Menjaga Ketersediaan Cadangan Air untuk Masa Depan Bumi
“Keberadaan air dimuka bumi ini sebenarnya konstan sepanjang tahun. Permasalahannya adalah ketersediaannya yang terbatas pada ruang dan waktu. Yang perlu dilakukan adalah bagaimana menjaga ketersediaan cadangan air”, demikian Dr. Sukartono Dekan Fakultas Pertanian Universitas Mataram membuka sesi diskusi pada Focus Group Disscussion (FGD) Pengembangan jaringan Kerjasama Antar Pemangku Kepentingan dalam Adaptasi Perubahan Iklim untuk Pertanian yang dilaksanakan pada tanggal 23 Juni 2016 bertempat di Fakultas Pertanian Universitas Mataram. Kalimat tersebut tentu saja menarik animo peserta, karena air menjadi komoditi penting tidak hanya untuk pertanian melainkan juga untk kebutuhan sehari-hari.
Jika kita mengacu pada hasil perhitungan neraca bulanan, pada bulan basah Lombok tergolong surplus air karena lebih dari 2 milyar kubik air terbuang ke laut. Akan tetapi jika melihat total tahunan Pulau Lombok defisit air. Karena itu, pola irigasi yang telah dilakukan masyarakat Lombok secara turun temurun dengan membentuk embung sejauh ini sangat mampu menopang keberlangsungan pertanian di Pulau Lombok. Embung tersebut tidak hanya berfungsi untuk menampung air hujan saat musim basah saja melainkan juga menjaga ketersediaan cadangan air pada musim kering. Dibandingkan dengan bendungan/dam, embung dinilai lebih mampu menahan run off air hujan ke laut. Jumlah embung saat ini yang mencapai 4000 (baik milik pribadi maupun pemerintah) dianggap masih kurang untuk bisa memaksimalkan pemanfaatan lahan pertanian sehingga pemerintah daerah melalui Dinas Pekerjaan Umum memaksimalkan juga keberadaan DAS (daerah aliran sungai) yang kondisi cukup baik untuk bisa didistribusikan ke DAS yang kering melalui sistem interkoneksi. Diharapkan dengan sistem ini lahan-lahan yang termasuk kategori kering bisa mendapatkan air. Dengan kedua bentuk irigasi tersebut menjadikan NTB sebagai salah satu daerah dengan sistem irigasi terbaik.
Kedepan, perlu direncanakan akan dibangun embung degan pola berjenjang. Maksudnya adalah embung tidak hanya dibangun di daerah hilir (down stream) saja yang notabene tergolong daerah kering. Namun ternyata kondisi kering ini juga di alami oleh masyarakat hulu (up stream), sehingga di hulu pun perlu di buatkan embung. Demikian juga di daerah tengah (middle stream) embung diperlukan untuk menahan air dan bisa dialirkan ke daerah hilir. Dengan demikian ketersediaan cadangan air baik up,middle maupun down stream bisa terjaga. Cara ini merupakan saah rekomendasi untuk mengatasi dampak perubahan iklim terhadap cadangan air, karena berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh WWF terhadap empat DAS utama di Pulau Lombok diproyeksikan pada tahun 2030 akan terjadi penurunan cadangan air tanah dan air permukaan yang sangat besar. Penelitian menemukan bahwa cadangan air dapat turun sampai 5 milyar meter kubik, yang setara dengan lebih dari tiga kali jumlah yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan saat ini.
Berbagai praktik-praktik baik tersebut mengemuka pada saat diskusi yang dihadiri oleh pelaku pembangunan baik pemerintah daerah serta NGO yang selama ini memberikan kontribusi pada pembangunan sektor pertanian baik secara langsung maupun tidak langsung. FGD yang dilaksanakan tersebut bertujuan untuk mengumpulkan pengetahuan baik hasil riset maupun best practice yang telah dilakukan oleh akademisi, masyarakat secara individu maupun NGO dalam menghadapi perubahan iklim baik yang bersifat tindakan adaptasi maupun mitigasi. Pengetahuan yang terkumpul tersebut selanjutnya akan dimuat dalam sistem manajemen informasi dan pengetahuan (KMIS)yang tengah dibangun oleh Konsorsium PETUAH. Melalui KMIS ini diharapkan akan memaksimalkan sharing pengetahuan baik kepada pengguna/user, masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan. Kedepan, dengan berbagai sumebr pengetahuan yang telah terkumpul dapat dijadikan rujukan pembangunan serta serta sebagai dasar intervensi terhadap pengambilan kebijakan.