Melihat TERANG dan GADING Lebih Dekat
Waktu menunjukkan pukul 13.00 Wita ketika kami berkunjung ke rumah Bapak Jhon Lukas Ludji di Kelurahan Mauhau Kecamatan Kambera – Sumba Timur. Hamparan sayuran hijau langsung memanjakan mata sehingga terik matahari tidak begitu terasa walau pengukur suhu di handphone menunjukkan angka 34 derajat celsius.
Hari itu, Selasa 11 Oktober 2016 kami berkesempatan mengikuti tim Konsorsium Hivos di kantor lapangan Sumba untuk meliput kunjungan tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Jakarta ke wilayah kerja mereka di Sumba Timur. Kunjungan ini dimaksudkan untuk melihat lebih dekat tentang implementasi program Bappenas yang dikerjakan lewat mitra-mitra MCA-Indonesia khususnya Konsorsium Hivos dan bagaimana dampaknya untuk masyarakat luas.
Konsorsium Hivos adalah salah satu penerimah hibah dalam program Kemakmuran Hijau yang didukung oleh MCA-Indonesia lewat fasilitas Kemakmuran Hijau dari Jendela 1 untuk hibah kemitraan dengan judul proyek “Investasi Dalam Energi Terbarukan Untuk Masyarakat Terpencil (TERANG)” dan lewat aktifitas pengetahuan hijau dengan judul proyek “ Gathering and Dissemination of Information and Green Knowledge for A Sustainable Integrated Farming Workforce in Indonesia” (GADING) atau Penghimpunan dan Penyebarluasan Informasi Pengetahuan Ramah Lingkungan Untuk Tenaga Kerja Terintegrasi Yang Berkelanjutan di Indonesia.
Secara singkat TERANG project bertujuan untuk mencapai dua hasil, termasuk peningkatan mata pencaharian pedesaan melalui pemanfaatan energi terbarukan di masyarakat pedesaan; dan model bisnis yang berkelanjutan dari teknologi Renewable Energy (RE) off-grid diadopsi. Sedangkan GADING, tujuan utamanya adalah meningkatkan penggunaan ampas biogas dan memperkenalkan tanaman dukcweed atau Lemna sp. Konsorsium Hivos ini beranggotakan Yayasan Rumah Energi (YRE), Winrock International dan Village Infrastructure Angel (VIA) dengan lead konsorsium Hivos. Konsorsium ini bekerja di semua kabupaten di Pulau Sumba.
Kegiatan dimulai pukul 09.00 Wita di Kantor Hivos dengan pemaparan progress dan capaian program selama kurang lebih 1 tahun bekerja oleh Bapak Welhelmus Poek selaku Field Project Manager Hivos untuk Program TERANG dan Bapak Kornelis K Lidjang dari YRE selaku Organic Fertilizer Officer untuk Program GADING yang dilanjutkan dengan diskusi bersama Bapak Gunawan Sapto N dan Ibu Dyah Puspitasari dari BPK Jakarta serta Ibu Hana Hutabarat dari MCAI.
Pada kesempatan ini dilakukan juga kunjungan di salah satu ruangan yang menjadi kantor RESCO (Renewable Energy Service Center Organization) yang bersebelahan dengan tempat kami diskusi. RESCO merupakan salah satu unit yang dikembangkan lewat program TERANG dengan mempertimbangkan keberlanjutan program. Dimana dengan belajar dari tantangan yang dialami oleh berbagai pihak dalam mengembangkan program serupa maka Hivos percaya bahwa program ini tidak sekadar datang untuk memberikan teknologi berbasis renewable energy seperti tenaga matahari pada masyarakat tetapi juga ada garansi kualitas produk sekaligus menyediakan tempat untuk mereka bisa memperbaiki dan mencari suku cadang teknologi tersebut ketika rusak.
Ada sebuah model bisnis yang dikembangkan lewat RESCO ini lewat mekanisme “kios energi” dimana disediakan layanan charging station untuk mencharge lampu-lampu tenaga surya yang mereka beli disana dengan uang muka sebesar Rp 50.000 dan setiap kali mencharge akan dikenakan biaya sebesar Rp 1300, jika biaya ini telah mencapai harga lampu maka lampu secara otomatis menjadi milik pribadi. Dana yang terkumpul dari kegiatan ini dialokasikan kembali untuk maintainnance.
Usai makan siang, kegiatan kunjungan lapangan dimulai dari wilayah kota tepatnya di Kelurahan Mau Hau. Adalah Bapak Jhon Lukas Ludji, salah seorang petani mitra YRE yang merupakan ketua kelompok tani Lima Sejahtera. Beliau adalah salah satu petani sekaligus user biogas yang dibangun oleh YRE sejak tahun 2015 silam yang juga telah mengikuti pelatihan pembuatan pupuk organik bioslurry dan pakan ternak berbahan lemna sp.
Hamparan lahan yang luas telah dimanfaatkan untuk pertanian yang terintegrasi dengan peternakan, dimana selain memanfaatkan kotoran ternak sebagai bahan bakar (dalam bentuk gas) untuk kegiatan memasak sehari-hari sehingga dapat menghemat pemakaian minyak tanah, beliau juga menanam beberapa tanaman keras/umur panjang seperti mahoni dan jati juga palawija seperti jagung, ubi, pisang juga sayuran dengan memanfaatkan limbah biogas/bioslury untuk sumber utama pupuk serta mengembangkan budidaya lele dalam kolam lemna sp dengan media air yang dicampur dengan bioslury untuk menyuburkan pertumbuhan lemna sp (kandungan protein tinggi) yang merupakan makanan ikan. Pisang yang ditanam juga selain dijual dijadikan pakan ternak babi dan sapi karena menurut Pak Jhon dengan mengkonsumsi pisang kandungan gas yang dihasilkan lewat kotoran ternak lebih bagus sehingga menghasilkan volume biogas yang banyak untuk kompornya.
Menurut Bapak Lukas, sudah setahun beliau memanfaatkan pupuk organik dan tidak lagi menggunakan pupuk kimia. Ada perbedaan menyolok pada tanaman yang menggunakan bioslurry dan pupuk kimia. Untuk yang menggunakan bioslurry, tanaman lebih tanhan penyakit juga daun/buahnya tidak cepat rusak walaupun tidak dimasukkan ke dalam lemari pendingin. Sementara istrinya, Ibu Anita menyatakan pekerjaan di dapur sangat terbantu dengan adanya kompor biogas karena tidak perlu lagi mencari kayu bakar dan minyak tanah yang kadang-kadang langka. Selain itu, tanaman sayur selain dimakan sendiri juga untuk dijual dengan penghasilan perhari mencapai Rp 60.000-100.000
Lokasi berikut yang dikunjungi adalah rumah Bapak Eben Haghu di Wanggawatu Kecamatan Kambera, yang merupakan salah satu user biogas dari YRE juga. Saat ini status pengerjaan instalasi biogas milik Bapak Eben masih on process tetapi yang menarik adalah beliau selama ini telah membina 2 kelompok tani yang beranggotakan tetangga sekitar rumahnya untuk menanam hortikulutura dan kedepan kelompok ini akan didampingi untuk memanfaatkan bioslurry di lahan-lahan mereka.
Mendorong pemanfaatan energi baru terbarukan dan pertanian organik ramah lingkungan serta upaya meminimalisir pemanfaatan pupuk kimia untuk mengurangi emisi karbon telah dimulai dengan langkah kecil Pak Jhon dan Pak Eben ini.
Hari Rabu, 12 Oktober 2016 kunjungan dilanjutkan ke Kecamatan Lewa untuk 10 lokasi biogas, mulai dari yang masih sementara dibangun sampai yang sudah full integrated (sudah menggunakan biogas, sudah produksi bioslurry dan menggunakannya untuk pertanian maupun peternakan) dan 1 demoplot yang dikunjungi.
Kecamatan Lewa terletak sekitar 60 kilometer dari Ibu Kota Kabupaten dan merupakan salah satu daerah penghasil beras terbesar di Kabupaten Sumba Timur, yang mana sebagian besar penghasilan masyarakatnya tergantung pada pertanian. Menurut catatan BPS (Badan Pusat Statistik) Sumba Timur dalam publikasinya “Statistik Daerah Kecamatan Lewa Tahun 2015”, sebagai komoditi tanaman pangan yang paling utama, produksi beras di kecamatan Lewa menunjukkan penurunan dari tahun sebelumnya mungkin dikarenakan luas area panen berkurang, hama tanaman serta curah hujan. Luas panen padi berkurang yang signifikan, dimana berkurang 5,8% untuk padi sawah.
Salah satu pasangan petani yang kami temui adalah Bapak Suranto dan Mama Martina, yang saat ini sudah mulai berbisnis bioslurry cair yang sudah difermentasi dengan harga Rp50.000/5 liter bukan saja bagi pembeli di sekitar rumahnya namun juga sudah merambah ke Kabupaten Sumba Tengah. Biogas yang dimanfaatkan ini merupakan unit biogas yang dibangun oleh Yayasan Sumba Sejahtera lewat program Sumba Iconic Island (SII) dengan dukungan Hivos pada tahun 2014. Saat ini, setelah mengikuti Pelatihan Pakan Ternak bulan Juni 2016 oleh YRE lewat prohram GADING, mereka mulai memanfaatkan bioslury untuk media tanam lemna sp sebagai pakan ternak untuk ikan nila, ayam dan babi.
Berdasarkan pengalaman Bapak Suranto dan Mama Martina, pada tahun 2011 untuk sawah mereka seluas 12 are sebelum menggunakan bioslurry mereka hanya menghasilkan 17 kilogram padi dalam sekali panen namun sejak tahun 2014 ketika biogas telah terpasang mereka mulai memanfaatkan limbah biogas/bioslurry sehingga pada saat panen tahun 2015 sawah seluas 12 are itu mampu menghasilkan 1300 kilogram padi sekali panen. Tidak hanya itu, bioslurry yang mampu mengembalikan kesuburan tanah karena kandungan probiotiknya juga membuat tanaman padi mereka lebih tahan hama dan sehat sehingga hasil pertaniannya juga lebih sehat untuk dikonsumsi karena tidak terkontaminasi bahan kimia.
Keberhasilan ini tentu saja tidak mereka nikmati sendiri, mereka mulai mengajak para tetangga untuk mengurangi penggunaan pupuk kimia dan beralih ke pupuk organik dari bioslurry. Aplikasi pupuk organik pada tanaman memang tidak langsung membuahkan hasil karena butuh waktu agak lama dan ini menjadi tantangan sendiri bagi Bapak Suranto dan Mama Martina untuk terus mengkampanyekan penggunaan pupuk organik pada masyarakat luas yang cenderung mengharapkan hasil yang cepat ketika bercocok tanam.
Pengguna biogas lain yang kami kunjungi adalah Bapak Bernadus Missa di Desa Kambuhapang, yang telah memanfaatkan biogas sejak tahun 2014 yang dibangun oleh Yayasan Sumba Sejahtera lewat program SII dengan dukungan Hivos. Beliau juga telah berkesempatan mengikuti Pelatihan Pakan Ternak oleh YRE sehingga saat ini telah juga dibangun kolam lemna sp di rumahnya dengan dukungan proyek GADING, yang dimanfaatkan untuk pakan ayam serta babi dan juga sudah menjual bioslurry cair dengan harga Rp50.000/5 liter.
Menutup rangkaian kunjungan ini, kami mampir untuk melihat lokasi demoplot di Desa Kambuhapang. Hijaunya padi membuat suasana langsung sejuk. Kami terkejut melihat bahwa untuk umur yang sama (1,5 bulan) di area sawah yang ditanami padi dengan menggunakan pupuk bioslurry bulir padinya telah keluar sementara di areal yang tidak menggunakan bioslurry bulir padinya belum keluar. Tampilan padi tampak sangat sehat dengan mayang padi yang banyak dalam satu pohon. Semoga kedepannya, bioslurry mampu membantu petani di Lewa meningkatkan kembali produksi padinya.
Masih banyak tantangan yang dihadapi tentunya dalam mengembangkan pengelolaan energi baru terbarukan berbasis masyarakat ini namun setidaknya kunjungan selama dua hari ini berhasil memberikan gambaran kepada kami tentang bagaimana pentingnya pendekatan sosial budaya bahkan geografis dalam pemberdayaan komunitas sehingga tidak hanya fokus ke pendekatan ekonomi saja. Selain itu nilai tranparansi dan akuntabilitas sebuah program terhadap publik haruslah tetap dijalankan sehingga mekanisme kontrol program menjadi bagian penting bersama semua pihak untuk juga dapat menarik pembelajaran dari setiap proses yang terbangun dan menjadikannya kekuatan bagi kerja-kerja selanjutnya.