Setitik TERANG untuk Anak-anak Kami
Siang itu, sekitar pukul 11.00 Wita kami menempuh perjalanan menyusuri sabana sepanjang sekitar 70 kilometer. Kami bergerak dari kota Waingapu menuju Desa Kadahang di Kecamatan Haharu yang terletak di bagian utara Kabupaten Sumba Timur dan merupakan daerah pesisir. Sejauh mata memandang, hanya ada hamparan bukit-bukit karang berbaris rapi dihiasi rusuk-rusuk sapi ongole seolah berharap hujan segera turun. Oktober kali ini benar-benar terik bagi kami padahal sebenarnya di pulau-pulau lain di bagian Barat Indonesia ini hujan telah mengguyur. Saya tiba-tiba teringat sepenggal puisi “Beri Daku Sumba” milik Umbu Landu Paranggi :
Berdirilah di pesisir, matahari’kan terbit dari laut
Dan angin zat asam panas dikipas dari sana
.......
Rinduku pada Sumba adalah rindu padang-padang terbuka
Dimana matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh.
Beberapa tahun belakangan ini, ketika gaung tentang salah satu tujuan pembangunan berkelanjutan yaitu energi yang bersih dan murah didengungkan, Pulau Sumba sendiri telah menjadi ikon untuk pemanfaatan energi bersih berkelanjutan yang bersumber dari energi baru terbarukan seperti energi matahari, angin, air sampai pada kotoran ternak. Rupanya matahari bagai bola api, cuaca kering dan ternak melenguh milik Umbu Landu Paranggi bukan lagi sekadar puisi.
Tanggal 2 November 2016, kami mengikuti tim Hivos untuk berkunjung ke SD Negeri Kadahang dalam rangka diskusi dengan guru dan orang tua murid sebelum instalasi PV School (Photovoltaic Solar Installation/ Instalasi Listrik Tenaga Matahari) dilakukan di sekolah tersebut sekitar bulan Desember nanti. SDN Kadahang berdiri sejak 1 Agustus 1949, saat ini memiliki 6 rombongan belajar dengan total siswa 138 orang dan Guru/Pegawai sebanyak 9 orang. Untuk penerangan sekolah, pada tahun 1998 pernah mendapatkan bantuan lampu tenaga surya dari UNICEF yang dimanfaatkan untuk menerangi sekolah saat malam hari namun setelah dimanfaatkan selama 3 tahun lampu tersebut rusak. Pada tahun 2004 sekolah membeli genset, yang kemudian dimanfaatkan tidak hanya untuk penerangan tetapi juga untuk alat-alat elektronik lain seperti laptop dan printer yang melancarkan kegiatan belajar mengajar di sekolah. Untuk pengoperasian genset dilakukan sendiri oleh guru, sekolah mengeluarkan biaya sebesar Rp 200.000 untuk membeli bensin dan biaya bayar teknisi (orang dari luar sekolah) serta pembelian alat sekitar Rp150.000 dimana besarnya disesuaikan dengan jenis kerusakan, yang diambil dari dana BOS (Biaya Operasional Sekolah).
Adalah program TERANG, sebuah mimpi terkait investasi Energi Baru Terbarukan (EBT) bagi masyarakat terpencil yang saat ini sedang dikerjakan oleh Konsorsium Hivos dengan dukungan Millenium Challenge Acount Indonesia (MCA-Indonesia) untuk seluruh Kabupaten di Pulau Sumba. Secara singkat program TERANG bertujuan untuk mencapai dua hasil, termasuk peningkatan mata pencaharian pedesaan melalui pemanfaatan energi terbarukan di masyarakat pedesaan; dan model bisnis yang berkelanjutan dari teknologi Renewable Energy (RE) off-grid diadopsi.
Salah satu gagasan penting dalam program TERANG ini adalah bagaimana menghubungkan penggunaan dan penyebaran EBT agar dapat memperbaiki kondisi perempuan sekaligus mentransformasi relasi gender di Sumba sehingga menjadi lebih adil dan setara serta mewujudkan pembangunan yang lebih selaras dengan alam Sumba. Lewat proses penyadaran tentang prespektif gender, perempuan menjadi aktor kunci dalam proses perubahan sosial menuju ke arah pembangunan berkelanjutan di Sumba, khususnya melalui penyebaran energi baru terbarukan.
Sejak awal tahun 2016, Konsorsium Hivos lewat salah satu anggota konsorsiumnya yang bernama Winrock International, fokus untuk melakukan survey pada sekolah yang akan didukung dengan PV School maupun komunitas yang akan didukung dengan corn milling/ penggiling jagung tenaga surya. Setelah melewati beberapa tahapan dan sejumlah indikator untuk memilih sekolah maupun komunitas maka untuk pemanfaatan EBT dari energi matahari lewat program TERANG salah satu yang akan dihadirkan adalah 25 unit PV School, 25 unit corn milling dan 20 kios energi (didukung oleh anggota Konsorsium yang lain, yaitu Village Infrastucture Angel/VIA) untuk seluruh Kabupaten di Pulau Sumba.
Dalam rangka mewujudkan gagasan ini, maka siang itu di SDN Kadahang dilaksanakan kegiatan “ Gender Focal Point/GFP Coaching Assesment” dengan memanfaatkan sebuah alat yang bernama Pohon Keseimbangan Gender, yang bertujuan untuk mendapatkan informasi sejauhmana kesiapan sekolah dan masyarakat sebelum adanya instalasi EBT, menggali informasi tentang kondisi ekonomi dan sosial masyarakat setempat serta ruang untuk peningkatan kapasitas GFP dalam melakukan assesment Gender Action Learning System (GALS) di masyarakat dampingan. Untuk Pulau Sumba ini ada 4 lembaga yang menjadi mitra Hivos untuk menjadi GFP yaitu Yayasan Peduli Kasih, Yayasan Wali Ati, Yayasan Bahtera dan Pelita Sumba. Proses ini difasilitasi oleh Ibu Intan Darmawati selaku Konsultan Gender dan Ibu Yolaratna Kase selaku Community Engagement and Gender Officer – Hivos Sumba.
Pohon keseimbangan gender sebagai salah satu alat yang digunakan dalam program ini merupakan cara yang kuat untuk mendapatkan informasi seperti apa pembagian peran, akses dan kontrol terhadap sumberdaya (listrik) yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, jadwal yang berbeda dan sebagainya. Selanjutnya alat ini juga akan digunakan untuk membuat komitmen meningkatkan kesejahteraan rumah tangga melalui pembagian kerja yang lebih efisien, pengeluaran yang lebih produktif, distribusi kepemilikan dan pengambilan keputusan yang lebih setara. Singkatnya lewat alat ini dapat dianalisis kendala dan potensi berbasis gender terkait EBT.
Di SDN Kadahang, PV School yang akan diinstall akan diintegrasikan dengan kios energi. Dimana energi listrik dari PV School akan dimanfaatkan untuk peningkatan kualitas belajar mengajar dengan tidak saja memanfaatkan laptop untuk penyelesaian administrasi sekolah tetapi juga untuk menonton film-film edukasi, memutar tutorial CD pelajaran tertentu ataupun pemanfaatan alat-alat peraga IPA yang membutuhkan listrik, pengeras suara untuk senam bersama maupun pertemuan sekolah sampai penggunaan LCD. Karena didesain dengan daya yang cukup besar maka kelebihan daya dari PV School ini akan dimanfaatkan untuk kios energi yang berfungsi untuk mencharge lampu tenaga matahari dengan sistem “touch”dan bisa dibawa kemana-kemana yang akan dibeli orang tua murid, dengan uang muka Rp 50.000 dan setaip kali mencharge akan dikenakan biaya sebesar Rp 1300. Setelah 300 kali melakukan charge maka lampu akan menjadi milik pribadi sedangkan uang muka sebesar Rp 50.000 akan dimanfaatkan sebagai biaya untuk membeli lampu baru jika lampu yang dibeli rusak sebelum 300 kali charge serta untuk pemeliharaan sistemnya.
Mengapa kios energi ini diintegrasikan dengan PV School? Harapannya adalah agar orang tua tidak perlu mengeluarkan biaya khusus untuk transportasi setiap harus mencharge lampunya, cukup dititipkan ke anak saat ke sekolah. Dalam semua proses ini sekolah akan didampingi oleh teknisi khusus dari RESCO ((Renewable Energy Service Center Organization) yang telah dilatih oleh Hivos.
Dalam kesempatan berdiskusi dengan oran tua murid, dengan metode yang sangat menyenangkan Ibu Intan Darmawati menggali beberapa poin penting terkait siapa yang memiliki akses terhadap energi listrik yang ada saat ini di rumah tangga, siapa yang berkontribusi terhadap pekerjaan dan jenis pekerjaan apa saja dalam penyediaan dan pengeloaan energi listrik serta penerangan, siapa yang mengeluarkan uang untuk ketersediaan listrik dan penerangan,bagaimana pembagian pemanfaatan alat-lalat/ teknologi yang memanfaatkan energi lsitrik antara perempuan dan laki-laki serta jenis-jenis keputusan yang dapat diambil baik oleh perempuan maupun laki-laki yang terkait penyediaan energi listrik dan penerangan serta penggunaannya.
Seacara umum, sumber pangan warga Kadahang berasal dari hasil mengolah kebun/lahan kering dengan jagung sebagai tanaman utama, yang dipanen sekali setahun. Untuk warga yang tinggal di daerah aliran sungai, jagung bisa sampai dua kali panen setahun selain itu mereka juga menanam sayur- mayur. Selain itu mereka juga hidup sebagai nelayan tetapi semuanya masih untuk konsumsi sendiri. Untuk penghasilan, mereka peroleh dari hasil menjual ternak besar maupun kecil, usaha kecil seperti pembuatan makanan ringan dan kue-kue dari bahan lokal untuk dititipkan di kios-kios maupun dijual sendiri.Uang hasil penjualan hewan dipegang oleh istri/perempuan dan digunakan untuk kebutuhan sehari-hari tanpa harus meminta ijin penggunaanya pada suami tetapi untuk pengeluaran yang jumlahnya besar misalnya untuk kebutuhan adat istiadat maka terlebih dahulu harus dibicarakan dengan suami untuk diputuskan bersama.
Untuk penerangan, saat ini warga di Desa Kadahang menggunakan genset pribadi maupun lampu tenaga matahari, ada yang berasal dari bantuan PNPM ada juga yang dibeli sendiri di toko elektronik di Waingapu. Menurut beberapa orang tua murid, jika terjadi kerusakan dengan teknologi ini mereka tidak tahu harus membawanya kemana karena memang tidak disediakan service centernya (tidak ada layanan purna jual). Lampu ini juga dimanfaatkan dengan cara digantung di tengah ruangan sehingga sinarnya bisa menerangi seisi ruangan namun disisi lain ini menjadi kendala saat anak-anak harus belajar di malam hari karena cahaya yang sampai di permukaan bukunya sudah sangat redup sehingga harus sedikit memaksakan mata untuk membacanya. Sehingga menurut beberapa guru dalam kesempatan terpisah, tantangan yang dialami sekolah saat ini adalah anak-anak masih banyak yang tidak bisa mengerjakan pekerjaan rumah saat malam hari karena tidak ada lampu maupun karena cahaya lampu yang terlalu redup. Dimana untuk anak-anak di Sumba, waktu siang hari umumnya digunakan untuk membantu orang tua menggembalakan ternak maupun bertani/berkebun.
Dengan adanya instalasi PV Shcool maupun kios energi, diharapkan dapat meningkatkan minat belajar anak dengan penyediaan media audio visual yang menyenangkan sehingga bisa ada berdampak pada peningkatan prestasi. Sedangkan kehadiran lampu tenaga surya yang bisa dibawa kemana-kemana diharapkan dapat meningkatkan aktifitas ekonomi orang tua di malam hari seperti kegiatan menganyam tikar dari daun lontar, menganyam tali kekang hewan dan ikat pinggang dari kulit kayu, memenun, mencari ikan di laut, mengerjakan kusen pintu dan meubel, mengikat jagung saat panen sampai menghancurkan jagung untuk membuat beras secara manual dengan bantuan batu serta kegiatan lainnya.
Tidak terasa hampir 4 jam kami berada di SDN Kadahang, ketika hendak beranjak pulang saya sempatkan bertanya kepada salah seorang Bapak : “Bapa, biaya cas lampu sebesar Rp.1300 itu, mahal atau tidak?” Sambil memamerkan giginya yang merah dari sirih pinang, beliau mejawab: “ Aih, itu murah saja rambu, saya satu hari rokok bisa dua bungkus dan harga rokok hampir 20 ribu satu bungkus. Bukan itu saja, yang penting kami punya anak-anak di sekolah bisa makin pintar dan kami ada tambah-tambah kerja cari uang kalo malam”.
Selanjutnya proses yang sama akan dilakukan di SD Inpres Pulupanjang Kecamatan Nggaha Oriangu pada tanggal 3 November dan diskusi dengan komunitas terkait penggiling jagung tenaga surya di Pari Deta, Kelurahan Umbu Pabal Sumba Tengah dilaksanakan tanggal 4 November 2016. Tiga lokasi terdahulu ini terpilih sebagai lokasi “pilot” untuk proses fasilitasi bagi assesment gender dan energi yang menggunakan pohon keseimbangan gender oleh Ibu Intan dan Ibu Yola selanjutnya proses assesment di lokasi yang tersisa, sekitar 22 lokasi PV School, corn milling dan juga 18 kios energi akan dilakukan oleh staff dari lembaga yang menjadi GFP dari Hivos.
Berbagai pendekatan dan metode terus disempurnakan oleh Hivos dalam proyek TERANG ini, namun satu yang pasti bahwa dalam setiap upaya menerangkan penjuru negeri, selalu ada harapan bagi pemenuhan hak-hak dasar anak dan perempuan.