Model Adaptasi Perubahan Iklim Sektor Pertanian Di Nusa Tenggara Barat
Pertanian, terutama subsektor tanaman pangan, merupakan subsektor yang paling rentan terhadap perubahan iklim. Terutama terkait tiga faktor, yaitu biofisik, genetik, dan manajemen. Hal ini disebabkan karena tanaman pangan umumnya merupakan tanaman semusim yang relatif sensitif terhadap cekaman, teutama cekaman (kelebihan dan kekurangan) air. Secara teknis, kerentanan sangat berhubungan dengan sistem penggunaan lahan dan sifat tanah, pola tanam, teknologi pengelolaan tanah, air, dan tanaman, serta varietas tanaman. Tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap sektor pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), (2) peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan muka laut.
Berbagai bentuk adaptasipun telah dilakukan, mulai dengan pemilihan varietas komoditas yang adaptif terhadap lingkungan, teknologi pasca-panen/pengolahan, teknologi pembenihan/pembibitan, dan teknologi budidaya pertanian yang sesuai dengan kondisi iklim serta mengintegrasikan tanaman dan pemeliharaan ternak. Namun kendala yang masih dihadapi dalam belum optimalnya implementasi beberapa strategi adaptasi yang disebabkan kurang tersentuhya aspek sosial. Aspek sosial yang dimaksud adalah pola pikir serta perilaku petani dalam melakukan praktik usahatani masih mengandalkan “cara lama”, baik dari segi pemilihan tanaman, pola tanam hingga pada pemberian dosis pupuk dan obat-obatan.
Hal tersebut diatas disampaikan oleh beberapa peneliti yang juga menajadi narasumber pada workshop yang dilaksanakan oleh CoE CLEAR PETUAH Universitas Mataram pada tanggal 15 Juni 2016. Workshop yang bertempat di ruang sidang Fakultas Pertanian ini mengangkat Tema “Model Integrasi Tanaman dan Ternak untuk Adaptasi Perubahan Iklim”. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan model-model usahatani yang telah diterapkan sebagai bentuk adaptasi teradap perubahan iklim. Beberapa model yang telah diterapkan adalah dengan mengintegrasikan tanaman dan ternak, melakukan budidaya holtikultura berkelanjutan serta dengan pengembangan usahatani terpadu tanpa limbah.
Pada model budidaya hortikultura berkelanjutan, pola adaptasi yang dilakukan adalah dengan penyesuaian jenis tanaman dengan kondisi lahan dan musim serta mengkombinasikan jenis tanaman (lebih dari satu jenis pada satu hamparan lahan). Tujuannya adalah untuk mengatasi fluktuasi harga produk holtikultura serta mengantisipasi terbatasnya suplai air yang dibutuhkan oleh tanaman. Tentunya penanaman jenis pertama dengan jenis kedua diberikan jarak waktu, cara ini juga akan menjamin kontinuitas pendapatan petani. Namun beberapa hal yang menjadi catatan penting dalam penerapan model ini adalah pertama, pengembangan sektor holtikultura diperlukan intervensi untuk meningkatkan keterampilan dan pemahaman untuk petani. Kedua, sustainable produk holtikultura sangat diperlukan agar dapat menjamin kebutuhan pasar. Ketiga, berdasarkan kondisi lahan, curah hujan, maka sangat memungkinkan penanaman beberapa produk hortikultura di luar musim.
Sedangkan pada penerapan pertanian terpadu tanpa limbah pola adaptasiya adalah dengan pengembangan tanaman pangan (seperti Jagung), dimana batang pohon jagung bisa dimanfaatkan untuk pakan ternak. Dimana pada pola ini benih jagung yang ditanam tidak hanya satu atau dua biji jagung melainkan lima-enam biji jagung pada satu lubang. Pada saat tumbuh satu persatu batang batang jagung dapat ditebang untuk kebutuhan pakan, hingga menyisakan dua batang jagung yang dibiarkan berbuah. Saat jagung berbuah petani dapat memanennya dalam bentuk buah basah maupun buah kering. Kedua kondisi ini tetap bisa dimanfaatkan untuk sumber pakan ternak. Selanjutnya dari ternak akan dihasilkan limbah ternak (kotoran) yang diolah menjadi biogas yang bisa dipergunakan sebagai penerang mupun untuk keperluan memasak. Selanjutnya ampas biogas tersebut (bio slurry) akan dikembalikan lagi ke tanaman sebagai pupuk. Model usahatani terpadu ini merupakan salah satu bentuk usaha sinergis, ramah lingkungan, serta dapat mengoptimalkan produktivitas lahan. Namun demikian penerapan model ini di tempat lain tetap harus disesuaikan dengan kondisi agro-ekologi dan sosial budaya setempat.