menjadi salah satu optimisme pihak pemerintah dan juga masyarakat karena belum adanya pembahasan APBD 2018 yang akan memudahkan pencantuman rencana pembangunan jembatan dalam APBD tersebut.
Di sisi lain, pemerintah dalam hal ini Pak Sainur yang juga perwakilan dari DPRD Kabupaten Lombok Utara mengucapkan terimakasih kepada WWF yang selalu gigih dalam mendampingi masyarakat pinggir hutan. Harapannya, melalui program ini kegelisahan masyarakat yang memiliki tumpuan ekonomi dari hutan bisa terjawab melalui pembinaan yang dilakukan oleh WWF, apalagi sekarang sudah mulai ada usaha yang dilakukan kelompok masyarakat, contohnya madu dan kemiri. Pemerintah sendiri siap mendukung produk hasil olahan masyarakat yang akan disinergiskan melalui sektor industri pariwisata. Belum lagi Lombok Utara yang menjadi salah satu pusat pariwisata Lombok merupakan peluang pasar yang begitu menjanjikan.
Dukungan Pihak Swasta
Tidak hanya komitmen pemerintah, dalam acara Sangkep Beleq ini pihak WWF juga mendatangkan pengusaha yang fokus dalam pengolahan kemiri. Sejak tahun 2013, H. Taufik yang merupakan pengusaha kemiri mulai mendatangi Desa Salut. Kedatangan beliau diawali dengan memberikan pelatihan pengolahan kemiri yang difasilitasi oleh World Bank. Kini H. Taufik tidak hanya melatih dalam pengolahan kemiri, namun juga melalui program yang dibawa oleh WWF, H. Taufik menandatangani sebuah kerjasama yang dibangun antara koperasi Santong dengan H. Taufik. Kerjasama tersebut adalah berupa pembelian kemiri. Komitmen dari H. Taufik berlanjut hingga saat ini. Dukungan yang diberikan beliau mampu menjadi suntikan semangat bagi para petani penggarap HKm.
Dengan adanya kegiatan Sangkep Beleq tersebut, WWF Indonesia berharap akan tercipta rumusan yang dirangkum dari masukan-masukan para peserta kepada pemangku kebijakan, utamanya Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Propinsi NTB terkait pengembangan kemiri. Selain itu, WWF juga mengharapkan adanya tindak lanjut dalam bentuk pertemuan antarpihak terkait untuk membuat rumusan yang konkrit, mengingat tidak semua pihak terkait hadir dalam acara Sangkep Beleq tersebut.
Acara Sangkep Beleq membawa harapan baru bagi masyarakat khususnya dan bagi keberlanjutan pembangunan pada umumnya. Hal ini dikarenakan diskusi tersebut menghasilkan komitmen tentang dukungan berbagai pihak terkait keberlanjutan HHBK di mana Desa Salut dijadikan sebagai sentra penghasil kemiri.