Meningkatkan Ketahanan Pangan Dari Rumah Tangga
Udara terasa cukup panas siang itu ketika kami tiba di rumah Ibu Murni, Sekretaris Cabang KPI (Koalisi Perempuan Indonesia) Lombok Timur. Letaknya di Dusun Pongkor Desa Gerisak Semanggeleng Kecamatan Sakra Barat Kabupaten Lombok Timur. Cukup sulit untuk kami bisa sampai di dusun tersebut. Selain Semanggeleng ini desa baru, jalan menuju desa tersebut juga cukup lengang. Hanya sesekali saja kami berpapasan dengan pengendara motor. Sempat bertanya pada seorang Ibu-lebih tepat dipanggil nenek-tapi ternyata justru membuat kami semakin tersesat. Sulit untuk menemukan orang untuk bertanya. Kalaupun ada kami hanya bertemu dengan anak-anak atau beberapa orang berusia lanjut. berbagai macam tanya mulai menggangu kami. Namun saat itu yang utama bagi kami adalah harus tiba di Dusun Pongkor dengan segera. Kami baru berhasil tiba di lokasi kegiatan setelah berkali-kali menelpon Mbak Hen, salah satu anggota KPI Lombok Timur yang saat ini menjadi ketua Dewan Kelompok Kepentingan (DKK) untuk bidang pertanian.
Di teras rumah, sekitar lima belas ibu-ibu anggota kelompok tani telah duduk beralaskan tikar menghadap ke baskom yang setengahnya berisi Kacang Hijau yang sudah dihaluskan. Jelas terlihat raut penasaran di wajah mereka. Kue macam apa yang akan mereka pelajari hari ini? Seperti memahami keadaan, setelah berkenalan dan menyapa peserta, Ibu Murni langsung memulai praktik pembuatan kue siang itu. Namanya kue Tempani, sebagian besar masyarakat Lombok mengenal kue tersebut. Biasanya berbahan dasar tepung ketan yang campur dengan parutan gula aren, setelah rata tepung tersebut di cetak dengan cetakan khusus tempani lalu di jemur. Setelah mengeras, kue tempaini siap dihidangkan. Tapi kali ini, sedikit berbeda. Tempani yang diajarkan kepada ibu-ibu tidak menggunakan tepung ketan melainkan tepung kacang hijau, campurannya pun tidak lagi menggunakan gula aren tetapi menggunakan gula halus dan untuk menambah kandungan gizinya ditambah susu bubuk. Dilanjutkan dengan teknik yang sama dengan Tempani Ketan.
Satu persatu bahan dimasukkan dalam baskom sambil Ibu Murni menjelaskan teknik serta manfaat dari masing-masing bahan campuran tersebut. satu dua kali terdengar sahutan peserta bertanya tentang proses pembuatan kue. Untuk mengurangi rasa penasaran Ibu Murni meminta peserta untuk mencoba membuat dan mencetak kue tersebut. Tawa riang menyertai ketika mereka berhasil membuat beberapa kue dan menaruhnya diatas nampan. Namun tidak jarang sorak sorai terdengar ketika ada peserta yang tidak berhasil mengeluarkan kue dari cetakan, ini karena tepung kurang dipadatkan saat dicetak. Setelah dua kali mencoba mereka mulai mahir dan terlihat sangat menikmati setiap prosesnya. Sambil mengobrol tangan mereka terus bekerja.
“deq te badeq, kacang ijo bau jari jaje meni. Barang ambur, mun tealur nyangke begutu, deq te taon ntan yaq gaweq” (tidak diduga, ternyata kacang hijau bisa dibuat kue seperti ini (tempani), padahal kacang hijau melimpah tapi tidak tau bagaimana mengolahnya sehingga kacang hijau disimpan sampai kutuan). Demikian sepenggal obrolan mereka yang sekilas kami dengar. Ini baru kacang hijau, banyak komoditas lainnya seperti kedelai, asem, singkong, dan labu melimpah di desa ini. Karena tidak bisa mengolahnya tidak jarang labu dibirkan saja menua dan rusak bersama pohonnya. Lain lagi dengan singkong, selain di rebus dan dibuat Opak, singkong dibiarkan tumguh di pematang hingga bertahun-tahun. Mereka hanya memanfaatkan daunnya sebagai sayur. Sayur dan singkong biasanya ditanam di pematang sawah yang hanya bisa ditanami padi satu kali setahun. Karena sawah hanya mendapat aliran air di musim penghujan saja. Pada bulan-bulan basah seperti saat ini, hamparan hijau sawah-sawah yang ditanami padi menjadi pemandangan yang sangat indah, saat panen padi berakhir dilanjutkan dengan tanaman hortikultura seperti kacang tanah, kedelai atau kacang hijau. Namun jika musim kemarau tiba, pemandangan berbeda akan kita temui. Rumput yang semula hijau mulai menguning, sawah sudah bisa ditanami sayur apalagi padi. Bagi petani yang memiliki cukup modal maka akan mulai menanam tembakau, tapi bagi mereka yang tidak memiliki modal maka lahan tersebut akan dikosongkan.
Setelah berdiskusi dan menyepakati jadwal pertemuan berikutnya, tidak terasa Kue Tempani yang telah dijemur tadi mulai mengeras. Masing-masing ibu mendapatkan bagian kue sebagai tester. Rona kepuasan tampak diwajah mereka setelah mencicipi kue yang sudah mereka buat. Tak lama, satu persatu mereka meninggalkan tempat pelatihan karena berbagai pekerjaan di sawah sudah menunggu. Sesaat kemudian kembali kami melihat ibu-ibu tersebut. namun kali ini mereka berjalan dengan peralatan yang cukup lengkap. Keranjang, sabit dan cangkul di tangan mereka. Tak lupa capil sudah melekat di kepala mereka. senyum ramah menghiasi wajah mereka saat berpapasan dengan kami ketika hendak pulang. Langkah mereka terlihat sangat ringan, padahal mereka akan melakukan pekerjaan yang cukup berat. Yang semestinya dilakukan oleh lelaki. Ah ya, lelaki. Sejak pertama memasuki desa kami tidak pernah menemukan lelaki dewasa. Baik di pinggir jalan, teras rumah apalagi di tengah sawah. Awalnya kami berfikir, mungkin para lelaki dewasa sedang beristirahat sepulang sholat jumat. Tapi hingga sore kami hanya bertemu dengan lelaki yang masih berusia anak-anak, remaja dan lansia. Yang usia produktif kemana?
Jawaban dari semua pertanyaan kami dapatkan diatas kendaraan ketika pulang. Mbak Hen menumpang di kendaraan kami sampai ke rumah orang tuanya yang terletak di desa sebelah. Sepanjang perjalanan Mbak Hen menceritakan kondisi Desa Semanggeleng. Salah satu desa yang sebagian besar kaum lelakinya merantau ke Malaysia. Yang tersisa hanyalah kaum perempuan, anak-anak, remaja dan orang tua yang berusia lanjut. Akibatnya, segala tugas dan tanggung jawab lelaki sebagai Kepala rumah Tangga secara otomatis beralih kepada perempuan, khususnya ibu-ibu. Mereka tidak hanya mengerjakan pekerjaan domestik dan segala urusan mendidik anak saja, tetapi segala pekerjaan di sawah mulai dari persiapan lahan, perawatan tanaman hingga pemanenan semua dikerjakan oleh ibu-ibu. Di musim penghujan, pekerjaan mereka termasuk ringan karena sumur di dekat perkampungan berisi air. Namun di musim kemarau, mereka terkadang harus berjalan kiloan meter untuk dapat mencapai sumur-sumur yang berair. Tidak hanya berjalan jauh, dilokasi sumur mereka harus juga mengantri. Cukup banyak waktu mereka yang tersita untuk memenuhi kebutuhan akan air.
“yang Mbak lihat tadi, itu dia bukan menggendong adiknya. Tetapi yang dia gendong itu anaknya”, ungkap Mbak Hen seraya menunjuk seorang gadis di pinggir jalan. Meski di luar dugaan, anak sebelia itu sudah menggendong anak, pemandangan serupa juga seringkali kita temui di beberapa desa di Pulau Lombok. Sehingga bukan menjadi pemandangan yang mengejutkan. Namun kehidupan mereka seringkali memprihatinkan. Usia yang terlalu muda belum memberikan pemahaman dan pola pikir yang dewasa sebagai bekal menghadapi kenyataan hidup. Nikah dini dan menjadi janda di usia dini pula.
Beberapa gambaran diatas menjadi latar belakang bagi Koaisi Perempuan Indonesia (KPI) untuk terus memberikan pendampingan kepada masyarakat di Desa Semanggeleng untuk dapat menggali dan meningkatkan segala sumberdaya dan potensi yang ada untuk perbaikan kualitas kehidupan. Melalui dana hibah yang diberikan oleh Millenium Challenge Account (MCAI) Indonesia, KPI berupaya untuk memperkuat kepemimpinan perempuan untuk mewujudkan kemandirian ekonomi, kedaulatan pangan dan lingkungan yang berkelanjutan. Khususnya di bidang pertanian. Dalam program ini KPI berencana akan membentuk Rumah Sehat. Rumah Sehat yang dimaksud tidak hanya dalam pengertian kesehatan fisik penghuni, sehat jenis pangan yang dikonsumsi serta sehat lingkungan saja. Tetapi lebih kepada penerapan nilai-nilai kejujuran.
Sejauh ini, perempuan di Semanggeleng telah menjalani kehidupan dengan beban ganda, sebagai ibu rumah tangga sekligus sebagai kepala keluarga. Hasil panen yang meraka dapatkan hanya untuk konsumsi keluarga, tetapi mereka memiliki kemampuan terbatas dalam mengolah sumber pangan yang mereka miliki. Karena itu, KPI terus mendorong kreativitas anggota kelompok tani perempuan dalam mengolah makanan khususnya berbahan dasar komoditas lokal. Harapannya pangan yang konsumsi akan meningkatkan kulitas gizi keluarga dengan membuatnya dalam bentuk yang lebih variatif. Lebih dari itu, hasil olahan pangan tersebut dapat ditampung dalam Rumah Sehat, untuk selanjutnya dapat dipasarkan atau dibarter dengan Rumah sehat di Kabupaten lain atau pedagang lainnya. Dari keterampilan yang meraka peroleh tersebut tidak hanya akan membangun ketahanan pangan di level keluarga saja, tetapi juga akan memberikan tambahan pemasukan bagi rumah tangga kelompok tani.