Practice Make Perfect : Cara Belajar Petani Desa Napu dan Prailangina
Desa Napu berjarak 67 kilometer dari Kota Waingapu, Ibukota Kabupaten Sumba Timur. Untuk menuju desa tersebut, telah tersedia jalan aspal sepanjang 50 kilometer dan yang belum beraspal 17 kilometer. Topografi Desa Napu didominasi oleh padang luas, berbukit dan lembah serta terletak di bagian pesisir pantai utara bagian barat, Kabupaten Sumba Timur. Secara administratif Desa Napu terdiri dari 2 dusun yakni dusun Napu dan dusun Prailangina (yang saat ini mekar menjadi Desa Prailangina).
Untuk kondisi pertanian, dalam dokumen Participatory Assesment (PA) yang dilakukan oleh salah satu mitra Millenium Challenge Acount (MCA) Indonesia yaitu Konsorsium Hijau akhir tahun 2015 lalu ditemukan bahwa pengelolaan tanah di Napu lebih untuk pemenuhan kebutuhan pangan seperti jagung, ubi kayu dan sayuran agar mengurangi konsumsi atau pengeluaran untuk beras saja. Untuk memproduksi jagung sangat bergantung pada musim hujan. Musim tanam di Napu tidak tentu lantaran curah hujan yang rendah dan tidak tetap.
Alam Napu yang didominasi hamparan padang sabana dan berbatu yang luas, digunakan untuk kegiatan pengembalaan ternak dan pertanian namun karena sumber daya air dan curah hujan yang minim menjadi salah satu kendala produksi pangan di Napu. Sejak dulu, masyarakat Napu sudah membagi tata kelola lahan yakni disebelah utara adalah kawasan peternakan dan kawasan selatan adalah kawasan pertanian.
Dalam konteks Kabupaten, Desa Napu masuk kategori desa rawan pangan. Hampir setiap tahun, di bulan Desember, Januari dan Febuari merupakan waktu yang paling krisis. Ini karena produksi pertanian mereka sangat minim dan banyak bergantung pada curah hujan yang hanya 3-4 bulan dalam setahun. Tentu saja pertanian yang dimaksud adalah tanaman jagung, umbi-umbian, kacang tanah dan padi ladang. Sedangkan tanaman perkebunan yaitu pisang, jambu dan kelapa.
Untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat di Desa Napu bergantung pada 1 sumur, 3 mata air yang tetap bertahan di musim hujan dan 2 sungai. Namun daya jangkau masyarakat terhadap sumber air terutama sungai sangat jauh dari pemukiman dan menempuh jalan-jalan yang terjal. Misalnya sungai Prailangina yang terletak lebih dari 2 kilometer dengan kemiringan yang termasuk curam. Sedangkan sungai Larawali terletak di dekat pantai Larawali yang jaraknya hampir 10 kilometer dari pusat pemukiman penduduk Dusun Napu.
Konsorsium Subur Makmur DAS Kadahang adalah salah satu penerima hibah pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dari MCA Indonesia dengan judul program “Pengembangan Wanatani dan Tata Kelola DAS (Daerah Aliran Sungai) Kadahang di Sumba Timur” yang bekerja sejak Juli 2016 dan beranggotakan 5 lembaga yaitu Yayasan Bumi Manira - Studio Driya Media (lead consortium), Yayasan Kuda Putih Sejahtera, Marada, Maaster dan Pahadang Manjoru, dengan wilayah kerja mencakup wilayah Sumba Timur dan Sumba Tengah. Beberapa desa seperti Kadahang, Mbatapuhu, Napu dan Wunga di Kecamatan Haharu Sumba Timur merupakan salah satu wilayah program proyek ini.
Ada 5 kegiatan utama yang dilaksanakan dalam proyek ini yaitu pengelolaan kebun dengan model wanatani, pengelolaan kebun pakan ternak, konservasi lahan kritis, peningkatan nilai tambah produk pertanian serta tata kelola DAS Kadahang.
Singkatnya proyek ini menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam melihat persoalan,merencanakan kegiatan serta melakukan kegiatan yang telah direncanakan bersama dan pada akhirnya memberikan penilaian terhadap kegiatan-kegiatan tersebut, atau praktek baik yang telah mereka lakukan baik pada tingkat kelompok,antar kelompok maupun antar wilayah dalam kawasan DAS Kadahang.
Adapun prioritas kegiatan terfokus pada 3 area pendekatan yakni (1) area rumah (2) area kebun dan (3) area pasar. Pada Area rumah diharapkan partisipasi keluarga dalam melihat persoalan dan kebutuhan baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang seperti :kebutuhan akan pangan dan pakan ,papan dan lain sebagainya dan mampu menyusun perencanaan keluarga. Pada Area kebun di harapkan keluarga –keluarga tersebut mampu menyicil sebagian rencana tersebut di kebun, sehingga pemenuhan kebutuhan keluarga dapat di hasilkan dari kebun sendiri. Pada Area pasar diharapkan keluarga tani mampu melihat peluang pasar dari komoditi unggulan melalui penerapan tekhnologi olah produk pertanian,atau peluang pasar lainnya.
Pada tanggal 30 Maret 2017 bertempat di Kantor Desa Napu sekitar 56 orang peserta (8 kelompok petani dari 8 RT di Napu) berkumpul untuk mengikuti kegiatan “Praktek Pembuatan Pupuk dan Pestisida Organik” oleh Konsorsium Subur Makmur DAS Kadahang dengan narasumber Bapak Bernardus Misa yang biasa dipanggil Bapa Nadus, ketua kelompok tani Watu Otur Desa Kambuhapang Kecamatan Lewa Kabupaten Sumba Timur.
Setiap peserta terlihat antusias mengikuti setiap penjelasan Bapa Nadus yang saat itu didampingi Mama Ruth, istrinya untuk mencincang dan mencampur bahan-bahan untuk membuat pupuk organik berupa kotoran kambing, daun gamal, daun lamtoro, bonggol pisang, daun nimba (untuk mendapat kandungan pestisidanya), rumput-rumput serta hijauan lain yang terdapat di desa dengan EM4 (Effective Microorganisms-4). EM4 yang berfungsi untuk menghadirkan mikroorganisme untuk menguraikan bahan-bahan tersebut menjadi pupuk. Selain itu mereka juga membuat pestisida organik, kebetulan saat itu tanaman jagung di desa sedang dilanda penyakit yang menyebabkan warna tanaman berubah jadi kuning. Bahan-bahannya berasal dari campuran bumbu dapur seperti bawang merah dan putih, kunyit, jahe dan cabe yang dihaluskan dan diberi air.
Salah satu tujuan pembuatan pupuk dan pestisida organik ini adalah untuk mendorong masyarakat mulai membudayakan tanaman sayuran di lahan-lahan pekarangan yang ada dengan sistem hemat air (sistem infus atau ditanam di batang pisang). Sebagai informasi, kebutuhan sayuran di Desa Napu dan Prailangina didatangkan dari Waingapu, dengan membeli pada pedagang keliling yang berjualan menggunakan sepeda motor. Rata-rata setiap rumah tangga menghabiskan Rp 150.000-300.000/ bulan untuk belanja sayuran. Jumlah yang lumayan besar, padahal sayuran bisa ditanam sendiri di halaman rumah.
“Kami hadirkan Bapa Nadus dan istri untuk berbagi dengan kawan-kawan petani di Desa Napu ini, maksudnya agar mereka mendapatkan pengetahuan baru dari pengalaman kelompok Watu Otur yang sudah kebih maju, salah satunya tentang cara membuat pupuk dan pestisida organik. Kami juga harap bapak dan ibu tani yang hadir ini bisa mendengar dan melihat langsung bagaimana pembagian peran antara Bapak Nadus dan istrinya dalam bertani ini. Kalau kita mau bicara pertanian yang sukses di desa, kita harus ingat bahwa jangan sampai ada pihak yang harus menangung beban kerja yang lebih” demikian penjelasan Ibu Helda Tukan selaku Gender Specialist dari Konsorsium Subur Makmur DAS Kadahang.
Pagi itu Bapa Nadus dan Mama Ruth melaju dengan sepeda motor dari Desa Kambuhapang ke Waingapu, menempuh jarak sekitar 60 kilometer. Tiba di Waingapu, mereka menyimpan motor dan melanjutkan perjalanan ke Desa Napu dengan menumpang mobil sekitar 60 kilometer. Tidak ada wajah lelah, hanya senyum yang selalu nampak dari Bapa Nadus dan Mama Ruth. Kerinduan mereka untuk berbagi dengan teman-teman petani di Napu dan Prailaingina sangat besar.
Beberapa waktu yang lalu mereka sempat mendengar bahwa penggunaan herbisida sangat tinggi di Desa Napu dan Prailaingina. Herbisida adalah suatu bahan kimia yang beracun yang dapat digunakan untuk menghambat pertumbuhan atau mematikan gulama. Herbisida berfungsi untuk menekan atau mematikan pertumbuhan tanaman yang kita inginkan. Pengertian Herbisida Menurut wikipedia adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan yang menyebabkan penurunan hasil (gulma). Lahan pertanian biasanya ditanami sejenis atau dua jenis tanaman pertanian. Namun tumbuhan lain juga dapat tumbuh di lahan tersebut. Karena kompetisi dalam mendapatkan hara di tanah, perolehan cahaya matahari, dan atau keluarnya substansi alelopatik, tumbuhan lain ini tidak diinginkan keberadaannya.
Tentu saja penggunaan herbisida dalam jumlah besar dan lama akan sangat merusak tanah juga berbahaya bagi tanaman jika ikut menyerap kandungan racunnya dan akan masuk ke tubuh manusia jika tanaman itu dikonsumsi. Oleh sebab itu penting untuk berbagi dengan sesama petani tentang pertanian organik yang ramah lingkungan, aman bagi kesehatan manusia dan rendah emisi ini.
Kegiatan lain juga dilakukan di Desa Napu dan Prailangina ini pada tanggal 9 Maret 2017 yang lalu berupa pelatihan pengolahan pangan lokal bagi kelompok wanita tani dalam bentuk pembuatan kripik pisang, ubi dan sukun. Kegiatan ini diharapkan bisa membantu meningkatkan penghasilan petani dengan mengolah bahan pangan yang hasilnya melimpah di sekitar mereka. Kegiatan olah produk sangat diminati oleh ibu-ibu di 8 RT serta sudah adanya dukungan Pemerintah Desa dalam mendorong penguatan kelembagaan kelompok-kelompok di desa. Kelompok wanita tani yang juga mengembangkan usaha bersama simpan pinjam (UBSP) dan mengharapkan dukungan konsorsium dalam penguatan kelembagaan UBSP baik dari aspek pembukuan dan manajemen UBSP.
Selain itu ada juga kegiatan diskusi bertukar informasi dan pengetahuan antar petani. Dimana kegiatan ini dilaksanakan dengan tujuan melipat gandakan semangat petani untuk saling berbagi,saling mensuport dalam kegiatan mereka di rumah,dikebun dan dipasar serta untuk mengapresiasi praktek baik di kelompok dan menemukan champion serta gagasan kelompok untuk keberlanjutan program.
Pada kesempatan diskusi ini para petani berbagi hal-hal seperti kerja-kerja mereka di desa selama ini dengan beberapa pihak baik pemerintah maupun NGO (Non Goverment Orgnization), baik di bidang pertanian, peternakan, lingkungan, kesehatan bahkan pendidikan. Tidak saja berdiskusi tetapi mereka melakukan praktek bersama misalnya tehnik menanam dengan sistem tetes dan sistem olah lubang.
“Ini cara yang sangat membantu kita untuk merawat dan memastikan tanaman yang kita tanam bisa melewati 2 musim tanam ( + 2 tahun) maka semakin besar harapan untuk hidup dan bertahan di musim kemarau berikutnya” begitu komentar Bpk Obed hapu Lindi Mara sambil mengikat botol berisi air ke sebuah batang kayu, dimana botol ini diberi selang kecil dan ujungnya diarahkan ke tanaman. Setelah melakukan ujicoba sistem tetes ini,merekapun kembali berdiskusi menilai tekhnologi ini. Semangat mengetahui hal-hal baru, praktek irigasi tetes sebagai modal untuk mengamankan tanaman umur panjang yang sudah ditanam.
“Rupanya olah jalur cocok untuk tanaman sayur, bawang, tanaman kacang tanah dan juga untuk tanaman petatas seperti ini supaya lebih subur dan mudah untuk membersihkan rumput/gulma” itulah kesimpulan bapak-bapak saat melakukan praktek olah lubang untuk tanaman petatas.
Ada hal menarik lain yang juga terbagi dalam kesempatan ini terkait pengembangan demplot pakan ternak sebagai sebuah alternatif membangun pemahaman petani untuk aspek pelestarian SDA( Sumber Daya Alam) juga meningkatkan ekonomi keluarga tani. Adanya kerelaan dan kesediaan dari seorang anggota kelompok pakan ternak Dewa Ninggu yakni Bapak Martinus Keba Niku untuk menghibahkan lahan seluas + 1 hektar untuk menjadi hak milik kelompok dan digunakan untuk kesejahteraan anggota kelompok (dokumen pendukung tentang hibah lahan sedang di proses).
Melihat cara petani ini belajar, saya semakin yakin bahwa hanya dengan mempraktekkan apa yang telah didapatkan maka hasil yang diharapkan pasti terlihat. Hal yang sama terjadi dengan teman-teman petani di Napu dan Prailiangina. Seperti pepatah tua mengatakan bahwa pengalaman adalah guru yang sangat berharga, maka dimata petani pengalaman petani lain tentu saja menjadi pelajaran penting untuknya. Petani kita belajar dari melihat maka biarkan mereka melihat dan mengalami banyak hal secara bersama-sama. Beri mereka ruang untuk saling bertukar pengalaman dan mari lihat bagaimana mereka bangun untuk mengerjakan mimpi-mimpi besar di lahan-lahan kering dan berbatu ini.**