Menjelajah dan Mengenal Potensi Pesisir Sumba Timur (Part-3)

Anda di sini

Depan / Menjelajah dan Mengenal Potensi Pesisir Sumba Timur (Part-3)

Menjelajah dan Mengenal Potensi Pesisir Sumba Timur (Part-3)

Rabu, 22 Maret 2017 dari arah kabupaten Sumba Barat, tiga buah mobil melaju menuju kabupaten Sumba Timur - NTT.  Perjalanan ini adalah bagian dari media trip yang diadakan oleh Blue Carbon Consortium (BCC) dengan tujuan untuk menyebarkan informasi mengenai tantangan dan peluang pengelolaan pesisir yang tengah dihadapi di Sumba, menyebarkan informasi mengenai SPRE, khususnya ekowisata yang dilaksanakan BCC melalui demo plot di desa-desa pesisir di Sumba, serta mendapatkan umpan balik dari kalangan insan media mengenai kegiatan demo plot yang dilaksanakan. Di Sumba Timur, terdapat dua daerah yang menjadi dampingan konsorsium yang terdiri dari PKSPL- IPB, Yapeka dan Transform, yakni Kelurahan Watumbaka di Kecamatan Kambera dan Desa Mondu di kecamatan Kanatang.

Beberapa kali, jurnalis dan fotografer dari Koran harian Kompas, Majalah Tempo, koran harian The Jakarta Post, Majalah National Geograpic, dan instagrammer yang menjadi bagian dari kegiatan Media Trip ini, berhenti dan mengabadikan beberapa tempat yang dilewati. Salah satunya adalah sebuah bukit yang disebut bukit raksasa tidur. Bukit yang terlihat mirip seperti seseorang yang sedang tidur itu terletak di Wairinding, Sumba Timur dan mudah untuk dilihat karena berada di pinggir jalan.

Meski terlihat lelah sejak perjalanan dari Sumba Barat melintasi Sumba Tengah hingga tiba di Sumba Timur, para peserta Media Trip tetap bersemangat untuk mengunjungi kelurahan Watumbaka di kecamatan Kambera, Sumba Timur. Kelurahan dampingan BCC ini fokus pada pengembangan tambak garam. Pengolahan tambak garam dilakukan dengan menggunakan alat dan bahan ramah lingkungan serta memanfaatkan sumber daya alam yang tersedia. Terdapat beberapa jenis tungku pembuatan garam. Salah satunya berada dalam sebuah rumah sederhana yang dilengkapi dengan cerobong asap sehingga tidak seperti rumah lainnya, dalam rumah itu asap hasil pembakaran di tungku tidak memenuhi ruangan melainkan langsung keluar.

Dari Kelurahan Watumbaka, tim Media Trip menuju ke Pantai Walakeri untuk memotret sunset. Ya, pantai Walakeri memang salah satu tempat favorit untuk memotret matahari tenggelam. Sunset selalu terlihat cantik dan menawan di pantai ini, apa lagi dilengkapi dengan tanaman bakau. Pada saat-saat tertentu, air laut surut hingga ke dalam, saat itulah bakau-bakau itu nampak, sebab biasanya tertutup permukaan air laut. Biasanya bakau-bakau itu nampak sebagai siluet yang manis dilengkapi dengan beberapa perahu nelayan yang tertambat di tepi pantai. Karena itulah, sunset di Walakeri memang selalu cantik. Tiba di pantai Walakeri, niat berburu sunset pun hilang lantaran air laut tidak surut dan langit mendung sehingga matahari tidak nampak. Sayang sekali, akhirnya Tim Media Trip memilih beristirahat sejenak di pantai ini, sekedar menikmati pantai dan bercerita.

Selain mengunjungi tambak garam di Watumbaka dan pantai Walakeri, pada Kamis 23 Maret 2017 tim Media Trip juga mengunjungi desa Mondu yang menjadi salah satu desa binaan BCC untuk pengembangan ekowisata. Desa Mondu terletak di Kecamatan Kanatang, Sumba Timur.  Di desa Mondu, BCC mengadakan Pelatihan Pengelolaan Ekowisata Desa bagi kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Prailengu.

 

 

Dari kantor desa Mondu tim bergegas ke kampung Prainatang, sebuah kampung adat yang terletak di puncak bukit dan melewati salah satu tempat pengambilan gambar untuk film Pendekar Tongkat Emas produksi Miles Films tahun 2014 lalu. Di depan sebuah gerbang batu kami diharuskan memakai kain Sumba yang sudah disediakan atau pun yang dibawa dari rumah. Perempuan menggunakan sarung dan para lelaki menggunakan kain untuk kalambung. Kalambung adalah sebutan untuk cara berbusana pria Sumba.

Di Prainatang, tim duduk sejenak di rumah salah satu warga yang juga menjual beberapa produk lokal seperti anyaman tempat sirih pinang, anyaman topi serta patung-patung yang terbuat dari kayu. Tim Media trip lalu dipandu berkeliling kampung oleh salah satu anak muda dan warga yang menjelaskan semua hal tentang kampung ini. Dimulai dari rumah-rumah yang ada, kuburan-kuburan dan kehidupan masyarakat di kampung Prainatang. Sebagai salah satu kampung tua, Prainatang sangat dihormati oleh penghuninya. Beberapa pertanyaan seputar kehidupan leluhur masih disimpan dan tidak diceritakan karena untuk memceritakannya dibutuhkan restu dari leluhur melalui sebuah ritual bahkan ada rumah yang memang tidak boleh di abadikan dalam bentuk foto.

 

 

Kampung Prainatang memang salah satu tempat di mana kita masih bisa menemukan jejak leluhur melalui kehidupan yang dijalani masyarakatnya. Suasana sakral dapat dirasakan hanya dengan melihat rumah-rumah dan kuburan yang tua serta pohon-pohon berbatang besar yang sudah sangat tua. Apalagi di tambah dengan gerbang batu sebagai satu-satunya tempat memasuki kampung ini. Mungkin karena alasan itulah, tahun 1994 seorang Sutrada Indonesia bernama Garin Nugroho memilih menjadikan prainatang sebagai salah satu settingan tempat untuk film yang berjudul Surat Untuk Bidadari.

Meninggalkan kampung Prainatang, tim Media Trip bergerak menuju ke pantai Kapihak. Pantai ini akan dikembangkan menjadi salah satu destinasi wisata alam desa Mondu. Beberapa anak-anak perempuan menarikan tarian Kandingang diiringi dengan pukulan gong dan tambur serta kayaka dan kakalak dari mama-mama dan bapak-bapak yang ada menyambut kedatangan tim. Kayaka adalah seruan pengiring tarian Sumba yang diserukan oleh para pria. Sementara kakalak adalah seruan pengirig tarian yang diserukan oleh kaum wanita. Seruan kayaka dan kakalak ini selalu berhasil menambah kesan riuh, gegap gempita dan suka cita dalam tarian sumba. Setelah anak-anak menari, dua orang bapak lalu menarikan tarian Kabokang dengan iringan kayaka dan kakalak yang tidak kalah heboh.

 

Dari pantai Kapihak kami menuju kampung Padadita yang juga masih berada dalam wilayah desa Mondu. Aktivitas yang paling menonjol dalam kampung ini adalah aktivitas menenun. Seperti kebanyakan para perempuan wilayah pesisir utara lainnya, aktivitas menenun juga menjadi bagian dari keseharian perempuan di kampung Padadita dan ini menjadi salah satu daya tarik yang dapat melengkapi tujuan untuk menjadikan desa Mondu sebagai salah satu tujuan wisata karena penenun di kampung ini masih menggunakan pewarna alami.

Beberapa bahan tanaman yang digunakan sebagai pewarna alami sengaja ditanam dan dirawat oleh pengrajin tenun di kampung Padadita. Hal ini bertujuan untuk menjaga kelestarian bahan pewarna alam serta agar bisa tetap konsisten untuk menggunakan pewarna alami dalam proses pembuatan kain tenun. Salah satu keunggulan dalam proses pewarna alami adalah warna kain yang terlihat lebih cerah dan tebal. Meski pembuatan kain tenun dengan pewarna alami membutuhkan usaha yang keras dan menghabiskan waktu yang lama, namun keindahan yang didapatkan lebih memuaskan dan lebih mahal dari kain yang dengan bahan pewarna kimia. Dari kampung Padadita, kami semua kambali ke Waingapu untuk beristrahat.

Perjalanan panjang melintasi Sumba yang dimulai dari Sumba Barat Daya melewati Sumba Barat, Sumba Tengah hingga tiba di Sumba Timur memang melelahkan. Namun apa yang didapat dari perjalanan itu lebih dari sekedar berwisata sebab perjalanan ini adalah tentang menemukan apa yang sudah ada di sumba sejak dahulu, tentang mendengarkan nasihat-nasihat leluhur yang dititipkan dalam banyak ritual, tentang mengagumi alam tanpa harus egois untuk memilikinya sendiri, tentang kehidupan masyarakat yang pantas untuk dihargai. Perjalanan ini adalah tentang jatuh cinta pada sumba untuk pertama kali atau pun kesekian kalinya, lalu memutuskan untuk menjaga dan mempertahankan setiap hal yang ada di sumba agar kelak, generasi sumba kesekian tetap mengenali sumba sebagai rumah tempat mereka merayakan kehidupan. Kelelahan dalam perjalanan ini telah dibayar dengan rasa kagum yang tak ada habisnya meski perjalanan selalu disertai hujan yang kadang mengguyur dengan deras. Atas ijin semesta, kegiatan ini berjalan tanpa banyak halangan dan rintangan yang berarti.

 

 

“Sumba ini menawarkan keindahan alam dan budaya yang sangat menarik. Untuk menjadikan Sumba sebagai tempat wisata, maka masyarakat Sumba perlu siap, salah satunya dengan menyiapkan pemandu wisata yang dapat memandu dan menjelaskan tentang Sumba pada pengunjung atau wisatawan' ungkap Dwi Oblo Budi Santoso, fotografer dari majalah National Geographic.

Ya, tawaran yang diberikan oleh Sumba memang sangat menarik. Alam, budaya, kehidupan masyarakat dan aneka tawaran lainnya dapat ditemukan di sumba. Ini tawaran yang menggiurkan, namun masyarakat perlu siap. Semakin menarik dan semakin banyak tawaran yang diberikan, akan semakin banyak ancaman dan tantangan yang datang, masyarakat perlu kuat dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Karena untuk mempertahankan itu semua dibutuhkan usaha yang lebih keras. Masyarakat Sumba harus jadi tuan di tanahnya sendiri. Karena itu gaung ‘humba li la mohu’ perlu diganti dengan pekikkan yang lebih keras ‘nda humba li la mohu akama”. **

Catatan:  
humba li la mohu : Sumba yang menuju kemusnahan
nda humba li la mohu akama : kami bukan sumba yang menuju kemusnahan

Feedback
Share This: