Pemutaran dan Diskusi Film Dokumenter “Kita, Alam, dan Masa Depan” di Kabupaten Sumba Barat
“Kami sangat berharap dengan adanya film ini ada hal yang dapat diadopsi oleh para peserta dan yang harus diingat bahwa kegiatan ini bukan hanya berbagi pengetahuan tetapi bertukar pengetahuan, karena itu artinya setiap orang punya hal-hal baik untuk dipertukarkan. Dan pengetahuan hanya bermanfaat jika dapat dipertukarkan secara luas” ungkap Direktur Eksekutif Yayasan BaKTI, Ibu Caroline Tupamahu dalam sambutannya saat kegiatan Pemutaran dan diskusi film berjudul “Kita, Alam dan Masa Depan” tanggal 30 Mei 2016 di Aula Hotel Karanu, Kabupaten Sumba Barat.
Menegaskan harapan Yayasan BaKTI, Bapak Stefanus Segu selaku Distric Relationship Manager (DRM) MCA-Indonesia untuk Kabupaten Sumba Barat dan Sumba Barat Daya juga menyampaikan dalam sambutannya ketika membuka kegiatan bahwa umumnya pendekatan yang dipakai dalam program-program pembangunan adalah problem solving atau lebih banyak melihat masalah. Jarang sekali melihat yang sukses lalu belajar dari apa yang sudah sukses karena sebenarnya sukses itu adalah fakta dan banyak masalah justru masih asumsi. Dengan film ini kita diajak untuk berfokus pada apa yang telah sukses dalam upaya pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat dan kesuksesan itulah yang hendak dipertukarkan agar kesuksesan menjadi milik bersama.
Film dokumenter berdurasi tujuh belas menit ini merupakan film yang diproduksi Yayasan BaKTI dengan dukungan dari MCA-Indonesia lewat Aktifitas pengetahuan hijau, Proyek Kemakmuran Hijau, MCA-Indonesia. Film ini mengajak penonton untuk mengetahui beberapa praktik/inisiatif pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat yang dilakukan dengan swadaya. Termasuk di dalamnya menanam pohon dan menjaga hutan, menyediakan sistem informasi potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia berbasis web dan aplikasi, pengelolaan serta pemanfaatan sampah, bertani secara organik di lahan kering, dan memanfaatkan limbah dari pengolahan energi terbarukan. Film yang mengambil lokasi di Pulau Lombok dan Sumba ini ingin membuka mata penonton bahwa pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat tidak semata demi pelestarian alam tetapi juga mendatangkan manfaat ekonomi.
“Apa kegiatan ini diperuntukkan juga bagi kami kaum difabel?” demikian pertanyaan yang diajukan salah seorang peserta. Namanya Bapak Adung, dari Desa Tanarara, Kecamatan Loli. Seorang pria paruh baya yang memiliki ketrampilan menganyam bambu dan telah membagikan ketrampilan ini dengan penduduk desa lainnya sehingga saat ini di desa tersebut sudah ada kelompok pengrajin gedek/ anyaman bambu yang berkembang dengan dana swadaya. Menonton film ini beliau terinspirasi untuk tidak saja sekadar memanfaatkan/menebang bambu yang ada tetapi juga harus melestarikannya dengan cara menanam kembali pengganti bambu yang telah ditebang tersebut sehingga baik pertumbuhan ekonomi maupun kelestarian alam/keberlanjutan adalah dua hal yang harus berjalan bersama dalam pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat.
Inspirasi lain datang dari Mama Erna Warata dari desa Tema Tana, Kecamatan Loli, seorang pemerhati lingkungan yang selama ini concern untuk perlindungan hutan Pronombu dan pengolahan pangan lokal bergizi yang bersumber dari ubi-ubian yang terdapat disekitar hutan tersebut. Pada kesempatan ini, Mama Erna membagikan pengetahuannya tentang pemanfaatan sabut dan tempurung kelapa menjadi briket. Briket adalah bahan bakar alternatif yang menyerupai arang tetapi terbuat/tersusun dari bahan non kayu. Briket dibuat dengan proses pirolisis (pembakaran an aerobik). Banyak bahan-bahan yang dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan briket, contohnya sekam padi, jerami, batok kelapa, serbuk gergaji, dedaunan dan lain-lain.
Menurut Mama Erna, di Sumba banyak daerah pesisir tentu banyak terdapat pohon kelapa, yang bisa dijadikan salah satu solusi bagi persoalan ketersediaan bahan bakar minyak untuk memasak. Caranya sabut kelapa dicincang menjadi potongan kecil-kecil terlebih dahulu dengan parang atau dengan mesin jika ada, lalu sabut tersebut dimasak dengan tepung kanji yang juga bisa dibuat dari ubi-ubian yang tersedia. Kemudian campuran sabut kelapa dan kanji tersebut dicetak bulat atau panjang sampai padat lalu dikeringkan. Setelah kering, bahan ini dapat dipakai sebagai arang yang tahan lama nyalanya sehingga mengehemat minyak tanah maupun kayu bakar.
Tidak hanya inspirasi, berbagai praktik baik terkait pengelolaan sumber daya alam berbasis masyarakat juga tergali dalam kesempatan diskusi setelah pemutaran film ini. Dari kelompok LSM misalnya terkait kerjasama dengan SKPD untuk perlindungan mata air dan penghijauan di hutan desa di Desa Lapale. Dimana proses penghijauan tidak dimulai dengan pembagian anakan, melainkan menggunakan kepakatan adat bahwa setiap bantuan alat pertanian yang diberikan untuk desa harus didahului dengan penanaman tanaman umur panjang oleh warga di sekitar mata air. Bahkan selanjutnya jika kelompok-kelompok tani yang ada hendak beraktifitas maka setiap anggotanya diwajibkan menanam pohon pisang dan bambu terlebih dahulu di lahan-lahan kosong yang ada di desa. Dengan cara ini, dipastikan ada sekitar 20 pohon pisang dan bambu yang ditanam setiap harinya di Desa Lapale.
Praktik baik lain dari kelompok LSM adalah terkait pendampingan konservasi wilayah pesisir desa Lokory, melalui pembuatan papan informasi sekitar kawasan tersebut. Ada kesepakatan tingkat desa untuk melarang aktifitas penambangan pasir dan penebangan pohon yang harusnya tidak hanya diketahui oleh warga desa Lokory tetapi juga oleh desa-desa di sekitarnya sehingga perlu dipasang papan informasi sekaligus papan larangan yang menjelaskan hal tersebut. Selain itu juga ada pendampingan pembuatan peraturan desa (Perdes) bagi Desa Lapale, Lokory, Katikuloku dan beberapa desa lain yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam. Dalam proses pendampingan penyusunan RPJMDes dan APBDes untuk semua desa di Sumba Barat, dipastikan juga bahwa isu pengelolaan sumberdaya alam menjadi bagian yang dimasukkan disana.
Berdasarkan hal-hal yang telah dilakukan selama ini maka kelompok LSM juga mempunyai ide/gagasan kedepan untuk mendorong Pemda membuat Perda Pengelolaan Sumberdaya Alam berkelanjutan dan menghidupkan kembali kearifan lokal (Ruatu Adat) sehingga ada payung hukum bagi apa yang sudah dikerjakan selama ini sekaligus mempermudah dalam proses advokasi untuk pemenuhan hak-hak warga terkait PSDA. Misalnya di Kecamatan Wanukaka pernah diterapkan ruatu adat ini,dimana ada warga yang mengambil bambu di hutan desa tanpa ijin sehingga akhirnya ia di denda sebesar lima juta rupiah dan harus memberi makan semua warga desa untuk meminta maaf. Diharapkan dengan adanya ruatu adat yang diPerdakan maka efek jera yang ditimbulkan semakin efektif.
Menindaklanjuti kegiatan ini, kelompok LSM juga akan berbagi dengan Pemda maupun program pembangunan lainnya yang bekerja di Sumba Barat lewat pertemuan rutin triwulan Sekber (Sekretariat Bresama) yang dikoordinir oleh Bappeda, tentang harapan-harapan yang tergali dalam diskusi. Sehingga dapat terjadi sinergitas, integrasi, kolaborasi maupun evaluasi untuk kerja-kerja terkait PSDA berbasis masyarakat dapat menjadi gerakan bersama.
Tidak kalah menarik, praktik baik dibagikan juga oleh kelompok SKPD. Misalnya kegiatan pengelolaan sampah di desa Lapale yang merupakan kawasan TPA (Tempat Pembuangan Akhir), penanaman manggrove, pembuatan ruang terbuka hijau, pembagian tanaman hias, penilaian sekolah Adhiwiyata. Dimana dengan program ini, Badan Lingkungan Hidup Daerah selaku dinas teknis berharap sekolah-sekolah dari tingkat pendidikan dasar sampai menengah atas dapat dinilai sejauh mana kepeduliannya terhadap lingkungan dan juga mereka didampingi untuk membangun pemahaman tentang cinta lingkungan. BLH Sumba Barat sendiri juga saat ini sedang memperjuangkan agar hal ini dimasukkan dalam kurikulum sekolah melalui pelajaran muatan lokal.
Sedangkan untuk ide/gagasan kedepan kelompok SKPD akan mendorong untuk kegiatan pengelolaan sampah organik menjadi kompos, pertanian selaras alam yang berkelanjutan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya alam.
Kegiatan yang berlangsung selama kurang lebih dua jam ini, akhirnya ditutup dengan beberapa kesimpulan oleh moderator Ibu Martha Rambu Bangi, yaitu:
• Terkait nilai dan prinsip yang terbangun baik dari film maupun hasil proses diskusi, antara lain inisiatif baik dimulai dari diri sendiri maupun keluarga namun pada akhirnya berdampak luas. Harus ada orang yang berani memulai gerakan perubahan untuk menjadi lebih baik lalu gerakan itu dibuat menjadi gerakan bersama dan optimalisasi pemanfaatan potensi dan asset lokal dengan memperhatikan aspek keberlanjutannya
• Terkait strategi pengelolaan Sumberdaya Alam berbasis masyarakat, antara lain pendidikan cinta lingkungan yang dimulai sejak dini, peningkatan kapasitas sumber daya manusia untuk mengelola alam untuk keberlanjutan, kebijakan pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan, kegiatan-kegiatan cinta lingkungan skala individu maupun kelompok, pertukaran informasi dan pengetahuan terkait pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat dan penguatan jaringan untuk sinergitas kerja-kerja multi pihak. **