Era Baru Perhutanan Sosial: Menuju Kesejahteraan Masyarakat
Masyarakat di dalam dan di sekitar hutan selayaknya memiliki akses mengelola sumber daya hutan. Pemerintah menjaminnya dengan menyediakan beragam skema akses pengelolaan hutan melalui Program Perhutanan Sosial.
Program perhutanan sosial di Indonesia memasuki era baru pada pemerintahan Presiden Joko Widodo. Pemerintah memberikan akses legal kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan untuk mengelola sumber daya hutan dalam lima skema pengelolaan, yaitu hutan kemasyarakatan, hutan desa, hutan tanaman rakyat, kemitraan, serta hutan adat. Dengan beragam skema ini, pengelolaan sumber daya hutan oleh masyarakat dapat dilakukan secara legal dan mendukung kepastian pengelolaan dalam jangka panjang, yang menjadi salah satu prinsip pengelolaan hutan lestari.
Pemerintah memperkuat akses legal tersebut dengan menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial. Kebijakan ini menyelaraskan peraturan-peraturan sebelumnya ke dalam satu peraturan yang lebih sederhana, terintegrasi dan menyeluruh. Salah satu pertimbangan terbitnya peraturan tersebut adalah mendesaknya upaya untuk mempercepat pengurangan kemiskinan, pengangguran, serta ketimpangan pengelolaan atau pemanfaatan kawasan hutan. Kebijakan ini merupakan resonansi antara pendekatan pelaksanaan terpusat dan inisiatif yang datang dari bawah, dukungan dari pemerintah daerah serta partisipasi dari masyarakat sipil dan pemangku kepentingan lainnya.
Sebelumnya, saat mencanangkan program kolaborasi Hutan Tanaman Rakyat dengan Industri Kayu Terpadu di Desa Buntoi, Kecamatan Kahayan Hilir, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, Selasa, 20 Desember 2016, Presiden Jokowi mengatakan bahwa pemerintah akan memberikan 12,7 juta hektar kawasan hutan sampai pada 2019 untuk dikelola masyarakat. Melalui program perhutanan sosial, pemerintah ingin dan akan terus memberdayakan rakyat, koperasi, petani, juga menjaga kelestarian sumber daya hutan.
Akses legal yang diberikan pemerintah kepada masyarakat di dalam dan di sekitar hutan bukan tanpa dasar. Saat ini, sekitar 25 ribu desa di Nusantara merupakan desa hutan yang berada di sekitar kawasan hutan, sementara jumlah penduduk yang belum sejahtera, yang berada di lingkungan hutan mencapai 10,2 juta jiwa. Namun, Direktur Jenderal Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hadi Daryanto mengingatkan bahwa program tersebut bukan program bagi-bagi lahan, melainkan program sistematis untuk membuat masyarakat Indonesia menjadi lebih produktif, bekerja, dan punya penghasilan. “Ujungnya, kesejahteraan masyarakat terwujud,” ujarnya.
Hadi Daryanto menuturkan hingga bulan Agustus 2017, pemerintah telah memberikan akses kelola kawasan hutan sebesar 1.053.477 hektar kepada 239.341 kepala keluarga. “Dari jumlah itu, hak pengelolaan untuk 604.373 hektar diberikan pemerintah kepada masyarakat sejak November 2014 hingga Agustus 2017. Jumlah ini terhitung cepat dibanding luas lahan hutan yang diberikan akses pengelolaannya oleh pemerintah kepada masyarakat pada 2007 hingga Oktober 2014, yaitu 449.104 hektare,” ucapnya. “Saat ini, masih ada 700 ribuan hektare lahan yang siap diberikan pemerintah untuk dikelola oleh masyarakat,” katanya menambahkan.
Hadi menjelaskan, program perhutanan sosial memberikan dampak signifikan terhadap kehidupan ekonomi masyarakat. Contohnya, pendapatan masyarakat pengelola HKM Kalibiru, Kulonprogo, Yogyakarta, meningkat dari Rp 200 juta per bulan menjadi Rp 800 juta-Rp 1 miliar per bulan, terutama pada peak season. “Mereka berhasil mengelola kawasan hutan lindung untuk kegiatan ekowisata,” tuturnya. Hadi pun optimistis program perhutanan sosial dapat berlanjut di masa depan.
Keberhasilan pengelolaan perhutanan sosial telah ditunjukkan kelompok-kelompok masyarakat sipil, antara lain penerima manfaat Hibah Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat (PSDABM) Millennium Challenge Account - Indonesia (MCA-Indonesia). Pelaksana hibah ini antara lain Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang berkontribusi mendukung pengelolaan Hutan Nagari di Solok Selatan, Sumatra Barat; pengembangan Hutan Kemasyarakatan dan Hutan Tanaman Rakyat di Kerinci, Jambi; serta Hutan Adat di Merangin, Jambi. KKI Warsi juga mengembangkan hasil hutan non kayu produk wanatani seperti durian, petai, manggis, kopi, dan karet, mengembangkan edu-etno-ekowisata, serta membangun pembangkit listrik tenaga mikrohidro yang memanfatkan air dari lingkungan hutan. Sementara itu, beberapa penerima hibah lainnya seperti tiga konsorsium yang dikoordinasi oleh Sulawesi Community Foundation, Hapsari dan Inisiatif, tengah mencoba mengembangkan unit-unit pengolahan hasil hutan kayu seperti veneer dan pelet kayu maupun non kayu seperti rotan yang berbasis kegiatan perhutanan sosial di Mamuju, Sulawesi Barat, dan di wilayah Luwu Raya, Sulawesi Selatan.
Zumrotin K. Susilo, tokoh masyarakat sipil sekaligus anggota Majelis Wali Amanat MCA-Indonesia mengatakan, 24 dari 52 penerima hibah program PSDABM adalah 24 kelompok masyarakat sipil yang bergerak di bidang perhutanan sosial. “Program perhutanan sosial harus diperjuangkan mulai hulu hingga hilir,” ujarnya tegas. Zumrotin menjelaskan, perjuangan dari hulu hingga hilir itu dimulai dari legalitas pengelolaan sumber daya hutan, kegiatan perhutanan on-farm antara lain berupa pembibitan dan pengelolaan lahan, kegiatan perhutanan off-farm berupa pengadaan alat produksi hingga pembuatan kemasan, guna meningkatkan kualitas serta nilai tambah produk hutan, sampai kegiatan pemasaran.
“Dari sisi legalitas, Presiden Jokowi telah memberikan hak akses kepada masyarakat untuk mengelola hutan. Tinggal bagaimana sekarang menjawab tantangan terbesar program perhutanan sosial, yaitu kegiatan off-farm dan pemasaran. Terutama, bagaimana melatih kelompok-kelompok masyarakat sipil tentang kewirausahaan dan pemasaran, serta menjalin kerjasama dengan para pihak di bidang itu,” kata Zumrotin.
Hutan Lestari, Pemerataan Ekonomi Terjadi
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menyelenggarakan Festival Perhutanan Sosial Nusantara (PeSoNa) 2017 dengan mengangkat tema “Ini Saatnya untuk Rakyat”.
Tahun ini, Festival PeSoNa 2017 diikuti 73 peserta serta berlangsung selama tiga hari, dari 6-8 September 2017 di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta. Berbagai acara digelar dalam festival ini. Mulai seminar dan talkshow, pameran, pentas seni, hingga santap PeSoNa yang menghadirkan hidangan olahan dari bahan baku yang berasal dari hutan dan disajikan chef berpengalaman. Selain itu, festival ini menghadirkan temu usaha (seller meet buyer) antara kelompok tani sebagai penghasil produk perhutanan sosial nonkayu (seller) dan jejaring peningkat kapasitas dan calon penyalur atau pembeli (buyer) serta live mural event.
Saat membuka Festival PeSoNa 2017, Menteri Siti Nurbaya mengatakan festival ini merupakan bentuk keberpihakan pemerintah terhadap rakyat untuk menjaga hutan lestari Indonesia. “Festival ini sekaligus sebagai forum yang mempertemukan para pemangku kepentingan, lembaga pemerintah, masyarakat sipil, akademisi, pelaku usaha, kelompok tani, serta koperasi untuk bersatu dan bertukar pengalaman agar terjadi pemerataan ekonomi yang berkeadilan melalui program perhutanan sosial,” kata Siti.
Artikel ini dimuat di Majalah Tempo edisi 11-17 September 2017, halaman 22-23. Unduh artikelnya di sini.