Kebijakan dan Strategi Mitigasi dalam Perspektif RAD GRK di Nusa Tenggara Barat

Anda di sini

Depan / Kebijakan dan Strategi Mitigasi dalam Perspektif RAD GRK di Nusa Tenggara Barat

Kebijakan dan Strategi Mitigasi dalam Perspektif RAD GRK di Nusa Tenggara Barat

"Saat ini fokus pembangunan Provinsi Nusa Tenggara Barat adalah internalisasi semua program daerah untuk penanggulangan kemiskinan, termasuk didalamnya isu-isu terkait lingkungan dan perubahan iklim seperti yang telah diamanatkan dalam dokumen perencanaan daerah RPJMD NTB 2013 - 2018" hal ini disampaikan oleh Sekretaris Bappeda NTB Bapak Muh. Ilham saat menyampaikan sambutan pembukaan Diskusi Hijau yang dilaksanakan oleh Yayasan BaKTI 31 Agustus lalu bertempat di Aula Kantor Bappeda NTB. Diskusi yang mengangkat tema "Kebijakan dan Strategi Mitigasi dalam Perspektif RAD GRK di Nusa Tenggara Barat" menghadirkan narasumber dari LPPM FEB UI Ibu Riatu Qibtiyyah dan Kabid Fisik dan Prasarana Bappeda NTB Bapak Samsudin Saud.

Provinsi Nusa Tenggara Barat memiliki wilayah administrasi yang terdiri dari 8 Kabupaten, 2 Kota, 116 Kecamatan dan 1.146 Desa/Kelurahan serta 280 gugusan pulau-pulau kecil dengan jumlah penduduk 4,7 juta jiwa. Tantangan pembangunan di NTB saat ini adalah tingkat kemiskinan yang masih relative tinggi (mencapai 16,5%) untuk itu visi dan misi pembangunan provinsi NTB sebagaimana yang tertuang dalam RPJMD 2013 – 2018 pemerintah menginternalisasikan semua program di daerah untuk mengurangi dan menanggulangi kemiskinan salah satunya melalui produksi unggulan daerah PIJAR (Padi, Sapi, Jagung dan Rumput Laut) yang selama ini terbukti dapat menunjang pertumbuhan ekonomi di NTB. Selain pengurangan kemiskinan, isu perubahan iklim dan bencana alam menjadi isu strategis pembagunan di NTB dimana dibenturkan dengan beberapa tantangan diantaranya adalah perubahan karakter masyarakat yang diakibatkan oleh globalisasi, lunturnya budaya kearifan lokal yang memberikan wadah bagi masyarakat lokal dalam melestarikan lingkungan sekitar, illegal logging dan illegal mining, serta rendahnya indeks pembangunan di NTB (peringkat 30 nasional). Dalam perspektif Rencana Aksi Daerah (RAD) semakin luasnya lahan kritis akibat illegal logging, alih fungsi lahan produksi menjadi lahan pemukiman, dan lahan hutan menjadi lahan produksi oleh masyarakat, bom ikan serta penurunan sumber mata air, banjir dan kekeringan. Dengan adanya aktifitas ini, masyarakat telah menerima dampak langsung dari perubahan iklim dan pemanasan global dengan meningkatnya suhu maksimum sebesar 0,70 C dan suhu rata-rata minimum terjadi peningkatan sebesar 1,20 C dengan demikian Provinsi Nusa  Tenggara Barat merupakan Provinsi dengan kenaikkan suhu sangat tinggi di Indonesia. Sebagai bentuk peran dan tanggung jawab pemerintah dalam menjamin keberlanjutan pembangunan dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan yang dituangkan dalam dokumen kebijakan RPJP 2005 – 2025 dan RPJMD 2013 – 2018 tercantum dalam misi ke tujuh yaitu memantapkan pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan dengan target pengelolaan SDA dan lingkungan hidup makin mantap dan kuantitas dan kualitas dampak bencana menurun dengan kebijakan umum melalui pembangunan berbasis tata ruang , mengelola lahan kritis, pemberdayaan masyarakat sekitar hutan serta mencegah dan menuntaskan pertambangan tanpa ijin. Berangkat dari kebijakan umum ini kemudian pemerintah daerah kemudian menyusun beberapa kebijakan daerah dengan menetapkan beberapa indicator target diantaranya adalah peningkatan kualitas Air (94,90 %); kualitas udara (99,60 %); tutupan lahan (95,90 %);  mata air terlindungi (438 titik) cakupan air bersih perkotaan(87,56 %) & perdesaan (81,87 %); rasio elektrifikasi (75,00 %);. Untuk mencapai  indicator tersebut pemerintah daerah menetapkan Rencana Aksi Daerah (RAD) Gas Rumah Kaca (GRK) melalui penetapan Peraturan Gubernur No. 51 Tahun 2012 yang kemudian ditindaklanjuti dengan pembentukan gugus tugas provinsi melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur yang saat ini sudah terbentuk 3 pokja dibawah koordinasi Bappeda NTB yaitu Pokja berbasis lahan (pertanian, kehutanan, perkebunan) Pokja berbasisi energy dan industry serta Pokja berbasis transportasi dan limbah dimana SK ini setiap tahunnya diperbaharui mengikuti kebijakan nasional.

Dalam kaitannya strategi adaptasi dan mitigasi RAD GRK berdasarkan hasil Pemantauan Evaluasi  Penyusunan Dokumen (PEP) untuk target penurunan emisi dari beberapa sector yang diukur sejak tahun 2010 untuk sector kehutanan, target penurunan emisi sampai dengan tahun 2020 sebesar 22,0 % (4.906.323 ton),sector pertanian targetnya sampai dengan tahun 2020 emisi GRK yang dapat diturunkan dari Sektor Pertanian sebesar 21,0 % emisi atau hanya 1.013.272 ton CO2 eq. Sektor energy, target penurunan emisi sampai dengan tahun 2020  adalah 28,12 %  atau 1.039,5 ribu ton CO2eq; sector transportasi target penurunan emisi sampai dengan  tahun 2020  adalah 16,7 % atau 219 ribu ton CO2eq; sector industry target penurunan emisi sampai dengan tahun 2020  adalah 41%  atau 30.449,07 Gg CO2 eq serta sector pengelolaan limbah target penurunan emisi sampai dengan tahun 2020 sebesar 19,64%  atau 615.989 ton CO2 eq. Selain target-target penurunan emisi, juga telah dilakukan beberapa aksi mitigasi RAD GRK diantaranya dari sector kehutanan : Pelatihan pencegahan penanggulangan kebakaran hutan, penyidikan  dan pengamanan hutan, fasilitasi temu usaha wisata alam pada hutan lindun, sedangkan dari usaha peningkatan cadangan karbon melalui kegiatan : reboisasi dan pengkayaan pada hutan konservasi, hutan lindung, rehabilitasi kawasan hutan pasca bencana, rehabilitasi Sumber Mata Air. Di sector pertanian beberapa aksi mitigasi yang telah dilakukan adalah Penerapan SRI (System of Rice Intensification), penggunaan pupuk organic. Dari sector energy;
pemanfaatan Energi Terbarukan (Off Grid), pembangunan PLTS Komunal , PLTS SHS (Solar Home System), PLTS PJU (Penerangan Jalan Umum) serta digester Biogas.Terakhir dari sector pengelolaan limbah melalui Tempat Pembuangan Sampah (TPS) 3 R (Reduce, Reuse, Recycle) MCK (Mandi, cuci, kakus) serta IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) Komunal

Tantangan pelaksanaan saat ini adalah keterbatasan & ketersediaan sumber data (Provinsi, Kabupaten dan Kota) serta keterbatasan SDM dalam pengolahan dan analisa data dan informasi, termasuk dalam penggunaan software serta keterbatasan Anggaran (baik APBD maupun APBN)

Sharing Policy Brief Indikator Antara RAN GRK
Indonesia memiliki komitmen yang cukup tinggi untuk penurunan emisi, inisiatif/usaha sendiri menargetkan penurunan 26% dan 41% apabila ada dukungan/bantuan dari eksternal (bantuan luar negeri dan swasta). LPEM FEB UI melakukan survey ke tingkat desa, terkait dengan kegiatan untuk mitigasi dan adaptasi perubahan masyarakat baik yang memberikan dan menerima dampak dalam skala rumah tangga dan pedesaan. Tujuan survey ini adalah pencarian terhadap indikator alternatif dalam perubahan iklim agar sejalan dengan pihak lokal (kebutuhan pemerintah daerah) dan masalah dalam masyarakat dimana seperti diketahui bahwa target pengurangan emisi (terhadap BAU) merupakan konsep yang sulit dipahami dan disampaikan kepada masyarakat lokal serta masih belum jelasnya hubungan antara target (penurunan emisi), komitmen dan kecukupan pendanaan sehingga dapat dinilai bagaimana kapasitas dari rumah tangga dan komunitas (desa) dalam mendukung program program terkait dengan lingkungan dan perubahan iklim. Survey yang dilakukan dari bulan Desember – Januari 2016 melibatkan kepala rumah tangga dan kepala desa
Dari survey ini, menghasilkan indikator antara bertujuan bagaimana indicator final perubahan iklim penurunan karbon juga terkait dengan indicator di sector lainnya. Terkait dengan perubahan iklim yang disurvey adalah : penggunaan emisi (pengukuran); lokasi emisi (cakupan); tipe emisi; rentang waktu (yang diukur) dari emisi. Sedangkan untuk focus penurunan emisi mengacu pada: tingkat emisi, business us usual (BAU), produksi emisi vs emisi yang diserap.
Sedangkan untuk cakupan sector meliputi : penggunaan lahan (pertanian dan kehutanan), manajemen limbah, penggunaan energy dan transportasi dengan menggunakan indicator PSR (Pressure, State and Response). Pressure untuk mengetahui aktivitas masyarakat dalam lingkungan (langsung dan tidak langsung), state untuk memperoleh informasi mengenai kondisi awal (atau kemungkinan perubahan) dari lingkungan dan/atau sumber daya alam serta response untuk melihat aktifitas agen sebagai aksi pembenahan. Dari hasil survey ini untuk penggunaan lahan ; ditemukan bahwa di NTB tidak ditemukan aktifitas masyarakat untuk pembakaran lahan (konversi  lahan), untuk polusi masih didominasi pencemaran air, masyarakat juga masih memiliki kebiasaan menanam pohon di halaman (NTB mencapai 71%) sedangkan pendidikan/pengetahuan masyarakat tentang konversi lahan di NTB masih sekitar 23% dari angka-angka ini dapat disimpulkan bahwa rumah tangga memiliki kebiasaan lama yang mungkin berakibat pada pencemaran lingkungan karena kurangnya sosialisasi di tingkat desa mengenai kesadaran untuk menjaga lingkungan, selain itu kondisi yang masih cukup alami, hijau sehingga rumah tangga atau desa tidak cukup merasakan masalah polusi.
Dari segi manajemen limbah, hasil survey menemukan untuk provinsi NTB masyarakat memiliki tingkat kesadaran/kebiasaan untuk mengolah kembali limbah rumah tangga (32%) sedangkan dari segi fasilitas pembuangan sampah di tingkat desa sudah cukup memadai (50%). Lain halnya dari segi penggunaan energy dan transportasi; khusus untuk penghematan energy, masyarakat di NTB sudah banyak yang menggunakan bola lampu hemat energy mencapai 78% sedangkan dari segi transportasi; tingkat penghematan masyarakat dalam hal penggunaan kendaraan bermotor masih rendah 11 %. Di tingkat desa, beberapa program terkait lingkungan dan perubahan iklim, di NTB khususnya sosialisasi pengelolaan/daur ulang sampah paling tinggi diantara daerah yang disurvey (wilayah NTT, Sulawesi Barat dan Jambi) selain itu juga didukung dengan pengalokasian Dana Desa mencapai Rp. 708.000.0000.
Kesimpulan umum yang ingin disampaikan melalui survey ini adalah

  • Penggunaan indikator PSR dapat ditujukan kepada berbagai sektor yang bisa menjadi bagian dari program mitigasi perubahan iklim. Ada potensi untuk membuat indikator dari survey mikro yang telah tersedia (survey desa dan rumah tangga)
  • Mayoritas komunitas (desa) sadar dan telah menginisiasi berbagai program terkait masalah lingkungan, namun belum menyentuh pada isu perubahan iklim. Keterlibatan dan kesadaran dari rumah tangga dan komunitas di desa belum terbangun. Sehingga keterlibatan dari pemerintah daerah menjadi penting.
  • Dukungan pendanaan pada tingkat desa dalam program terkait lingkungan dan perubahan iklim, mayoritas didapat dari APBN dan dana desa.  

Salah satu masukan penting dari peserta diskusi yang hadir menyampaikan bahwa faktor utama penurunan emisi GRK melalui penanaman dengan tetap mempertahankan luasan hutan dan disertai moratorium hutan dengan cara ini kita bisa mempertahankan tutupan hutan di NTB mencapai 746.000 dan diluar tutupan 314.000 ha, luas hutan 54% dibanding luas daratan di NTB. Tidak mudah mempertahankan luasan hutan ini apabila tidak didukung oleh sarana, prasarana, SDM, dan pendanaan. Kemudian dirasakan perlu untuk mengaktifkan kembali kearifan lokal awiq-awiq melalui perangkat desa untuk mengatur program dan sosialisasi mengenai upaya konservasi  lingkungan di tingkat desa.

Berikut ini beberapa catatan yang menjadi pembelajaran dalam diskusi yang dilaksanakan :

  1. Pemahaman dan sosialisasi kebijakan strategi mitigasi RAD GRK ke masyarakat luas, tidak hanya pada tataran pemerintah tetapi juga grass root juga terinformasikan mengenai RAD GRK
  2. Ketersediaan dan akurasi data yang menjadi basis kebijakan program mitigasi RAD GRK serta mengukur
  3. Kebijakan pemerintah daerah (kabupaten dan desa) yang mendukung mitigasi RAD GRK
  4. Masih dibutuhkan technical assistance dan sosialiasi ke masyarakat tentang RAD GRK dan upaya mitigasi
  5. Integrasi RPJMN dan RPJMD dalam upaya mitigasi RAD GRK
  6. Koordinasi dan partnership yang kuat dari berbagai pihak
  7. Komitmen dari semua pihak untuk upaya mitifasi RAD GRK

 

Feedback
Share This: