Potensi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Ekowisata di Sumba Barat

Anda di sini

Depan / Potensi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Ekowisata di Sumba Barat

Potensi Masyarakat Lokal dalam Pengembangan Ekowisata di Sumba Barat

Pada tanggal 29-30 Mei 2017 Blue Carbon Consortium (BCC) yang merupakan kolaborasi antara Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL IPB), Perkumpulan Pemberdayaan Masyarakat dan Pendidikan Konservasi Alam (YAPEKA) dan  Training and Facilitation for Natural Resources Management (TRANSFORM) mengadakan kegiatan Pelatihan Pemandu Ekowisata lokal berlokasi di Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat. Kegiatan ini bertujuan untuk mendistribusikan pengetahuan pada kelompok tentang pemandu wisata  dan meningkatkan percaya diri kelompok untuk menjadi pemandu wisata dan difasilitasi oleh Bapak Sonny Rozali dari YAPEKA.  Sebanyak 20 orang yang terdiri dari aparat desa serta ketua dan anggota kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Tana Nyale hadir sebagai peserta. Proses penerimaan materi dilakukan di Kantor desa sementara prakteknya dilakukan di Kampung Adat Waru Wora.

Pelatihan ini dibuka oleh Drs.S.C.Poro selaku Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Sumba Barat. Dalam sambutannya, beliau mengapresiasi kegiatan yang memiliki nilai positif bagi masyarakat, budaya dan lingkungan. Beliau berharap kedepannya agar makin terjalin kerja sama yang erat antara pemerintah, pihak swasta seperti BCC serta masyarakat lokal agar dapat terus memajukan sektor pariwisata di wilayah kabupaten Sumba Barat – NTT.

 

 

 

 

Secara sederhana, pariwisata dapat diartikan sebagai suatu (kegiatan) perjalanan seseorang dari tempat asalnya ke suatu tempat atau lingkungan yang berbeda dengan kondisi lingkungan asalnya untuk suatu tujuan tertentu seperti rekreasi, bisnis, silaturahmi atau kunjungan keluarga atau tujuan lainnya, yang memerlukan waktu lebih dari 24 jam, serta memanfaatkan unsur-unsur pendukung atau fasilitas penunjang kepariwisataan misalnya: transportasi, akomodasi, rumah makan, hiburan, dan lainnya. Dalam UU No. 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, pariwisata didefinisikan sebagai berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, pemerintah dan pemerintah daerah.

Dalam perkembangannya, ada beberapa komponen yang mempengaruhi pariwisata.  Pasar wisatawan, baik itu domestik atau pun lokal memiliki penghubung dengan masyarakat lokal yakni sumber daya lingkungan alam dan  sosial budaya. Sumber daya lingkungan alam dan sosial budaya akan menjadi penghubung yang baik ketika didukung oleh atraksi dan kegiatan wisata, transportasi, akomodasi, infrastruktur, fasilitas pendukung wisata lainnya serta unsur institusi atau kelembagaan dan SDM.

 

Seiring waktu berjalan pariwisata juga mengalami perubahan permintaan pasar yang disesuaikan dengan keinginan wisatawan yang hendak berkunjung. Beberapa perubahan ini antara lain tumbuhnya gaya hidup hijau, dan tendensi perubahan dari “general atau common interest tourism” ke arah “special interest tourism”.  Misalnya 83% wisatawan Inggris ingin agar liburannya tidak merusak lingkungan, di Jerman 65% pelancong mengharapkan kualitas lingkungan, beberapa turis Amerika Serikat dan  Australia menganggap seharusnya hotel memiliki kebijakan dalam perlindungan lingkungan dan dukungan ke penduduk lokal. Perubahan ini menegaskan bahwa lingkungan yang asri serta berbagai potensi lokal adalah hal yang menarik bagi wisatawan. Untuk menjawab perubahan tersebut, konsep pariwisata berkelanjutan dan bertanggung jawab adalah sebuah solusi. Pariwisata berkelanjutan atau sustainable tourism merupakan pariwisata yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka (Weaver, 2001). Pariwisata bertanggung jawab atau responsible tourism adalah pariwisata yang mempertimbangkan dan mengurangi dampak negatif kegiatannya bagi lingkungan alam dan budaya di sekitarnya.

Ekowisata/ecotourism adalah salah satu kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya dan ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan. Proses memanjakan wisatawan namun tidak memberikan dampak negatif kepada lingkungan dengan cara membawa wisatawan ke objek wisata alam yang eksotis dengan cara ramah lingkungan pada satu wilayah tertentu itulah Ekowisata. Ekowisata akhirnya menjadi pilihan tepat untuk membangun sektor ekonomi tanpa mengesampingkan daya tampung dan dukung lingkungan. Dengan kata lain melalui pengembangan ekowisata kita telah mengajak masyarakat untuk ikut menjaga lingkungan sebagai sumber pendapatan. Ini menjadi strategi tepat karena dari proses dapat kita lihat terjadi saling membutuhkan antara masyarakat dan lingkungan.

 

Dalam konteks Sumba khususnya Sumba Barat seperti yang kita ketahui, Sumba Barat memiliki banyak objek wisata misalnya pantai, air terjun, budaya dan masih banyak objek menarik lainnya. Hal ini menunjukkan pengembangan wisata dengan pendekatan ekowisata akan menjadi sektor yang sangat menjanjikan. Promosi wisata Sumba juga terlihat semakin gencar dilakukan dan hal ini tentu saja akan berdampak pada peningkatan jumlah wisatawan. Untuk mendukung proses tersebut diperlukan sarana dan prasarana yang mendukung. Akan tetapi juga perlu dipastikan adalah tersedianya sumber daya manusia yang mampu menerjemahkan program-program wisata. Prospek pengembangan ekowisata sangat positif. Pertumbuhan ekowisata berkisar  20-34% per tahun. Tahun 2004 ekowisata atau tumbuh 3 kali lebih cepat dibandingkan industri pariwisata lainnya. Jumlah ‘ecotourist’ diperkirakan 10%-20% dari keseluruhan wisatawan dunia. Ekowisata diperkirakan masih akan tumbuh cepat hingga 2 dekade mendatang.

 

Peluang Pemandu Ekowisata Lokal

Untuk mendukung kenyamanan dan keamanan di lokasi wisata diperlukan pemandu-pemandu yang mengerti dan paham benar tentang kondisi atau sejarah sebuah objek wisata. Maka perlu dilakukan pendampingan secara berkala untuk menghasilkan aktor yang mampu menjadi pemandu. Keterlibatan pemandu lokal merupakan hal yang penting dalam ekowisata. Pasalnya sebagai orang yang menjalankan kehidupan di tempat sasaran ekowisata, penduduk lokallah yang berpotensi untuk menjadi pemandu. Untuk menjadi pemandu, seseorang harus memiliki kelebihan dalam hal skills (keterampilan), knowledge (pengetahuan), dan attitude (sikap). Skill dapat berupa persiapan, teknik pemanduan serta pembuatan laporan. Knowledge dapat berupa pengetahuan mengenai obyek alami, obyek buatan, budaya, istilah-istilah pariwisata, manajemen dan kepemimpinan. Attitude sendiri dapat berupa unjuk kerja, pemberian informasi, komunikasi serta etiket (cara bergaul).

 

Ketika seseorang memutuskan menjadi pemandu ekowisata maka ia akan memiliki beberapa keuntungan dalam dirinya. Pemandu wisata  merupakan profesi yang sangat ideal untuk orang-orang yang ingin memiliki banyak teman. Setiap bertugas, pemandu wisata  akan bertemu dengan banyak wisatawan yang tentu saja memiliki latar belakang berbeda-beda. Seorang pemandu wisata haruslah mempunyai wawasan yang luas. Kemampuan untuk bergaul dengan wisatawan yang berasal dari latar belakang berbeda-beda sangat ditunjang oleh pengetahuan umum yang memadai. Tidak hanya pengetahuan tentang destinasi wisata ataupun P3K saja. Ketika memandu wisatawan, seorang pemandu wisata bisa dianggap sedang “ikut jalan-jalan”, bahkan jika sedang ditugaskan untuk memandu wisatawan nusantara ke luar negeri, maka pemandu wisata juga bisa ikut nimbrung berwisata, bahkan sambil mendapat bayaran dan tips dari wisatawan. Karena hubungan antara pemandu wisata dan wisatawan bisa sangat dekat, maka kemungkinan untuk mendapatkan relasi dari wisatawan yang dipandu menjadi sangat besar. Pemandu wisata adalah ujung tombak pariwisata.

 

Dalam menjadi pemandu lokal, seseorang harus memahami tentang interpretasi. Menurut Freeman Tilden dalam interpreting our heritagi, interpretasi didefiisikan sebagai aktifitas bersifat mendidik yang bertujuan untuk mengungkapkan arti dan hubungan melalui penggunan objek asli dan pengalaman tangan pertama serta dengan media ilustrasi, lebih dari sekedar mengkomunikasikan informasi factual. Untuk meningkatkan kekuasan pengunjung, seorang pemandu harus mahir melakukan interpretasi untuk menceritakan hal-hal yang menarik dari objek yang ada. Karena itu seorang pemandu perlu memahami hal-hal menarik disekitarnya dan mampu menceritakan dengan lugas dan santai tanpa terkesan memaksakan pendengar untuk mendengarkan apa yang ia katakan. Pendengar bisa saja bosan dan jenuh tapi itu semua kembali lagi pada kemahiran bercerita seorang pemandu lokal.

 

Melalui pelatihan ini peserta merasa sangat beruntung karena dilibatkan. Ibu Agustina Djala yang merupakan seorang anggota Pokdarwis Tana Nyale mengatakan bahwa melalui pelatihan ini, ia bisa lebih menyadari tentang banyak hal menarik yang ada dikampungnya. Hal senada juga disampaikan oleh Yumiati T. Goro yang mengatakan “Saya senang karena menambah pengetahuan. Banyak hal yang saya anggap biasa saja padahal sebanarnya itu bisa menjadi hal yang menarik bagi orang luar khususnya wisatawan. Saya akan terus menjaga semua yang sudah ada di sini agar bisa terus ada dan Lestari.”

 

 

Setelah menerima materi di kantor desa, peserta diajak untuk melakukan praktek di kampung Waru Wora, sebuah kampung tua yang berada Desa Patiala Bawa. Waru wora merupakan hasil plesetan dari kata Yarro Wora yang berarti periuk wora. Wora sendiri merupakan salah satu tanaman pewarna alami untuk kain yang ditenun di kampung ini. Jadi Waru Wora dapat diartikan sebagai tempat yang dikenal sebagai tempat memasak wora untuk menghasilkan pewarna alami pada kain tenun. Ada 33 rumah panggung yang semuanya beratap ilalang dan ditempati oleh sekitar 50 kepala keluarga. Di kampung ini, selain rumah-rumahnya yang asli, terdapat kuburan-kuburan tua serta cerita menarik tentang kejadian-kejadian dulu karena kampung ini merupakan kampung pertama yang berada di daerah tersebut.

Seperti kebanyakan kampung adat lainnya di Sumba, kampung Waru Wora juga terletak di ketinggian. Dari kampung ini terlihat laut di kejauhan serta hamparan sawah-sawah di sisi lainnya. Budaya keindahan lingkungan adalah tawaran menarik di kampung tua ini.

 

“Kami akan terus berusaha untuk memperkenalkan potensi wisata yang ada di sini sekaligus menjaga lingkungan dan budaya. Dengan pendampingan yang dilakukan oleh BCC kami mendapat banyak hal baru. Kami mendapat banyak masukan yang akan berguna sebagai dasar bagi kami untuk megembangkan potensi desa” ungkap Bapak Timotius Tede Bola, Ketua kelompok sadar wisata (Pokdarwis) Tana Nyale di sela-sela kegiatan.

Ada banyak hal menarik dari alam dan budaya. Menikmati semua hal menarik itu tanpa harus merusaknya adalah tanggung jawab bersama. Setiap generasi sumba berhak menikmati budaya dan alam yang cantik. Karena itu, mari menjaga budaya dan memperlakukan alam dengan baik, mari bekerja sama dengan masyarakat, pemerintah dan swasta karena menjaga sumba adalah cita-cita bersama. **

 

Feedback
Share This: