Ekowisata: Pendekatan Konservasi dan Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat
Sebuah gapura besar bertuliskan “Selamat Datang di Desa Wainyapu” menyambut kami. Sejauh mata menandang atap-atap rumah adat Sumba menjulang tinggi menantang langit yang terus-menerus menurunkan hujan. Desa Wainyapu adalah salah satu desa di Kecamatan Kodi Balaghar – Sumba Barat Daya. Desa ini terpilih sebagai salah satu lokasi program Konsorsium Karbon Biru (Blue Carbon Consortium/ BCC) untuk ekowisata.
Ekowisata adalah perjalanan yang bertanggung jawab ke daerah-daerah alami yang melestarikan lingkungan, menopang kesejahteraan masyarakat setempat, melibatkan interpretasi serta pendidikan lingkungan hidup. Demikian pengertian ekowisata menurut The International Ecotourism Society (2015). Konsep ekowisata mencoba memadukan tiga komponen penting yaitu konservasi alam, memberdayakan masyarakat lokal, meningkatkan kesadaran lingkungan hidup. Hal ini ditujukan tidak hanya bagi pengunjung, tetapi melibatkan masyarakat setempat.
Ekowisata melibatkan konservasi berarti memberikan insentif ekonomi yang efektif untuk melestarikan, meningkatkan keanekaragaman hayati budaya, melindungi warisan alam serta budaya di planet bumi. Ekowisata melibatkan masyarakat lokal berarti meningkatkan kapasitas, kesempatan kerja masyarakat lokal. Konsep ekowisata adalah sebuah metode yang efektif untuk memberdayakan masyarakat lokal di seluruh dunia guna melawan kemiskinan, mencapai pembangunan berkelanjutan.
Ekowisata melibatkan pendidikan lingkungan berarti memperkaya pengalaman, juga kesadaran lingkungan melalui interpretasi. Ia mempromosikan pemahaman, penghargaan yang utuh terhadap alam, masyarakat, budaya setempat. Berdasarkan tiga komponen penting tersebut, tidak secara otomatis setiap perjalanan wisata alam merupakan aktifitas wisata berbasis ekologi (ecotourism).
BCC sendiri, yang terdiri dari PKSPL- IPB, Yapeka dan Transform telah bekerja sejak bulan September 2015 di Sumba dengan dukungan program Kemakmuran Hijau – Millenium Challenge Account Indonesia (MCA-Indonesia) untuk Proyek Pengelolaan Pengetahuan Pembangunan Sumberdaya Pesisir Rendah Emisi, yang kemudian memasukkan juga ekowisata sebagai salah satu kegiatan pengelolaan pesisir yang rendah emisi.
Hari itu, Rabu 1 Februari 2017 kami mengunjungi situs Kampung Wainyapu yang adalah sebuah kampung dengan rumah adat (Uma Kalada) yang masih asli berjumlah 60 unit rumah dan terpelihara dengan baik. Kampung adat ini memiliki daya tarik karena keaslian rumah adat dan batu - batu kubur megalit yang unik sebanyak 1.058 buah, serta prilaku hidup masyarakat yang terus mempertahankan adat istiadat kuno dan tradisi Marapu. Tradisi budaya kuno seperti pembuatan rumah adat, penarikan batu kubur dan upacara adat Pasola yang cukup terkenal di kalangan para wisatawan, masih berlangsung di kampung ini. Daya tarik lain dari kampung ini adalah letaknya yang berada tepat di pinggir pantai Wainyapu dan menjadi pemandangan unik ketika berdiri di pinggir pantai sambil menyaksikan pesona alam dibalik pepohonan yang menampakkan menara - menara atap rumah adat yang menjulang tinggi.
Para wisatawan asing, khusunya wisatawan kapal pesiar yang berlayar di Selatan Pulau Sumba, sering menyinggahi kampung ini untuk menyaksikan pesona keaslian budaya masa lalu yang sudah sulit ditemukan di jaman sekarang. Anda dapat menyaksikan upacara adat Pasola di kampung ini yang digelar sekali dalam setahun pada bulan Maret. Tanggal pelaksanaannya ditetapkan pada bulan januari oleh para rato (imam) adat. Informasi kepastian jadwal pelaksanaan pasola dan event - event budaya lainnya seperti penarikan batu kubur dan pembangunan rumah adat yang dilakukan secara tradisional.
“Saya Oktovianus Ndari, Ketua Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Pasola di Desa Wainyapu” sapa seorang laki-laki yang berpakaian adat lengkap sambil mengulurkan tangannya pada kami ketika kami berhenti di depan salah satu bangunan sebelum masuk ke kampung adat. Kami diterima dengan hangat disana, sebuah tempat berisi sirih pinang diberikan pada kami sebagai ungkapan selamat datang. Sebuah spanduk besar bertuliskan “Selamat Datang di Desa Wisata Wainyapu: Pengalaman Tradisi Budaya Sumba Dimulai Dari Sini” ditempatkan tepat di dekat bangunan tempat kami berhenti.
Sejak tahun 2000, para wisatawan yang datang dalam rombongan besar sekitar 20-30 orang biasanya meminta ijin untuk menginap di salah satu rumah yang ada dalam kampung tersebut karena di sekitarnya belum tersedia fasilitas penginapan secara khsusus. Wisatawan yang tidak menginap di kampung adat, biasanya menginap di hotel-hotel yang tersedia di pusat kota.
Pokdarwis Pasola dibentuk sejak bulan November 2016 yang lalu setelah mendapat penguatan kapasitas terkait ekowisata oleh BCC dan secara struktur berada diluar struktur dari lembaga-lembaga yang sudah ada di desa. Namun saat ini Bapak Oktavianus telah berkomunikasi dengan Bupati dan Wakil Bupati untuk meminta dikeluarkannya SK (Surat Keputusan) oleh Dinas Pariwisata terkait legalitas Pokdarwis.
Dalam pengembangan ekowisata ini, setidaknya ada tujuh peran Pokdarwis merujuk pada Sapta Pesona Pariwisata Indonesia yaitu terkait keamanan, ketertiban, kebersihan, kesejukan, keindahan, keramahan dan kenangan. Selain itu juga Pokdarwis berperan penting untuk terus berkomunikasi dengan pihak desa untuk membangun sinergi sehingga kegiatan Pokdarwis dapat juga terakomodir dalam dana maupun kegiatan-kegiatan desa lainnya. “Selama ini semua kegiatan Pokdarwis bersama BCC selalu saya komunikasikan dengan pihak desa” tandas Pak Okta yang juga mantan kepala desa Wainyapu selama 13 tahun itu.
“Kami berharap ada pertemuan rutin yang diagendakan oleh Pokdarwis dengan Pemerintah Desa (Pemdes) karena dengan begitu akan ada sejumlah dokumentasi yang bisa dibawa untuk audiensi dengan level yang lebih tinggi, untuk Pokdarwis ini, karena kita berharap dukungan Pemda lewat Dinas Pariwisata semakin banyak untuk desa ini ataupun bisa memaksimalkan dana desa yang ada. Jadi ada dukungan Pemdes dan ada juga dukungan Pemdanya. Dan teman-teman pendamping dari BCC bisa bantu untuk identifkasi prosedur apa saja yang harus dijalankan untuk mendapat dukungan-dukungan tersebut” demikian tanggapan Bapak Andreas Suwito dari MCAI. Dukungan Pemda (Pemerintah Daerah) Sumba Barat Daya terlihat dengan pembukaan akses jalan ke lokasi Kampung Adat dan juga bangunan tribun di lapangan Pasola.
Setidaknya ada beberapa hal yang bisa kita nikmati di Desa Wainyapu ini yaitu: kampung adat dengan rumah-rumah adat yang dikelilingi kubur batu (megalitik), pasola, laut dengan ombak yang cocok untuk berselancar, pasir putih sepanjang 10 kilometer tempat penyu bertelur, bunga bangkai yang berbunga di bulan November dan Desember, ritual tarik batu kubur, kegiatan tenun-menenun. Desa ini belum dijangkau dengan layanan listrik dari PLN, rata-rata menggunakan lampu tenaga surya. Aktifitas ekonomi warga Desa Wainyapu adalah bertani, beternak dan nelayan. Khusus untuk aktifitas melaut hanya bisa dilakukan pada musim-musim tertentu saja ketika laut tenang karena gelombang laut di Pantai Wainyapu ini sangat tinggi dan berbahaya bagi perahu-perahu kecil. Ada sekitar 1987 jiwa yang tinggal di Desa Wainyapu dan Kampung Adat merupakan bagian dari Desa Wainyapu.
“Kami mohon maaf karena rata-rata anggota Pokdarwis tingkat pendidikannya terbatas sehingga untuk pemandu wisatanya (guide) akan kami berdayakan anak-anak muda, anak-anak sekolah yang bisa berbahasa Inggris karena saat ini ada juga anak-anak dari desa ini yang sedang belajar di Sekolah Hotel Sumba.Saat ini kami belajar untuk bisa memandu wisatawan yang datang semampu kami. Tetapi paling tidak dengan semua pendampingan yang dilakukan Karbon Biru kami jadi terbuka wawasan untuk mengelola dengan baik apa yang sudah kami miliki sehingga tidak lagi jadi penonton di tempat sendiri” ungkap Pak Okta malu-malu ketika kami bertanya soal pendampingan yang telah dilakukan BCC bagi Pokdarwis.
“Masih banyak yang akan kami kerjakan bersama Pokdarwis juga Pemdes dan Pemkab bahkan seluruh warga desa Wainyapu untuk mengelola ekowisata ini, karena ini baru saja kami mulai. Tetapi bersama banyak pihak kami yakin bisa mendorong warga desa untuk mengembangkan pariwisata berwawasan lingkunganyang berkelanjutan” tegas Bapak Prianto Wibowo selalu Project Manager BCC mengakhiri diskusi siang itu.
Lokasi berikut yang kami kunjungi adalah Kampung Adat Waru Wora di Desa Patialabawa Kecamatan Lamboya Sumba Barat. Mendengar nama Lamboya kita pasti langsung teringat pada ritual tahunan Pasola. Kami berkunjung di awal bulan dan menurut informasi, Pasola Lamboya dilasksanakan tanggal 18 Februari 2017, sangat disayangkan karena kami belum bisa menyaksikannya saat itu tetapi cukup terobati ketika melewati lapangan besar tempat Pasola berlangsung. Memasuki Desa Patiala Bawa tak hentinya kami berdecak kagum menikmati bentang alam yang begitu cantik dari balik hujan. Ada hijaunya padi-padi yang baru ditanam dan pepohonan yang kembali bertunas setelah sekian lama mengalami kekeringan. Perjalanan jauh kami hari itu, lunas terbayar dengan sajian cantik tempat ini.
Kami disambut Pokdarwis “Tana Nyale” yang baru terbentuk bulan November 2016 yang lalu. Para pengurus Pokdarwis berkumpul di beranda sebuah rumah besar di tengah kampung. Aroma sirih pinang dan kopi seolah membunuh dinginnya udara sore itu. “Kami sangat senang karena sekarang kami telah berada dalam sebuah wadah yang sangat bermanfaat bagi bagi. Dengan adanya Pokdarwis ini kami semakin paham bagaimana seharusnya kami mengelola potensi dan aset wisata yang sudah ada ini. Selama ini banyak tamu (wisatawan) yang datang, tetapi kadang datang tanpa ijin dan pulang tanpa pamit” ungkap Bapak Luther selaku penasehat dalam struktur pengurus Pokdarwis, membuka obrolan sore itu.
“Secara sederhana apa yang kami kerjakan saat ini bertujuan untuk meningkatkan ekonomi masyarakat tanpa merugikan lingkungan. Selain itu secara khusus kami juga mendorong keterlibatan perempuan dalam proses ini, mereka dapat mendukung lewat kegiatan tenun-menenun ataupun mengelola hal-hal lainnya sehingga ada pembagian tugas dengan laki-laki” jelas Bapak Prianto Wibowo ketika kami bertanya bagaimana proses partisipatif yang dibangun dalam kegiatan ini.
Desa Patiala Bawa bersebelahan dengan lokasi pariwisata kelas dunia “Nihiwatu”. Dari Pantai Kerewei yang ada di desa ini kita dapat memandang langsung jejeran atap-atap hotel Nihiwatu bahkan ada wisatawan yang terkadang menyewa perahu kecil untuk melihat Nihiwatu lebih dekat. Selain Pantai Kerewei di desa ini juga terdapat Pantai Marosi yang terkenal dengan pasir putihnya yang lembut dan ombak besarnya untuk olahraga surfing.
“Kami berharap ke depannya, desa dapat memanfaatkan peluang yang ada ini. Nihiwatu bisa dilihat sebagai tempat yang mendatangkan tamu bagi desa, untuk menikmati kampung adat, pantai maupun potensi-potensi lainnya. BCC akan dampingi Pokdarwis untuk memperkuat kelembagaannya dahulu dengan struktur yang ada termasuk legalitasnya lewat kordinasi dengan Pemerintah Kecamatan maupun Kabupaten. Dengan adanya pengakuan terhadap keberadaan Pokdarwis maka kita juga berharap Pokdarwis punya posisi tawar yang kuat ketika berkoordinasi dengan berbagai pihak untuk mengelola semua sumber daya yang ada. Pengelolaan yang baik dan benar selain untuk meningkatkan kesejahteraan, menjadi jalan juga untuk menjaga keberlanjutan sosial budaya dan lingkungan bahkan pengetahuan” demikian disampaikan Bapak Andreas Suwito kepada pengurus Pokdarwis Tana Nyale.
Kampung adat Waru Wora sudah berdiri ratusan tahun sehingga Pokdarwis Tana Nyalepun harus berani bermimpi untuk ratusan tahun ke depan. Kekuatan anak muda harus juga dapat dimamfaatkan dengan baik. Sehingga alih-alih meninggalkan kampung dan mencari kerja di kota, dengan adanya ekowisata ini diharapkan banyak peluang kerja tercipta untuk masyarakat desa maupun di luar desa. Bagian terpenting yang bisa dikerjakan setiap hari sebenarnya adalah bagaimana generasi tua yang ada menurunkan nilai-nilai adat bagi generasi muda, bukan sekadar mengikutsertakan mereka dalam ritual-ritual.
Di Kabupaten Sumba Barat, salah satu kebijakan tentang pariwisata baru saja dihasilkan pada tahun 2016 yang lalu, semoga dengan lahirnya kebijakan ini ruang-ruang kolaborasi antara berbagai pihak semakin terbuka dalam mendukung pengembangan pariwisata yang berpihak pada masyarakat desa/adat dan lingkungan. Selamat bekerja Pokdarwis Tana Nyale, selamat mengelola pesisir dengan semangat rendah emisi bagi Desa Patiala Bawa.
Dari Sumba Barat kami bergerak menuju Sumba Timur. Hari itu, Kamis 2 Februari 2017 kami menyusuri bagian utara Sumba Timur tepatnya ke Desa Mondu di Kecamatan Kanatang yang terkenal dengan Pantai Purukamberanya. Sebuah baliho dengan tulisan “ Selamat Datang di Desa Wisata Mondu: Nikmati Keaslian Budaya dan Keindahan Alam Menyatu di Timur Sumba” menyambut kami. Kami langsung menuju Kampung Padadita untuk berganti pakaian dengan menggunakan pakaian adat (kain dan sarung Sumba Timur) agar dapat berkeliling menikmati wisata di Desa Mondu. Seorang pemandu dari Pokdarwis Prailengu mengarahkan kami untuk segera menuju balai desa setelah kami memakai pakaian adat.
Sekelompok laki-laki paruh baya dalam balutan busana Sumba Timur dengan tombak besi di tangan nampak gagah berbaris di halaman balai desa. Begitu gong dibunyikan, prosesi penyambutan dimulai. Kami diterima oleh Bapak Kepala Desa, Umbu Tunggu Mbili dengan tarian khusus untuk menyambut tamu, yang dikenal dengan nama tarian Harama, para penari saling berbalas kata dalam bahasa setempat yang didapat diartikan sebagai perkenalan dari pihak yang berkunjung dan penerimaan dari pihak yang dikunjungi.
Tidak hanya itu, begitu tiba di ruangan sekelompok gadis lanjut menghibur kami dengan tarian untuk menghantarkan sirih pinang. Usai sirih pinang diberikan, mereka memberi salam satu persatu pada tamu yang datang. Beberapa saat kemudian sekelompok ibu-ibu datang dengan membawa kopi Sumba dilengkapi dengan makanan khas “Kamburung” yang terbuat dari jagung muda yang ditumbuk, dibungkus daun jagung lalu dikukus menyerupai makanan dari ubi kayu yang biasa dikenal dengan nama “lemet”. Makanan tradisional lain yang dihadirkan sore itu adalah “manggulu”, makanan ini seperti dodol karena dibuat dari campuran pisang matang yang diiris tipis lalu dijemur dan ketika kering dikukus lalu dihancurkan bersama kacang tanah yang telah disanggrai. Ada juga “kaparak” makanan yang berbentuk tepung ini adalah campuran kacang tanah dan jagung yang telah disanggrai, ditumbuk halus dan diberi sedikit gula pasir. Semua makanan ini diisi dalam wadah-wadah kecil dari anyaman berbahan daun pandan dan daun lontar. Tidak hanya itu, sejumlah hasil kerajinan seperti ukir-ukiran, peralatan makan berbahan batok kelapa, anyaman topi dan tempat sirih pinang sampai kain tenun juga dipajang dalam ruangan. Semuanya merupakan hasil produksi masyarakat setempat dengan memanfaatkan potensi alam di sekitar mereka. Dan pastinya ini semua bukan saja dapat dinikmati oleh kami tetapi juga oleh siapa saja yang berkunjung kesana karena ini adalah bagian dari paket wisata yang nantinya akan ditawarkan oleh Desa Mondu.
Membuka pertemuan sore itu, Bapak Kepala Desa menyampaikan terimakasih atas dukungan MCAI lewat BCC bagi Desa Mondu dan berharap makin banyak pihak yang ikut mendukung pengembangan pariwisata di desa ini dengan tetap menjaga lingkungan.
“Desa ekowisata adalah sebuah desa yang memelihara sendi-sendi ramah lingkungan serta mampu memgkolaborasikan kearifan lokal dengan wisata. Sudah saatnya warga desa didorong sebagai aktor utama dalam pembangunan daerahnya sehingga mereka punya rasa memiliki sekaligus bangga bila daerahnya dikunjungi turis dari dalam dan luar negeri” demiian penjelasan Bapak Deni Karunggulimu selaku Koordinator Kabupaten BCC untuk wilayah Sumba Timur dan Sumba Tengah.
Sementara itu, mewakili Pemda Sumba Timur hadir juga sekretaris Dinas Pariwisata, Ibu Rizparia Ranggambani. Beliau juga menyatakan apresiasi pada kegiatan yang dikerjakan BCC karena sejalan dengan apa yang lakukan Pemda saat ini khususnya tentang kawasan wisata Purukambera yang telah dituangkan dalam Perda (Peraturan Daerah).
“Jika sudah ada peta yang dibuat oleh teman-teman BCC terkait lokasi ekowisata di Desa Mondu ini maka saya akan bawa itu untuk disinkronkan dengan apa yang telah dibahas oleh teman-teman Bappeda untuk pengembangan kawasan wisata Purukambera, biar kita juga dapat lebih jelas menemukan dukungan seperti apa yang sangat dibutuhkan oleh Desa Mondu ini” tegas Ibu Rizparia dalam sambutannya ketika membuka diskusi sore itu.
Di Desa Mondu ini ada beberapa hal yang bisa dinikmati, ada kampung adat Prainatang yang telah berusia ratusan tahun dengan kubur batunya, Pantai Mauhiku, Pantai Kapihak, Pantai Purukambera, ada ritual adat seperti upacara perkawinan, kematian ataupun ritual meminta berkat pada Marapu (Mangejing), ada tenun ikat Kanatang dengan pewarna alam dan corak yang sangat khas, ada aktiftas menenun para perempuan denga tahapan-tahapan yang sangat panjang, ada pengolahan makanan lokal dan kerajinan untuk oleh-oleh dan masih banyak lagi.
Usai diskusi di kantor desa, kami berkunjung ke Pantai Mauhiku dan Kapihak. Di Pantai Mauhiku ada lokasi sekitar 2500m² yang rencananya akan dijadikan Pusat Informasi dan Pusat Kegiatan Wisata oleh Pokdarwis Prailengu. Apapun yang menjadi mimpi warga Desa Mondu tentunya menjadi mimpi banyak pihak. Pengelolaan pesisir yang rendah emisi hanya akan terwujud dalam sinergi yang baik antara Pemda, LSM dan masyarakat. Terus membangun masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan mereka dengan berorientasi pada keberlanjutan lingkungan juga menjaga spirit pemberdayaan masih menjadi kerja keras kita semua.
Hari beranjak gelap. Kami kembali melintasi sabana, kembali ke hiruk pikuk kota sambil terus mensyukuri keajaiban yang kami nikmati selama dua hari perjalanan. Dari jauh sayup-sayup syair Umbu Landi Paranggi terdengar :
...........
keyakinan yang telah terpatri, bersemi, tak terikat ruang dan waktu
juga dalam gereja lalang ini, terpencil jauh dan sunyi
jauh dari genteng, kegaduhan listrik serta deru oto
tak mengenal surat kabar, jam radio ataupun televisi
tapi keyakinan, pegangan mereka adalah harapan dan kerinduan yang sama mentari dan bulan yang bersinar di mana pun—
dan tuhan mendengar seru doa mereka (“Di Sebuah Gereja Gunung, Umbu Landu Paranggi”)