Membincangkan Lahan Gambut di Green News Café
“Selama ini mungkin paradigma teman-teman wartawan adalah ‘bad news is a good news’, nah bagaimana kalau hari ini kita ubah menjadi ‘good news is a good news’,” kata Luna Vidya yang pagi itu bertindak sebagai moderator.
Senin 13 Maret 2017, bertempat di Café Tjikini Lima Jln. Cikini 1 No.5, Jakarta Pusat, puluhan wartawan dari berbagai media cetak, media online dan radio berkumpul dalam gelaran acara Green News Café yang mengambil tema: Pengelolaan dan Pelestarian Lahan Gambut di Indonesia.
Bursa Pengetahuan Kawasan Timur Indonesia (BaKTI) bertindak sebagai tuan rumah. Sebagai salah satu penerima hibah Millenium Challenge Account-Indonesia (MCA-Indonesia), BaKTI memang mengambil peran sebagai penyebar beragam pengetahuan dalam program MCA-Indonesia. Salah satunya adalah tentang pengelolaan dan pelestarian lahan gambut di Indonesia.
MCA-Indonesia telah menandatangani kerjasama dengan Badan Restorasi Gambut (BRG) dan berkomitmen membantu BRG hingga awal tahun 2018. BRG sendiri adalah sebuah organisasi non struktural yang dibentuk oleh pemerintah Indonesia lewat Keppres No.1/2016. Tugas utama BRG adalah merestorasi lahan gambut seluas 2,4 juta hektar yang tersebar di tujuh provinsi yaitu: Jambi, Riau, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, dan Papua. Masa kerja BRG ditetapkan hingga 2020.
Dalam melaksanakan tugasnya demi mencapai target tersebut, BRG sudah mengakui kalau mereka tidak bisa bekerja sendiri. Karenanya, BRG membuka kesempatan bekerja bersama-sama dengan berbagai sektor baik pemerintah daerah, swasta ataupun masyarakat.
Perjanjian kerjasama antara BRG dengan MCA-Indonesia juga adalah bentuk dukungan dan kerjasama untuk mewujudkan target BRG. MCA-Indonesia melalui hibah kemakmuran hijau menyalurkan dukungan kepada mitra di lapangan yang juga punya tujuan sama: merestorasi lahan gambut. Hal tersebut dipaparkan oleh Achmad Adhitya, Manager Partnership Grant MCA-Indonesia.
Menurut Achmad Adhitya, dukungan MCA-Indonesia bukan hanya pada pekerjaan infrastruktur seperti pembasahan lahan gambut, tapi juga pada penguatan kapasitas seperti pelaksanaan koordinasi dan penguatan kebijakan pelaksanaan restorasi lahan gambut, perencanaan, pengendalian dan kerjasama penyelenggaraan restorasi lahan gambut.
“Masyarakat di area lahan gambut juga harus dilibatkan,” kata Achmad Adhitya. Menurutnya, pelibatan masyarakat dalam usaha restorasi gambut adalah salah satu kunci keberhasilan program. Ketika merasa dilibatkan, masyarakat akan mempunyai rasa memiliki sehingga diharapkan ke depannya mereka juga akan aktif menjalankan tugas memelihara lahan gambut.
Bentuk pelibatan tersebut bukan hanya di bagian pembangunan infrastruktur, namun juga di sisi peningkatan kesejahteraan. Masyakarat di area lahan gambut akan diberi beragam pilihan yang tidak hanya memelihara lahan gambut, tapi juga menjauhkan mereka dari niat untuk merusak lahan gambut tersebut.
Peluang dan Tantangan
Salah satu cara meningkatkan kesejahteraan masyarakat di area lahan gambut adalah penanaman berbagai varitas yang punya nilai ekonomis tinggi. Jenis-jenis tanaman ini selain mengembalikan fungsi lahan gambut, juga untuk berpeluang meningkatkan kesejahteraan masyakarat sekitar lahan gambut.
Menurut Prof. Rujito Agus Suwignyo dari Universitas Sriwijaya, saat ini mereka sudah meneliti 60 jenis tanaman yang punya nilai ekonomis tinggi dan bisa dibudidayakan di lahan gambut. Prof. Rujito yang juga adalah anggota tim Perguruan Tinggi Hijau Untuk Indonesia (PETUAH) menyampaikan hal tersebut dalam paparannya yang diberi judul: Aplikasi Sistim Pertanian Terpadu dan Strategi Revegetasi untuk Mengurangi Risiko Kebakaran di Lahan Gambut dan Menunjang Konteks 3R Aksi Restorasi Lahan Gambut.
Materi tersebut adalah salah satu policy brief yang dihasilkan oleh PETUAH Universitas Sriwijaya, Palembang. Policy brief lainnya adalah Ulasan Kebijakan Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut.
Prof. Rujito tidak hanya menjelaskan tentang jenis-jenis tanaman yang punya nilai ekonomis dan bisa dibudidayakan di lahan gambut, tapi juga secara teknis menerangkan tentang lahan gambut dan kondisi nyata lahan gambut yang ada sekarang, khususnya di pulau Sumatera.
Sementara itu, Myrna A. Safitri, Deputi III Badan Restorasi Gambut (BRG) mempresentasikan rencana dan kegiatan dari BRG. Sebagai sebuah badan yang baru terbentuk setahun lalu, BRG menurutnya memang masih terus melakukan persiapan selain beberapa pekerjaan infrastruktur yang sudah berjalan di lapangan.
Menurutnya, salah satu kendala yang dihadapi BRG dalam usaha merestorasi lahan gambut adalah data yang belum sinkron. Data lahan gambut yang dimiliki oleh BRG hingga saat ini belum sinkron dengan data dari pihak-pihak lain termasuk pemerintah daerah. Koordinasi antara BRG dengan Tim Restorasi Gambut (TRG) yang ada di daerah juga menjadi sorotan tersendiri karena belum semua koordinasi berjalan dengan sempurna.
Menurut Myrna A. Safitri, saat ini BRG sedang membuat semacam panduan yang akan dijadikan standar kegiatan restorasi lahan gambut. Siapapun yang akan bekerja di lahan 2.4 juta hektar yang jadi tanggung jawab BRG, harus mengikuti panduan tersebut.
Pemaparan dari ketiga narasumber tersebut ternyata memancing diskusi yang cukup aktif dan hangat. Para jurnalis yang hadir bergantian menceritakan pengalaman mereka melihat langsung lahan gambut di berbagai tempat di Indonesia, selebihnya mengajukan pertanyaan terkait materi yang disampaikan.
Salah seorang peserta menanyakan apakah memungkinkan bagi BRG untuk mereplikasi usaha restorasi lahan gambut yang sudah dilakukan oleh sekelompok warga? Menjawab pertanyaan ini, Myrna A. Safitri memberi sinyal positif. Menurutnya, BRG memang akan mereplikasi usaha-usaha restorasi yang sudah dilakukan oleh warga dan dianggap berhasil. Hanya saja, tidak semua usaha tersebut bisa diterapkan di daerah yang lain. Meski sama-sama areal gambut namun karakter bisa saja berbeda, faktor ini tentu membuat tidak semua usaha restorasi bisa dicontek mentah-mentah.
Masalah lain yang juga cukup hangat didiskusikan adalah tentang kepemilikan lahan. Dari total rencana 2.5 juta Ha lahan gambut yang akan direstorasi oleh BRG, tidak semuanya merupakan lahan milik pemerintah daerah. Beberapa di antaranya masuk ke dalam kawasan hutan lindung, taman nasional atau taman hutan raya. Beberapa lainnya masuk dalam wilayah konsesi beberapa perusahaan dan sisanya adalah lahan milik warga.
Masalah kepemilikan lahan ini tentu menjadi salah satu pekerjaan rumah yang besar bagi BRG. Bagaimanapun, jenis-jenis kepemilikan lahan ini bisa menjadi batu ganjalan yang mempengaruhi usaha restorasi seperti yang direncanakan.
Pada akhirnya, Green News Café yang dimaksudkan sebagai sarana berbagi informasi dan pengetahuan tentang lahan gambut ini setidaknya berhasil memenuhi targetnya. Para jurnalis yang hadir tidak hanya sekadar bertanya tapi juga membagikan beragam pengalaman dan pengetahuan mereka tentang lahan gambut. Diskusi tidak hanya berjalan satu arah dari narasumber saja, tapi juga dari para jurnalis yang hadir.
“Mulai sekarang, marilah membagikan berita-berita bagus tentang upaya restorasi lahan gambut,” kata Luna Vidya, sekaligus sebagai penutup acara Green News Café hari itu.