Menenun Mimpi Bersama Para Pelestari Tenun Ikat Pewarna Alam di Sumba Timur

Anda di sini

Depan / Menenun Mimpi Bersama Para Pelestari Tenun Ikat Pewarna Alam di Sumba Timur

Menenun Mimpi Bersama Para Pelestari Tenun Ikat Pewarna Alam di Sumba Timur

Ada yang sangat istimewa dari kehidupan orang Sumba, yaitu soal kemampuannya menerjemahkan hidup kesehariannya dalam simbol-simbol yang digambarkan melalui berbagai media komunikasi dan informasi. Salah satu media tersebut adalah kain tenun ikat, yang pada awalnya dibuat untuk keperluan ritual magis. Kain tenun ikat ini ada yang sudah berumur ratusan tahun tetapi tetap awet dengan warna dan coraknya. Disamping itu, kain tenun ikat Sumba Timur selain menampilkan beragam corak dan motif yang menggambarkan nilai kulturalnya yang sangat tinggi yang diciptakan oleh leluhur mereka pada ratusan tahun silam, juga menggambarkan tentang suasana “surganya orang Sumba Timur”.

 

Dalam buku berjudul “Kajian Budaya Tenun Ikat Sumba Timur” karya Bapak Palulu P Ndima, dijelaskan bahwa tradisi masyarakat Sumba tidak mengenal adanya tulisan dalam bentuk teks atau huruf abjad konvensional, tetapi makna simbol biasanya disampaikan secara turun temurun, dari mulut ke mulut secara lisan dan penuturan puitik. Kondisi inilah yang kemudian mengakibatkan sebagian masyarakat Sumba Timur termasuk pengrajin tenun ikatnya tidak mengetahui secara pasti mitos dan legenda asal usul nenek moyang mereka dan makna yang terkandung dari corak pada kain tenun ikat tersebut.

 

 

Bagi orang Sumba sendiri, kegiatan menenun tidak hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan akan busana saja tetapi yang lebih mendasar adalah untuk memenuhi kebutuhan sistem nilai dan budaya yaitu kepentingan adat yang berkaitan dengan perkawinan, peristiwa religi, sosial budaya lainnya. Sehingga jika ditinjau dari segi fungsi dan pemakaiannya tenun ikat Sumba Timur telah mengalami perubahan dalam perjalanan dimensi waktu.

 

Paluanda Lama Hamu dan Inovasi Tenun Ikat Pewarna Alam
Adalah kelompok Tenun Paluanda Lama Hamu yang telah ada sejak tahun 1992, salah satu dari sekian banyak komunitas tenun ikat Sumba Timur yang sejak dulu konsisten memanfaatkan pewarna alam pada produk tenunnya. Saat ini  Paluanda Lama Hamu sedang  berkonsorsium dengan Samdhana Institute dan Yayasan Sekar Kawung untuk mengerjakan sebuah proyek berjudul” Menguatkan Budaya-Ekologi dan Ekonomi Tenun Pewarna Alam Dalam Rangka Pembangunan Rendah Emisi di Sumba Timur” dengan dukungan dari Millenium Challenge Account (MCA) Indonesia lewat Hibah Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat (Jendela 2).

Tujuan program yang dilaksanakan adalah terbentuknya jaringa usaha mikro yang hijau di bidang usaha penjualan tenun pewarna alam, potensi tanaman food and beverage dan potensi wisata; terbentuknya budaya tenun pewarna alam yang penting di dalam konteks pembagunan berkelanjutan serta terciptanya tutupan lahan dengan tanaman pewarna alam dan tanaman potensi lain di Sumba Timur.
Secara tradisional, kain tenun ikat Sumba dibuat menggunakan zat-zat pewarna alami. Proses pembuatan selembar kain tenun ikat relatif rumit dan memerlukan waktu cukup lama. Proses pewarnaannya saja membutuhkan waktu berbulan-bulan, bahkan tahunan. Selain berkaitan dengan kebiasaan turun temurun, lamanya waktu yang diperlukan juga disebabkan karena jenis-jenis tumbuhan yang menjadi sumber zat warna-warna tertentu hanya tumbuh pada musim-musim tertentu.   

Karena bergantung pada bahan-bahan alami, pilihan warnanya pun terbatas. Warna biru, merah, hitam, dan kuning, merupakan warna yang biasa digunakan. Proses pewarnaannya relatif rumit dan memerlukan kesabaran.
Seiring perkembangan zaman dan dengan tersedianya bahan tekstil jadi, semakin sedikit wanita Sumba, terutama remaja yang berminat untuk membuat kain tenun ikat Sumba. Selain itu kurang atau bahkan tidak tersedianya buku bacaan terkait bahan-bahan dan proses pembuatan tenun ikat Sumba berdampak pada eksistensi tenun ikat Sumba.

Mengatasi kondisi-kondisi yang telah disebutkan diatas maka Yayasan Sekar Kawung dan Kelompok Tenun Palunda Lama Hamu yang diketuai Bapak Kornelis Ndapakamang mulai melakukan beberapa inovasi seperti: inovasi kain (yang mempertimbangkan trend pasar, motif dan pengembangan pasar), inovasi benang, anyaman lontar, bantal kapuk, sarung dan scraft serta produk pewarna alam dalam bentuk benang, pasta dan bubuk.

Sedangkan terkait dengan keberlanjutan tenun ikat pewarna alam sendiri, telah juga dilakukan kegiatan-kegiatan yang lebih berfokus ke pendidikan termasuk dokumentasi pengetahuan seperti pelatihan photovoice untuk anak, pameran hasil karya photovoice anak, workshop guru “Penggalian Kompetensi Dasar Berbasis Kekayaan Tenun Pewarna Alam”, penulisan-penyusunan buku Mulok (Muatan Lokal) tenun pewarna alam dan penyusunan buku anak tentang keanekaragaman hayati di Mauliru, Lambanapu dan Palakahembi.
Selain itu juga mengingat tahapan pengerjaan tenunan ikat yang cukup panjang, sejumlah aktifitas untuk mendukung keberlangsungan ekonomi para pengrajin tenun berbasis potensi alam yang ada disekitarnya juga telah dilakukan seperti pengembangan produk buah asam (sirup ready to drink, selai dan pasta), pengembangan produk mangga (selai dan kue kering), pelatihan ketrampilan kuliner dan pemetaan jenis-jenis tanaman pangan dan pewarna di 3 desa.

Tentu saja melihat inovasi yang sudah dilakukan ini kita semua sepakat bahwa kegiatan yang dilakukan untuk pemberdayaan penenun haruslah merupakan kegiatan terintegrasi antara melestarikan budaya dengan peningkatan ekonomi sehingga kegiatan-kegiatan lain seperti pengolahan bahan/tanaman yang ada disekitar juga menjadi aktifitas tidak terpisah manakala ada musim-musim tertentu dimana tenun tidak bisa dikerjakan. Seperti membuat sirup dan selai dari asam, dan lain-lain.  Disamping itu semua aktifitas produksi oleh penenun dapat dijadikan paket wisata tenun yang juga mendatangkan keuntungan bagi penenun bahkan desa.

“Inovasi yang kami lakukan ini hanya untuk ukuran dan warna kain bukan pada motifnya. Kami sama sekali tidak mengubah motif yang sudah ada, yang memang memiliki nilai budaya sangat tinggi. Berbagai produk turunan tenun yang kami hasilkan dimaksudkan agar tenun itu sendiri bisa mengikuti trend pasar misalnya untuk kebutuhan fashion” demikian menurut Bapak Wahyu Sigit Rahadi dari Yayasan Sekar Kawung.

 

Merajut Mimpi Bersama Untuk Pelestarian Tenun Pewarna Alam
“Bayangkan jika suatu saat di Sumba khususnya Sumba Timur ada wilayah-wilayah yang menjadi sentra tenun ikat tetapi ada juga yang menjadi supplier dari bahan pewarna alamnya. Selain produksi tenun terus berlanjut karena tidak terkendala denga ketersediaan bahan pewarna pada musim-musim tertentu yang bisa mengakibatkan pengrajin beralih ke pewarna kimia/sintetis, tentu saja tutupan lahan semakin bertambah dengan tanaman pewarna alam yang bisa juga bernilai ekonomis”.
Begitu bunyi salah satu potongan mimpi tentang bisnis model tenun pewarna alam yang dihasilkan dari Diskusi Hijau “Pelestarian Tenun Ikat Alami Sebagai Aset Kearifan Lokal di Sumba”, yang dilaksanakan oleh Yayasan Bakti dengan dukungan MCAI. Kegiatan di berlangsung pada tanggal 27 Juli 2017 di Meeting Room PC Corner Cafe and Resto Waingapu dan diikuti oleh sekitar 40 peserta yang berasal dar unsur DRM MCAI, OPD, DPRD, NGO, Media, Perguruan Tinggi, Sekolah Dasar, Budayawan, Asosiasi Pariwisata Sumba dan Komunitas Warga/Pengrajin Tenun Ikat. Diskusi dipandu oleh moderator Ibu Martha Hebi.

 

 

Kegiatan ini dibuka oleh Bapak Ir. Juspan Pasande, Msi selaku Sekretaris Daerah (Sekda) Sumba Timur, yang dalam sambutannya menyatakan bahwa, terkait tenun dapat dilihat dari dua sisi yaitu  tenun ikat sebagai bagian tidak terpisah dari budaya Sumba dan sebagai sumber ekonomi/pendapatan masyarakat. Kain Sumba memiliki nilai budaya sangat tinggi. Perlu perlindungan terhadap tenun Sumba karena saat ini sudah banyak yang membuat tiruannya dan dijual dengan harga yang jauh lebih murah. Kedepan memang perlu inovasi agar sesuai dengan kebutuhan pasar karena selama ini tenun Sumba pasarnya sangat ekslusif tetapi tidak boleh merusak nilai budaya dari tenun itu sendiri (menjaga motif).

Menurut Victoria Ngantung dari Yayasan BaKTI, kegiatan diskusi ini sebenarnya lebih untuk membuka ruang diskusi antara para pihak yang selama ini sudah, sedang dan terus melakukan pelestarian tenun pewarna alam di Sumba untuk memotret hal-hal yang telah dilakukan dan akan dilakukan untuk pelestarian tenun pewarna alam. “Dibutuhkan ruang refleksi dan instropeksi bersama untuk memastikan bahwa tenun Sumba bukanlah sebuah hanya sebuah dongeng di masa depan” tandas Victoria di sela-sela persiapan diskusi.

 

 

Mimpi lain yang muncul dalam diskusi ini juga adalah yang terkait dengan pemasaran dan promosi bersama dalam bentuk pembuatan leaflet tentang makna motif dan tahapan pembuatan tenun dan pewarna alam dan ini digunakan secara bersama di Sumba Timur. Untuk level pengambil kebijakan mimpi yang muncul adalah mendorong adanya kebijakan penggunaan tenun bagi anak sekolah (selama ini hanya gunakan Batik dan motif kotak-kotak); Pemerintah proaktif untuk membuat promosi tenun yang lebih profesional, tepat dan mudah diakses, misalnya baliho/reklame di bandara atau tengah kota dan juga membuat peta titik-titik lokasi kampung tenun; Bekerjasama dengan publik figur untuk promo tenun, misalnya dengan duta wisata Sumba; Mulok dibuatkan dalam bentuk Perda; Ada insiatif Pemda untuk membuat galeri tenun untuk menampung hasil-hasil pengrajin, misalnya dengan mengoptimalkan gedung museum Matawai.

Eksistensi suatu masyarakat budaya tercermin dalam tradisi dan nilai-nilai hidup dalam masyarakat tersebut dan bertahannya budaya tenun ikat pewarna alam di Sumba Timur tidak terlepas dari bersatunya kepentingan untuk meneguhkan eksistensi tersebut karena karena  “Nda Humba Li La Mohu Akama” (Kami Bukan Humba Yang Menuju Kemusnahan). **

Feedback
Share This: