Memuseumkan Kemiskinan Untuk Masa Depan Bumi Manusia

Anda di sini

Depan / Memuseumkan Kemiskinan Untuk Masa Depan Bumi Manusia

Memuseumkan Kemiskinan Untuk Masa Depan Bumi Manusia

“Dan tak ada yang lebih sulit dipahami daripada sang manusia. Itu sebabnya tak habis-habisnya cerita dibuat dibumi ini” (hal164). Demikian cuitan  Sang maestro Pramoedya Ananta Toer Dalam Novel Bumi Manusia yang merupakan buku pertama dari Tetralogi Buru  yang ia tulis semasa dalam penjara.  Betulkah demikian ?. Bagaimana tidak,  Ketika musim hujan datang, mereka berharap segera datang musim panas. Ketika tinggal di gunung setiap hari makan sayur hijau yang sehat, mereka merindukan ikan, sementara di pinggir pantai sana, para nelayan yang tiap hari bergumul ikan,  merasa bosan dengan iakan dan seluruh isi laut , lalu berharap sangat akan sayur mayur yang di hasilkan mereka di gunung. Ketidak puasan manusia dalam tingkatan tertentu merupakan pemicu perkembangan peradaban , memaksa manusia untuk mengembangkan model relasi manusia dengan manusia yang lain yang punya talenta dan produk berbeda, dan juga memicu manusia untuk membangun model relasi manusia dengan lingkungan yang mendukung kenyamanan hidup manusia itu sendiri.  Sisi kelamnya, Ketidak puasan manusia dengan apa yang sudah di dapatkan ini pula yang mendorong munculnya daya dan gaya rusak pada tempat di mana ia menggantungkan hidupnya (cari makan dan minum, rumah besar mereka,   Bumi Manusia.

Masih dari Novelnya Bung Pram, di dalamnya ia   mengkritik ambiguitas kaum penjajah dalam menjelaskan pengetahuan dan attitude mereka tentang equalitas manusia. Dan kondisi hari ini menegaskan keheranan Pram, yaitu puncak dari keanehan itu adalah, manusia meyadari mereka tidak atau setidaknya belum menemukan tempat untuk tinggal  yang terbaik, terbagus dan paling mungkin selain Bumi ini, namun manusia juga yang pelaku perusak paling besar di Bumi ini.

Relasi manusia dan lingkungan adalah hubungan yang timbal balik dan simbiotik mutulisme. Karena manusia saling membutuhkan. Manusia butuh alam untuk kehidupannya dan alam juga membutuhkan manusia untuk pelestariannya. Manusia adalah satu-satunya makhluk di alam yang memiliki kapasitas untuk menyandang predikat khalifah Tuhan di muka bumi. Pada kenyataannya, manusia adalah model eksklusif dari seluruh makhluk hidup dan bahkan dapat disimpulkan bahwa jejak dan tanda-tanda dari seluruh makhluk di alam semesta ada dalam diri manusia. Dan meskiupun demikian, Manusia memiliki ketergantungan yang amat sangat dengan lingkungannya. Masalah mulai datang ketika  Meningkatnya pertumbuhan populasi penduduk dunia telah menyebabkan tekanan terhadap sumber daya alam termasuk udara, air, tanah, dan keanekaragaman hayati. Kehidupan modern dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) hingga saat ini pada umumnya masih mengeksploitasi sumber daya alam secara maksimal terutama untuk keperluan bahan baku industri, termasuk industri kimia, yang juga menghasilkan limbah yang mengotori bumi. Apabila proses eksploitasi ini tidak dikendalikan dan limbah yang dihasilkan belum ditangani secara serius, maka akan menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan. Dalam kasus eksploitasi itu, kemiskinan kerap menjadi yang tertuduh sebagai pemicu. Namun ia adalah lingkarang setan, karena pada gilirannya, kerusakan pada lingkungan akan menurunkan kenyaman dan kebahagiaan manusia, termasuk menurunkan kemampuan produksi. Sehingga pada gilirannya juga akan melahirkan kemiskinan juga bagi manusia. Maka, ;pilihan kita Cuma dua jalan yang ujungnya sama ;  memuseumkan kemiskinan adalah jalan bagi kelestarian lingkungan. Dan Pendekatan pengelolaan lingkungan yang lestari juga merupakan jalan  bagi Memuseumkan Kemiskinan itu sendiri.
Pembangunan sebagai salah satu jalan bagi pengentasan kemiskinan hinga saat ini pun belum memuat pertimbangan lingkungan yang memadai. Namun, upaya pencegahan sudah mulai dilakukan melalui berbagai aturan perundangan mengenai lingkungan. Di samping itu, kemiskinan di selatan dan kemapanan di utara cenderung merusak lingkungan hidup dan memboroskan sumber daya alam. Dengan demikian, memahami bumi dan proses yang terjadi di dalamnya adalah mutlak agar manusia dapat bertindak bijaksana. Oleh karena itu, sangatlah penting untuk menjaga kapasitas lingkungan agar dapat melakukan fungsi-fungsinya dengan baik.    Manusia sebagai makhluk yang bertanggung jawab terhadap kelestarian lingkungan di bumi sudah sepatutnya melakukan hal-hal yang perlu dilakukan untuk menyelamatkan bumi. Populasi manusia di bumi diperkirakan akan mencapai 8 miliar jiwa pada tahun 2020. Untuk mendukung jumlah manusia sebanyak itu, beban bumi akan semakin berat, terutama dalam penyediaan sumber daya alam dan untuk memberikan lingkungan yang berkualitas layak. Tiga tantangan yang paling menonjol yang digarisbawahi dalam KTT (Konferensi Tingkat Tinggi) Bumi 1992 di Rio de Janeiro adalah :

  • Pesatnya laju pertumbuhan populasi manusia di bumi.
  • Bumi telah terbelah menjadi dua dunia yaitu :
  • Perkembangan Iptek yang secara umum masih berciri eksploitatif, menghasilkan limbah dalam jumlah yang tinggi, dan tidak hemat energi. Hal tersebut memberikan tekanan yang tinggi terhadap ekosistem di bumi.

Beberapa dampak, yang telah diidentifikasi sejak KTT di Rio de Janerio 1990, apabila tantangan-tantangan tersebut tidak terjawab adalah :

  • Bumi akan mengalami krisis untuk memperoleh air bersih, dalam arti tidak hanya kuantitas namun juga kualitas.
  • Berkurangnya lahan pertanian untuk memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan keperluan hidup lainnya. Hal ini disebabkan oleh pengalihan pemanfaatan lahan pertanian menjadi lahan untuk non-pertanian dan meluasnya pembentukan lahan kritis sebagai akibat pemanfaatan lahan pertanian yang tidak memerhatikan upaya pemeliharaan kesuburan tanah. Hal-hal tersebut berakibat pada penggurunan, pengikisan, dan pelongsoran.
  • Menipisnya luas kawasan hutan secara global karena tuntutan akan kebutuhan lahan non hutan. Yang dikhawatirkan adalah menurunnya keanekaragaman hayati secara besar-besaran, baik dalam bentuk jenis tumbuhan dan satwa liar maupun juga ekosistem dan plasma nutfah.
  • Terjadinya pencemaran dan perusakan ekosistem pantai dan laut sebagai akibat penangkapan ikan yang berlebihan (over-fishing), perusakan habitat satwa laut dan terumbu karang, dan pencemaran oleh limbah dan sampah yang terbawa aliran muara sungai dari kegiatan manusia di darat.
  • Peningkatan beban pencemaran ke udara atau atmosfer juga memberikan ancaman terhadap penurunan kualitas udara sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan iklim secara global (akibat menipisnya ozon dan meningkatnya gas rumah kaca), dan hujan asam. Di samping itu, jumlah dan jenis limbah B3 (bahan beracun dan berbahaya) meningkat yang keseluruhannya dapat membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.

Tahun-tahun berlalu sejak komitmen lingkungan kita sebagai warga  dunia di sepakati. Apakah lingkungan bumi kita makin membaik? Bukti-bukti ilmiah menunjukkan bahwa keadaannya justru makin memburuk. Konsentrasi gas-gas rumah kaca (antara lain gas CO2, CH4, N2O, dan HFC) di atmosfer terus meningkat, yang mengakibatkan perubahan iklim global.     Perubahan iklim tersebut dipicu oleh meningkatnya temperatur rata-rata secara global yang sejak tahun 1880 hingga tahun 2002 hampir sekitar 0,6 OC (1 OF),

Usaha yang harus dilakukan adalah bagaimana mengatur berbagai upaya untuk mencapai kesetimbangan di bumi ini. Pencapaian kesetimbangan yang dapat menunjang kebutuhan manusia saat ini dengan tidak mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan yang mereka perlukan, dikenal sebagai “Keberlanjutan”, dan masyarakat yang berusaha menciptakan kondisi seperti itu disebut sebagai “Masyarakat yang Berkelanjutan” (Sustainable Society).

Dan tentu saja. Kita juga  harus mengkritisi hubungan  antara kemiskinan dan pelestarian Lingkungan, betulkah kemiskinan yang mendorong manusia untuk merusak rumahnya sendiri ?. Jika melihat kenyataannya, tingkat kerusakan oleh masyarakat miskin di banding dengan perusakan oleh pemodal (Investor) yang di back up oleh negara, justru menunjukkan ketidak singkronan tuduhan itu dengan kenyataan. Lihat saja :  konversi hutan perawan menjadi areal perkebunan ,  perumahan, tambang  dan lainnya. Siapakah pelakunya ?. Jelas bukan oleh mereka yang  hanya  mencari nasi untuk makan dan tak punya jawaban.  Atau Jangan-jangan, kemiskinan  hanya kedok dan jualan para  investor hitam dan pejabat yang juga berhati hitam dalam melestarikan aksi jahanam mereka dalam merusak lingkungan. Sudah begitu, tetap saja kemiskinan orang miskin yang menjadi tertuduh. Kalaupun hari ini  kita ingin memuseumkan kemiskinan, itu semata karena  kesejahteraan adalah semua orang, dan kekayaan tertinggi adalah ketika kita bisa memberi dan membantu sesama. Dan jika Kemiskinan ini sudah kita pajang di lemari-lemari  pajangan museum, maka tidak ada lagi alasan untuk merusak hutan selain memang kerakusan manusia akan kekayaan.

Sumber: Konsorsium ADBMI

Feedback
Share This: