Energi dan Sinergi Untuk Bersinar Seperti Mentari

Anda di sini

Depan / Energi dan Sinergi Untuk Bersinar Seperti Mentari

Energi dan Sinergi Untuk Bersinar Seperti Mentari

 “Tak cukup mimpi, butuh jua energi dan sinergi tuk bersinar seperti mentari” (Dian Nafi, Matahari Mata Hati)

Ada banyak cara orang menikmati keindahan alam dan budaya yang ada. Ada yang sekadar memotret, ada yang memilih tinggal untuk merasakan sensasi yang lebih dalam, ada yang mengabadikan dalam sebuah tulisan bahkan mungkin ada juga yang sekadar lewat dan tak merasakan apa-apa karena sudah melihatnya sejak bertahun-tahun yang lalu. Sampai disini tentu keindahan menjadi sesuatu yang relatif, apa yang indah bagi saya belum tentu indah bagi anda dan sebaliknya. Tidak perlu dipaksakan bukan?

Namun tahukan anda bahwa menurut sebuah penelitian, ada kesimpulan yang menyatakan bahwa  pada dasarnya keindahan yang dapat dirasakan setiap manusia berbeda-beda tergantung dari pandagan manusia tersebut akan suatu hal yang dapat membuatnya merasa tenteram dan nyaman. Hal yang membuat pandangan dari masing-masing manusia berbeda-beda yakni kadar pengetahuan manusia itu sendiri akan nilai estetika dan karena perbedaan inilah penilaian seseorang akan keindahan dalam suatu karya seni, pemandangan, dan lain-lain menjadi berbeda- beda.

Sumba, sebuah pulau eksotik di bagian selatan Indonesia. Surga kecil dengan bentang alam berbukit-bukit, pantai pasir putih nan panjang, sabana luas dengan semak-semak disana-sini dan cuaca tropika yang dipercaya selalu mampu memanggil pulang siapa saja yang pernah mengunjunginya. Dan lagi-lagi (tentu saja) ada banyak cara orang menikmati Sumba dari timur sampai ke barat daya, apalagi pariwisatanya. Sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata memiliki potensi yang sangat besar untuk mempengaruhi -negatif maupun positif- lingkungan, keadaan sosial dan ekonomi dunia. Agar pariwisata dapat secara efektif memberikan kontribusi yang positif, pada tahun 1992, dalam United Nation Conference on Environment and Development –the Earth Summit– di Rio de Janeiro, dirumuskan program tindak yang menyeluruh hingga abad ke-21 yang disebut Agenda 21, yang kemudian diadopsi oleh 182 negara peserta konferensi termasuk Indonesia. Agenda 21 merupakan cetak biru untuk menjamin masa depan yang berkelanjutan dari planet bumi dan merupakan dokumen semacam itu yang pertama mendapatkan kesepakatan internasional yang sangat luas, menyiratkan konsensus dunia dan komiment politik di tingkat yang paling tinggi.
 
Dalam tataran kepariwisataan internasional, pertemuan Rio ditindaklanjuti dengan Konferensi Dunia tentang Pariwisata Berkelanjutan pada tahun 1995 yang merekomendasikan pemerintah negara dan daerah untuk segera menyusun rencana tindak pembangunan berkelanjutan untuk pariwisata serta merumuskan dan mempromosikan serta mengusulkan Piagam Pariwisata Berkelanjutan.  Industri wisata bukan hanya sekadar destinasi, melainkan juga pengembangan infrastruktur secara keseluruhan dan berkelanjutan. Dengan kata lain, industri pariwisata harus bisa terus ada sehingga mendatangkan manfaat tidak hanya bagi penduduk di daerah destinasi, mendatangkan devisa sekaligus ramah bagi lingkungan. Jadi pada prinsipnya, destinasi pariwisata harus berkelanjutan yakni menjaga lingkungan, memberdayakan budaya dan tetap memberikan keuntungan ekonomi.

 

 

 

Hari Senin, 6 Maret 2017 bertempat di salah satu kantor LSM (lembaga swadaya masyarakat) di Sumba Timur, saya dan beberapa kawan mulai dari aktifis perempuan, pegiat lingkungan sampai pegiat pariwisata berkesempatan mengikuti diskusi singkat tentang “Pariwisata Berkelanjutan” oleh tim Sumba Hospitality Foundation yang terdiri dari Ibu Sue Clark, Ibu Inge de Lethauwer dan Ibu Redempta Bato.
Suasana mendung sore itu tidak menghalangi kami untuk menikmati video singkat berisi profil sekolah hotel yang ditampilkan oleh tim ini. “Alasan kami hadir disini bukan untuk mempromosikan tentan Sumba Hospitality School tetapi sekadar berbagi pengalaman tentang apa yang sudah dikerjakan di sekolah kami. Ini memang hanya contoh kecil saja tetapi mimpi kami Sumba akan seperti ini kedepannya. Kami ingin mempromosikan tentang pariwisata berkelanjutan yang terdiri dari 3 pilar utama yakni lingkungan, sosial budaya dan ekonomi” demikian penjelasan awal Ibu Inge usai menonton video tersebut.

Sumba Hospitality School atau lebih dikenal dengan Sekolah Hotel Sumba telah berdiri sejak tahun 2015 dan ada sekitar 40 anak berprestasi dari keluarga tidak mampu (10 anak dari tiap Kabupaten di Pulau Sumba) yang saat ini mendapatkan beasiswa untuk belajar disana. Kurikulum yang diberikan fokus pada perhotelan dan lingkungan. Selain itu siswa- siswi di sekolah ini juga belajar tentang sosial budaya dengan penekanan agar mereka tetap dapat menjaga identitas sebagai orang Sumba karena sejatinya pariwisata berkelanjutan adalah pariwisata yang dapat bersaing di level internasional dengan tetap menjaga identitas asli/lokalnya.
Hal penting lain yang juga menjadi fokus dari sekolah ini adalah untuk melatih siswa-siswinya berpikir secara ekonomi, salah satu lewat pertanian organik. Bagaimana menciptakan pangan dan mengolahnya, mulai dari kebun ke piring. Memberikan nilai tambah pada produk-produk pertanian agar lebih bernilai ekonomi.  Sekolah ini sangat ramah lingkungan, ini terlihat dari desain bangunan yang semuanya memanfatkan bambu, penggunaan sumber listrik 100% dari energi terbarukan (tenaga surya) untuk penerangan dan alat lainnya, sistem pengolahan air limbah agar dapat digunakan kembali untuk menyiram tanaman (water treatment system), manajemen sampah (waste management) dan pertanian organik dengan sistem permaculture.

 

 

Permaculture (bahasa inggris) berasal dari kata permanent  agricultural, yang kemudian berkembang juga menjadi permanent culture, merupakan sebuah filosofi untuk merancang bangun ulang agar lahan-lahan pertanian dapat ‘menyuburkan kembali dirinya sendiri’ seperti ecosystem aslinya dahulu – sebelum produk-produk industry mencemarinya.  Permanen kultur bertujuan untuk melestarikan, mendukung dan bekerjasama dengan budaya dan lingkungan setempat serta tumbuh bersama dalam waktu yang bersamaan. Bekerja dengan alam dan manusia serta belajar dari mereka, bukannya melawan atau bersaing dengan mereka sedangkan Permanen Agrikultur adalah pengelolaan pertanian, peternakan dan perikanan dengan meningkatkan kualitas ekosistem sehingga kebutuhan manusia terpenuhi secara berkelanjutan hingga ke masa depan.

Bagi Anda yang bukan petani, garis besar dari konsep rancang bangun permaculture ini terdiri dari 12 pendekatan berikut – yang juga akan berguna untuk solusi masalah-masalah lainnya, yakni  Amati dan Kerjakan : memperhatikan dan memberi solusi yang sesuai untuk daerah/kasus yang terkait; Tangkap dan Simpan : Sumber daya yang selama ini terbuang dikumpulkan, diolah untuk kebutuhan lain dan disimpan untuk bisa digunakan pada waktunya;  Ukur dan Tingkatkan : Segala upaya yang dilakukan diukur dan ditingkatkan hasilnya;  Atur dan Perbaiki :  disiplin dalam menerapkan aturan sendiri dan mengkoreksinya bila perlu; Hargai dan Gunakan yang Terbarukan : memanfaatkan yang ada di alam sekitar, bukan mendatangkan dari luar yang harus dibeli mahal;  Olah dan Tidak membuat sampah : semua ada manfaatnya, temukan; Pelajari Pola Alam dan Ikuti : alam ciptaanNya memiliki pola-pola yang indah untuk menjaga kestabilan dan kelangsungannya, kita tinggal mempelajari dan mengikutinya; Integrasikan dan jangan Segregasikan : beri peran yang tepat untuk masing-masing komponen, jangan memisah-misahkannya; Mulai dari yang Kecil dan Jangan memaksakan Untuk Segera Besar: mulai beri perubahan kecil dari solusi sederhana yang benar-benar bekerja. Project kecil yang jalan jauh lebih baik dari project besar yang tidak jalan; Keanekaragaman Bukan Keseragaman : sebar resiko untuk hasil optimal, jangan tergantung pada satu atau sedikit hal; Lihat Kelebihan dan Tutup Kekurangan : ambil yang terbaik dan gabungkan masing-masing peran, tutup kekurangan yang satu dengan kelebihan yang lain serta Respon Perubahan dan Tidak Menolaknya : mengamati perubahan dan merespon-nya dengan tepat dan pada waktu yang tepat akan lebih baik ketimbang bersikukuh menolak perubahan jaman.

“Ketika kami datang pertama kali di lokasi dimana sekolah kami didirikan, masyarakat sekitar mengatakan bahwa tidak akan ada tanaman yang dapat tumbuh di daerah karena lahannya sudah sangat kritis, tetapi dengan beberapa treatment yang kami buat sekarang kami punya kebun sayur, buah, tanaman obat-obatan dan tanaman umur panjang sendiri. Bahkan ada tanaman untuk salad dari berbagai belahan dunia lain, dari Italia dan Eropa yang juga berhasil tumbuh disini” tegas Ibu Dempta sambil memperlihatkan slide yang berisi gambar tanaman-tanaman tersebut.

Dalam diskusi kami sore itu, Ibu Inge tidak putus-putusnya menyatakan kerinduan untuk terus bekerja bersama dengan pemerintah, organisasi masyarakat sipil, kelompok masyarakat bahkan pribadi yang punya mimpi tentang pariwisata berkelanjutan untuk Sumba karena saat ini sekolah hotel sudah memulai satu langkah kecil untuk menunjukkan kepada banyak pihak di luar sana bahwa tidak ada yang tidak mungkin ketika semua dikerjakan dengan ketulusan dan keyakinan, untuk keuntungan yang lebih besar di masa depan. Karena menurutnya pariwisata berkelanjutan hendak memastikan bahwa sumber daya yang dimiliki saat ini tetap terjaga sehingga generasi yang akan datang dapat terus menikmati manfaat dari perkembangan pariwisata itu sendiri.
Sebelumnya di hari yang sama, tim ini telah melakukan juga diskusi dengan Pemerintah Daerah (Pemda) Sumba Timur yang diwakili oleh Ketua DPRD, Komisi B DPRD, Assisten 1, Kepala Dinas Pariwisata dan mendapat tanggapan positif. Hal yang sama juga akan  dilakukan di Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya. Dalam kesempatan itu Ibu Sue Clark juga ikut berbagi. Beliau adalah seorang konsultan bisnis pariwisata, yang telah bekerja untuk membantu pemerintah di berbagai negara dari Afrika sampai Asia untuk memberikan masukan dan membuat perencanaan bagi pariwisata berkelanjutan.

Menurut Ibu Sue, penting  disadari jika bicara tentang perencanaan untuk pariwisata berkelanjutan berarti bicara soal perencanaan 20 tahun ke depan, yang pastinya juga butuh proses dengan langkah-langkah kecil untuk menata pariwisata yang telah ada. Kunci dari keberhasilan pariwisata berkelanjutan adalah memastikan bahwa komunitas lokal mendapatkan keuntungan paling besar, lingkungan (secara fisik, sosial, budaya) yang terjaga dan ekonomi berkelanjutan untuk jangka panjang. “Jika kita berani membuat orang luar berkunjung ke tempat kita maka kita harus bisa memastikan bahwa mereka harus membeli semua produk mulai dari makanan sampai souvenir misalnya, hanya dari masyarakat lokal  kita sehingga uang tidak berputar ke luar dan 90% orang yang bekerja di bisnis ini haruslah masyarakat lokal” demikian papar Ibu Sue.

Menanggapi ini Marlan Umbu Hina dari Tiera Sumba (salah satu travel agent) juga membagikan pengalamannya ketika membawa tamu, “Prinsip kami, wisatawan harus membeli produk wisata dari tangan pertama/pengrajinnya sendiri atau jika itu adalah kelompok tenun misalnya mereka harus kami bawa kesana untuk beli tenunan, bukan ke pengumpulnya karena kami juga ingin menciptakan pasar yang adil bagi komunitas-komunitas setempat” tandasnya.

Senada dengan itu, Ibu Ninu Rambu dari Yayasan Wali Ati yang juga pegiat lingkungan menegaskan juga bahwa selama ini beliau selalu bermimpi tentang adanya kelompok masyarakat yang tidak hanya menjadi penonton di negeri sendiri tetapi yang  juga mampu mengelola dan menciptakan pasarnya sendiri di sektor pariwisata ini, tentu dengan tetap menjaga keselamatan lingkungan terutama sumber- sumber air.

Diskusi kami berlanjut terus, mewakili Yayasan BaKTI yang fokus pada pertukaran pengetahuan saya mencoba berbagi tentang kerja-kerja beberapa pihak yang sudah didokumentasikan oleh lembaga kami baik tentang ekowisata di Desa Mondu yang dilaksanakan oleh Konsorsium Karbon Biru maupun tenun pewarna alam di Desa Lambanapu yang dikerjakan oleh Samdhana NTT, yang semuanya didukung oleh Millenium Challenge Account Indonesia (MCAI). Kerja-kerja ini sebenarnya merupakan bagian kecil dari mimpi menuju pariwisata berkelanjutan karena telah ada upaya-upaya peningkatan kapasitas masyarakat untuk nantinya dapat mengelola secara mandiri semua potensi wisata yang ada disekitarnya dengan menjaga lingkungan dan sumber daya lainnya agar tetap berkelanjutan demi peningkatan ekonomi masyarakat itu sendiri.

Sekolah Hotel Sumba ini juga sebenarnya sudah beberapa kali hadir dalam acara “sharing knowledge” yang diadakan mitra MCAI Petuah Undana. Setidaknya dari 2 kali kegiatan yang dilaksanakan mereka selalu hadir dan berbagi tentang sekolah mereka ini. Saya masih ingat pernyataan Ibu Dempta awal Oktober 2016 yang lalu ketika kami mengikuti Workshop Sharing Knowledge oleh Petuah Undana di Hotel Amaris Kupang : “Kami sangat tertarik untuk mengembangkan ekowisata di Sumba, untuk itu kami akan belajar pada Konsorsium Karbon Biru dan kami juga tertarik dengan pengembangan tenun berbasis pewarna alam, kami akan belajar juga dari Samdhana Institute. Senang sekali bisa ikut kegiatan ini”.

“Diskusi hari ini merupakan pertemuan awal untuk berbagi mimpi tentang masa depan pariwisata Sumba. Sekolah Hotel Sumba sendiri akan menfasilitasi untuk riset lanjutan agar nantinya dapat dihasilkan “grand design” pariwisata berkelanjutan untuk Sumba sekaligus membantu untuk menciptakan pasarnya. Mimpi ini bukan hanya mimpi kami tetapi harus menjadi mimpi semua pihak, baik dari pemerintah, swasta, organisasi masyarakat sipil maupun masyarakat jadi penting untuk kita bangun sinergi mulai hari ini” ucap Ibu Sue menutup diskusi.

 

 

Hari semakin malam, tim ini meminta saya untuk memfasiltasi kunjungan ke lokasi Samdhana NTT di Lambanapu untuk melihat langsung bagaimana kelompok dampingan mereka bekerja. Pada kesempatan ini tim bertemu langsung dengan Ibu Anissa Yuniar dari Yayasan Sekar Kawung Bogor (anggota konsorsium Samdhana Institute) dan Bapak Kornelis Ndapakamang selaku ketua kelompok tenun pewarna alam”Paluanda Lama Hamu”.

Banyak hal yang dibagikan malam itu, mulai dari aktifitas yang sudah berjalan terkait pelestarian tenun ikat pewarna alam ini, kegiatan bertukar pengetahuan dalam bentuk kelas magang tenun ikat dan penyusunan buku pelajaran muatan lokal tenun ikat sampai sinergi yang telah dibangun dengan berbagai pihak baik di tingkat lokal maupun internasional untuk mendukung kegiatan ekonomi produktif kelompok yang juga berbasis pada kearifan lokal dan keberlanjutan lingkungan. Tidak lupa tim berbelanja beberapa produk tenun ikat milik kelompok. Penting untuk memberdayakan masyarakat dalam hal memproduksi produk wisata tetapi penting juga menciptakan pasarnya, jika bisa dimulai dari diri kita, kenapa tidak?

Jam menunjuk pukul 21.00 wita dan kami harus pamit. Setidaknya apa yang saya lewati hari ini ada menarik yang sangat saya nikmati adalah bagaimana pertemuan bertukar informasi dan pengetahuan ini telah membuat  tim Sekolah Hotel Sumba mengundang komunitas Tiera Sumba dan kelompok Paluanda Lama Hamu juga Yayasan Sekar Kawung untuk berkunjung dan berbagi dengan siswa-siswi disana sebagai bekal mereka sebelum diberangkat untuk magang di beberapa hotel bintang 5 di Bali beberapa bulan yang akan datang. Dan yang tidak kalah penting, semakin banyak pihak mau terlibat untuk memikirkan masa depan pariwisata Sumba.
Sumba memang indah, tetapi jangan lupa ada banyak tempat di dunia ini yang juga indah. Ketika seorang wisatawan memutuskan untuk berkunjung ke suatu tempat maka haruslah tempat itu memiliki sesuatu yang istimewa yang membedakan dia dari tempat lainnya.
Orang Sumba sendirilah yang  harus berani memutuskan apakah mau memilih menjalankan “masstourism” atau “ecotourism”? Memilih untuk mendatangkan banyak orang untuk perjalanan wisata yang bisa saja juga tidak bertanggung jawab terhadap ekonomi masyarakat lokal dan lingkungan, yang satu saat akan bosan lalu mencari tempat baru dan meninggalkan Sumba seperti sesuatu yang tidak berguna lagi atau kunjungan wisata yang menjaga lingkungan dan memberdayakan masyarakat lokal?
Kita memang punya energi tapi kita butuh bersinergi. Mari bersama bermimpi cerdas dan bijak untuk Humba juga anak cucu kita kelak karena kita Nda Humba Li La Mohu Akama (Bukan Humba Yang Menuju Kemusnahan).

Feedback
Share This: